Rumah, Pusat Hidup Normal Baru Saat Pandemi Covid-19
Perilaku untuk tetap tinggal di rumah sambil berharap normal baru tampaknya bukan hal yang mudah. Masalahnya, semua ini harus dijalani dalam situasi yang masih penuh dengan ketidakpastian.
Oleh
Krishna P Panolih (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memutarbalikkan kehidupan manusia. Kegiatan yang awalnya berpencar di kawasan perkantoran, komersial, sekolah, industri, dan fasilitas umum, sekarang terpusat di rumah saja. Pembatasan kegiatan di luar rumah akan melahirkan kehidupan normal baru yang nantinya akan banyak terpusat dari rumah.
Covid-19 adalah salah satu krisis terbesar dalam kehidupan manusia. Mengutip dari laman Financial Times, Yuval Noah Harari, sejarawan dan filsuf Israel, menyebutkan, pandemi ini bak ”kenop sejarah”. Berbagai hal yang masih diragukan dan diperdebatkan tiba-tiba berubah drastis oleh virus korona.
Di Indonesia, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran meluasnya wabah membuat perilaku masyarakat berubah. Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tersebut menuntut adaptasi tinggi. Keseharian yang biasanya mobilitas ke mana pun, sekarang harus disesuaikan dengan hanya beraktivitas di rumah.
Ternyata, ini tak mudah. Sebagian besar memang sudah mematuhi keputusan pemerintah itu. Namun, masih ada sebagian yang bekerja di luar rumah. Hal tersebut terlihat dalam jajak pendapat Kompas melalui daring, akhir Maret lalu.
Sekitar 76 persen responden masih beraktivitas di luar rumah. Mereka masih bekerja, belajar, beribadat, dan berolahraga di kawasan perkantoran, sekolah, ataupun pusat kebugaran di mal. Bahkan, akhir Maret tersebut hampir semua responden menyatakan masih mengunjungi pusat perbelanjaan.
Hal ini terjadi karena sosialisasi PSBB membutuhkan waktu. Kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan oleh Presiden sejak 31 Maret 2020 tersebut harus diikuti dengan kebijakan PSBB di setiap wilayah provinsi/kabupaten/kota. Sebelum ada aturan dari pemerintah daerah, masyarakat belum serius untuk membatasi aktivitas di luar rumah.
Provinsi DKI Jakarta yang pertama kali menetapkan kebijakan tersebut pada 10 April 2020. Setelah itu baru diikuti wilayah lain, seperti kawasan Tangerang Raya, Jawa Barat, dan Sumatera Barat.
Meski pada praktiknya mayoritas masyarakat masih bermobilitas di luar rumah, sudah timbul kesadaran bahwa dengan tetap tinggal di rumah dan menjaga jarak fisik antara satu dan yang lain bisa mengurangi penyebaran virus.
Seperti yang diungkapkan oleh tiga perempat responden yang menyikapi penyebaran virus korona dengan tetap tinggal di rumah saja. Selain itu, hampir 70 persen responden juga membatasi diri tidak berkumpul dalam kerumunan besar. Namun, saat itu hampir 60 persen responden masih memilih untuk menggunakan angkutan umum. Akhir Maret, belum ada kebijakan pembatasan penggunaan angkutan umum oleh pemerintah.
Ancaman pandemi belum selesai, tapi harapan warga dunia untuk kembali hidup normal kini bermunculan. Istilah the new normal (normal baru) menjadi asa di tengah kecamuk wabah yang kasusnya di seluruh dunia sekarang sudah mencapai sekitar 4 juta orang.
Mungkinkah kita kembali normal? Merujuk pada laman Theguardian.com, hidup yang baru tak akan lagi ”normal”, seperti yang kita bayangkan. Virus ini tetap akan ada dan dunia usaha harus berupaya sedemikian rupa dengan kondisi pekerja yang terbatas geraknya.
Ada pula pendapat yang mengkhawatirkan, yaitu dampak pada kesehatan jiwa. Menurut buku Psychology of the Pandemic, dalam Psychiatry of Pandemics (Khan-Huremovic, 2019), pandemi bisa mencerai-beraikan keteraturan dalam masyarakat sehingga upaya untuk kembali normal bisa dihinggapi represi ataupun amnesia.
Wabah Covid-19 ini pada akhirnya bisa mengubah orang sehingga bisa menjalani kehidupan ”Normal Baru” dengan gaya baru. Masyarakat dipaksa untuk berubah di tengah situasi yang tidak pasti. Perubahan tersebut ada proses mencoba, bereksperimen, dan bereksplorasi. Hasilnya adalah perubahan perilaku dan membentuk kebiasaan baru.
Lembaga riset Inventure Knowledge melalui paper ”Consumer Behavior in the New Normal the 30 Predictions” menyebutkan, ada 30 prediksi perubahan perilaku konsumen menuju kenormalan baru. Dari 30 perubahan perilaku tersebut dikelompokkan menjadi empat bagian besar. Di antaranya gaya hidup ”tinggal di rumah”, berempati, menggunakan media virtual, serta kembali ke kebutuhan dasar, seperti makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga.
Gaya hidup baru tetap tinggal di rumah menjadi perubahan penting yang selama ini jarang dilakukan. Mengutip data dari lembaga Survey Kantar (2020), hampir 80 persen masyarakat Indonesia banyak menghabiskan waktu di rumah selama PSBB.
Kegiatan yang dilakukan, 80 persen adalah menggunakan waktu ”me time” di dalam rumah. Kemudian, 43 persen memilih untuk memasak makanan sendiri dan 31 persen lebih banyak menonton televisi.
Aktivitas memasak di rumah juga menjadi pilihan hampir tiga perempat responden jajak pendapat Kompas. Alasan menghindari kerumunan, membuat kebiasaan belanja ke pasar ataupun makan di luar rumah, berganti dengan belanja daring ataupun menggunakan jasa antar makanan.
Perilaku untuk tetap tinggal di rumah sambil berharap normal baru tampaknya bukan hal yang mudah. Masalahnya, semua ini harus dijalani dalam situasi yang masih penuh dengan ketidakpastian. Belum lagi akhir-akhir ini muncul juga berbagai pendapat ataupun unjuk rasa yang menyatakan pembatasan tak ada gunanya lagi.