Kesehatan Mental, Kunci Hadapi Ketidakpastian Global
Isu kesehatan mental akhir-akhir ini semakin menjadi sorotan karena berbagai faktor terutama yang memengaruhi kaum muda.
Oleh
GIANIE
·4 menit baca
Tekanan ekonomi, sosial, politik, teknologi, dan ekologis kini menjadi beban hidup. Kombinasi berbagai tekanan itu memengaruhi kesehatan mental/kejiwaan dan cara untuk menghadapi dunia yang semakin penuh dengan ketidakpastian.
Beberapa hari terakhir ini muncul peristiwa atau pemberitaan yang terkait dengan kesehatan mental. Dari Australia, sedikitnya enam orang tewas dan sejumlah orang lainnya terluka dalam insiden penusukan massal di mal Westfield Bondi Junction, Sydney, pada 13 April 2024. Pelaku penusukan bernama Joel Cauchi disebut memiliki masalah kesehatan mental. Ia akhirnya tewas ditembak polisi di lokasi kejadian.
Dari dunia pendidikan kita, berdasarkan hasil penapisan atau skrining kesehatan jiwa pada peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal pendidikan ditemukan 22,4 persen peserta terdeteksi mengalami gejala depresi. Sekitar 3 persen di antaranya bahkan mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun (Kompas, 16/4/2024).
Banyak peristiwa serupa yang terjadi di sekitar kita masuk dalam memori kolektif. Masyarakat dari berbagai kalangan atau latar belakang mengalami masalah kesehatan mental dalam berbagai tingkatan, ringan hingga berat. Kondisi ini tak ayal berdampak pada kebahagiaan hidup.
Oleh sebab itu, isu kesehatan mental akhir-akhir ini semakin menjadi sorotan. Kesehatan mental menjadi faktor yang kemudian harus menjadi perhatian penting.
Rilis World Happiness Report 2024 pada Maret lalu mengungkapkan kalangan anak muda di seluruh dunia sekarang memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan generasi di atasnya.
Pengukuran yang dilakukan sebagai hasil kerja sama antara lembaga Gallup, The Oxford Wellbeing Research Centre, The UN Sustainable Development Solutions Network, dan World Happiness Report’s Editorial Board, baru kali ini mengukur kebahagiaan di 143 negara berdasarkan pengelompokan usia.
Laporan tahun ini menyajikan pemodelan terbaru mengenai evaluasi kehidupan rata-rata nasional dan ukuran emosi positif dan negatif warga suatu negara.
Evaluasi rata-rata kehidupan nasional didasarkan pada enam variabel, yaitu PDB per kapita (yang menunjukkan tingkat kesejahteraan), harapan hidup sehat, memiliki seseorang yang dapat diandalkan, kebebasan menentukan pilihan hidup, kemurahan hati, dan bebas dari korupsi.
Menanggapi laporan World Happiness Report 2024 ini, Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebutkan terdapat setidaknya tiga faktor yang memengaruhi kebahagiaan kaum muda.
Pertama, tantangan ekonomi yang dihadapi, terutama menyangkut biaya hidup dan pekerjaan. Soal biaya hidup, kaum muda menghadapi jalan mendaki yang sulit untuk menjadi sejahtera.
Harga rumah, pendidikan, dan layanan kesehatan yang terjangkau menjadi hambatan utama bagi keamanan finansial. Penghasilan yang stagnan semakin menekan kondisi keuangan. Hal itu berdampak antara lain pada penundaan untuk memiliki rumah atau bahkan menunda dalam membangun keluarga. Hal ini berkontribusi pada perasaan bahagia, pencapaian, dan stabilitas.
Kondisi pekerjaan juga memengaruhi. Pekerjaan yang tidak tetap (gig economy) atau pengaturan kerja yang tidak tetap menawarkan lebih sedikit keamanan dan manfaat. Hal ini pun membuat perencanaan keuangan menjadi sulit dan meningkatkan kekhawatiran akan masa depan.
Faktor kedua adalah tekanan teknologi dan media sosial. Meskipun media sosial saat ini menawarkan koneksi yang cepat dan luas, ia juga dapat memicu kekurangan dan masalah sosial.
Tidak sedikit penelitian yang menunjukkan terdapat korelasi antara peningkatan penggunaan media sosial dan gejala depresi atau kesepian pada orang dewasa muda. Kondisi ini terjadi secara global.
Kaum muda juga dapat mengalami keterisolasian sosial. Meskipun koneksi internet dapat selalu membuat terhubung dengan dunia maya, kaum muda justru mengalami kurangnya hubungan tatap muka yang lebih mendalam atau bermakna.
Hal itu disebabkan berkurangnya waktu luang, terbatasnya mobilitas, atau adanya kecemasan sosial. Merasa terputus atau terisolasi dari komunitas yang mendukung dapat berdampak negatif pada kebahagiaan.
Faktor ketiga adalah ketidakpastian dan kecemasan akibat perubahan iklim dan polarisasi politik. Dampak perubahan iklim akan sangat membebani generasi muda. Mereka mewarisi dunia dan ekologis yang semakin rusak dan penuh tantangan tanpa merasa ada kendali atau lembaga yang dapat mengatasinya. Hal ini tentu menimbulkan kecemasan.
Selain itu, meningkatnya perpecahan sosial dan politik juga dapat memicu kecemasan atau keputusasaan. Menyaksikan hal-hal yang negatif secara terus-menerus, baik dalam realitas maupun media sosial, dapat menguras emosi dan menimbulkan depresi.
Skor kebahagiaan yang dihasilkan setiap negara dalam World Happiness Report 2024 bervariasi, dari rentang 1,721 hingga 7,741 untuk periode 2021-2023. Skor ini sedikit menurun dibandingkan dengan periode 2020-2022 yang dari rentang 1,859 hingga 7,804.
Secara global skor kebahagiaan kaum muda (di bawah 30 tahun) berada pada rentang 1,827 hingga 7,759. Adapun skor kebahagiaan kaum tua (usia 60 tahun ke atas) berada pada rentang 1,456 hingga 7,916.
Peringkat 10 besar tetap dihuni oleh negara-negara Eropa. Pada periode ini, peringkat pertama hingga sepuluh secara berturut-turut adalah Finlandia, Denmark, Islandia, Swedia, Israel, Belanda, Norwegia, Luksemburg, Swiss, dan Australia.
Indonesia berada di peringkat ke-80 dengan skor 5,568. Peringkat ini naik dibandingkan dengan periode sebelumnya, yakni ke-84, dengan skor 5,277.
Dilihat berdasarkan pengelompokan usia, kebahagiaan kaum muda Indonesia berada di peringkat ke-75 dengan skor 6,089, sedangkan skor kebahagiaan kaum tua di Indonesia berada di peringkat ke-79 dengan skor 5,159.
Terdapat kesenjangan skor kebahagiaan di antara negara-negara. Ada yang skor kebahagiaan kaum tuanya yang lebih tinggi, seperti di Norwegia, Jerman, Swedia, Inggris, termasuk Indonesia, dan ada yang sebaliknya.
Dengan gambaran di atas, menjaga kesehatan mental kaum muda adalah suatu keharusan dan perlu dukungan yang kuat dari berbagai pihak. Setiap negara sudah harus berinvestasi untuk isu kesehatan mental ini. Investasi itu sudah harus dimulai dari layanan yang mudah diakses generasi muda sejak dari bangku sekolah.
Investasi dan intervensi untuk kesehatan mental generasi muda sangat penting untuk mengatasi tantangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. (LITBANG KOMPAS)