Tren Masker, dari Alat Pelindung Diri hingga Barang Mode
Selain jadi alat pelindung diri, masker dapat dikreasikan menjadi barang mode. Menjaga kesehatan diri dan orang lain kini bisa dilakukan sambil bergaya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban mengenakan masker di ruang publik akan berlanjut setidaknya hingga vaksin Covid-19 ditemukan pada 2021. Permintaan pasar terhadap masker pun melejit. Selain untuk melindungi diri, esensi masker sebagai barang mode (fashion item) turut menguat.
Menurut laporan The Lyst Index, pada triwulan I-2020, masker keluaran jenama Off-White menjadi produk busana pria yang paling banyak dicari. Masker itu berwarna hitam dengan logo berupa panah di bagian depan. Masker tersebut bukan barang baru. Off-White merilis arrow mask pada Juni 2019.
Harga satu masker adalah 95 dollar AS atau sekitar Rp 1,3 juta. Menurut laman Off-White yang diakses Selasa (7/7/2020), harganya naik menjadi 110 dollar AS (Rp 1,5 juta) dan telah habis terjual.
Selain Off-White, jutaan orang di seluruh dunia juga mencari masker wajah dari jenama-jenama kelas atas (high-end) lain, seperti A Bathing Ape atau Bape, Fendi, dan Marcelo Burlon. The Lyst Index mencatat bahwa pencarian masker mode meningkat 496 persen pada triwulan I-2020.
Ini menunjukkan kesetiaan konsumen terhadap merek-merek besar tetap kuat, bahkan di waktu yang tidak menentu seperti ini. Namun, cara orang berinteraksi dengan merek dan berbelanja busana berubah dengan cepat. Covid-19 mempercepat pergeseran yang sudah terjadi di industri kami (mode) dan memicu perubahan lebih lanjut,” kata Co-founder dan CEO Lyst, Chris Morton.
Masker premium seperti keluaran Off-White, Bape, dan Fendi merupakan produk untuk mengisi kebutuhan konsumen menengah ke atas. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Permintaan pasar akan masker premium menunjukkan tren positif selama pandemi.
Ketua Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, mengatakan, peluang untuk mengembangkan dunia mode saat pandemi tetap tebuka. Sebab, selalu ada sekelompok masyarakat yang ingin tampil beda. Ali menyebutnya sebagai kelompok yang berekspresi melalui busana.
”Masker premium adalah masker yang tujuannya untuk fashion dan lifestyle. Permintaan pasar terhadap masker ini cukup bagus. Ada klien-klien dalam negeri yang butuh masker premium untuk sejumlah kepentingan, misalnya untuk branding di media sosial,” kata Ali.
Desainer yang berbasis di Bali ini pun sekarang mengembangkan produknya agar sesuai dengan konteks pandemi. Ia mengeluarkan beberapa koleksi yang dilengkapi dengan masker. Harganya berkisar dari Rp 100.000 hingga Rp 500.000. Produk ini dikembangkan sesuai dengan keinginan pasar.
Masker premium adalah masker yang tujuannya untuk fashion dan lifestyle. Permintaan pasar terhadap masker ini cukup bagus. Ada klien-klien dalam negeri yang butuh masker premium untuk sejumlah kepentingan
Menurut Ali, belum ada tanda produksi masker akan melambat dalam waktu dekat. Hal ini bisa dimanfaatkan para pelaku industri mode untuk berkreasi. Pemaknaan dan penggunaan masker pun bisa dikembangkan sesuai kreativitas desainer.
”Masker kini bukan hanya alat untuk melindungi kesehatan diri, melainkan juga menjadi aksesori dan gaya hidup. Masker telah menjadi bagian dari fashion apparel (busana), sama seperti kalung dan aksesoris lain,” ucap Ali.
Masker sebagai barang mode sebenarnya bukan tren baru. Sejumlah desainer dan jenama melirik masker sebagai penyempurna busana sejak beberapa tahun lalu. Sebut saja jenama street fashion Bape yang merilis masker glow in the dark pada 2018.
Musisi Billie Eilish pun tidak ketinggalan dengan mode tersebut. Ia mengenakan masker tipis berwarna hitam rancangan rumah mode Gucci pada Grammy Awards 2020. Billie juga pernah mengenakan masker keluaran Sheridan Tjhung pada acara Unicef, 2019.
Musisi Rita Ora juga pernah mengenakan masker rancangan Marine Serre pada sebuah acara di Inggris, 2019 silam. Hal serupa juga dilakukan musisi Nicki Minaj pada MTV Video Music Awards 2011. Nicki saat itu mengenakan masker dari ShojonoTomo.
Ali Charisma mengatakan, pandemi mendorong kesadaran kolektif bahwa masker ialah bagian dari mode. Dengan kesadaran itu, masker kini diperlakukan layaknya busana bernilai tinggi.
”Masker mendapat perlakuan yang sama seperti pakaian rancangan desainer. Masker harus disesuaikan dengan banyak aspek dari penggunanya, baik bentuk wajah, bentuk kepala, gaya rambut, dan lainnya. Pembuatan masker juga perlu menyesuaikan dengan tema, sama seperti membuat pakaian,” kata Ali.
Desainer dan pendiri jenama Oerip, Dian Erra Kumalasari, mengatakan, pembuatan masker masa kini beragam, tergantung karakter sang desainer. Ia menambahkan, masker kini bisa bermakna ganda, yakni fungsional sekaligus modis.
”Saya membuat satu lini yang fokus pada pembuatan 1.000 masker. Masker itu lalu dibagikan ke orang-orang yang membutuhkan. Saya juga membuat satu lini lain yang fokus membuat masker premium dari kain tenun,” kata Dian.
Bermasker di Asia
Di sisi lain, mengenakan masker bukan hal baru bagi sebagian masyarakat di Asia. Masyarakat Jepang disebut mengembangkan kebiasaan bermasker sejak awal abad ke-20.
Mengutip laman ny.us.emb-japan.go.jp, banyak warga Jepang yang mengenakan masker untuk menghindari paparan virus flu. Beberapa orang mengenakan masker untuk menghargai dan melindungi orang lain dari sakit yang mereka derita.
Mengenakan masker medis di ruang publik disebut berkembang ketika pandemi flu spanyol terjadi, tepatnya pada 1918. Selain untuk menangkal virus, masker juga digunakan untuk menyaring udara yang saat itu terkontaminasi oleh debu dan abu. Kini, mengenakan masker saat sakit dipandang sebagai sopan santun.
Di Korea Selatan, mengenakan masker merupakan hal lumrah bagi anak muda. Masker digunakan sebagai penutup wajah saat seseorang tidak mengenakan riasan atau make-up, khususnya perempuan (Kompas, 7/7/2020).