Sejarah otomotif Indonesia sudah berlangsung setengah abad, dimulai dengan terbitnya surat keputusan bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian dengan persetujuan Presiden Soeharto mengenai perusahaan perakitan kendaraan bermotor.
SK tersebut menetapkan semua mobil yang akan dikirim dari luar negeri ke daerah Jawa, seperti bus, truk, jip, dan pikap, harus dalam bentuk completely knock-down atau dirakit di dalam negeri.
Dalam SK tersebut juga diatur akan ada tujuh pabrik perakitan kendaraan bermotor, yakni di Medan, Makassar, tiga di Jakarta, dan dua di Surabaya.
Toyota Motor Co asal Jepang menjadi perusahaan pertama yang mengekspor kendaraan ke Indonesia dengan pola perakitan pada Januari 1970. Toyota Astra Motor melakukan impor, penjualan, dan servis, sedangkan perakitan dilakukan PT Gaya Motor.
PT Gaya Motor memulai perakitan 30 unit per bulan dan meningkat menjadi 200 unit pada akhir 1970. Perakitan dilakukan di bawah bimbingan teknis Toyota Motor Co yang terikat perjanjian joint venture dengan Toyota Astra Indonesia (Kompas, 19 Februari 1970).
Setelah 25 tahun merakit mobil, Pemerintah Indonesia menginginkan adanya mobil nasional (mobnas) dengan memberikan jalan kepada produk bermerek Timor (Teknologi Industri Mobil Rakyat).
Pada 28 Februari 1996, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 yang intinya menunjuk perusahaan otomotif PT Timor Putra Nasional sebagai perusahaan yang memproduksi mobnas dengan sejumlah fasilitas pajak. Sayang, kehadiran mobnas kandas di tengah jalan.
Saat ini, kita mendengar kisah Sukiyat, pendamping anak muda Solo, berhasil memproduksi mobil Esemka SUV yang pernah digunakan Wali Kota Solo Joko Widodo sebagai kendaraan dinas.
Mobil Esemka memang tidak secanggih produk negara otomotif maju, seperti Jepang atau Korea, tetapi produk itu harus kita hargai karena melambangkan spirit tumbuhnya otomotif nasional. Apalagi, mantan Wali Kota Solo sudah jadi orang nomor satu di Indonesia. (BOY)