Peningkatan target penurunan emisi sulit terwujud karena alotnya negosiasi dan beda kepentingan ekonomi politik negara maju dan berkembang. Padahal, target saat ini tak cukup menahan kenaikan suhu global.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
MADRID, KOMPAS—Target penurunan emisi global yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015 secara saintifik diakui tak cukup untuk mencegah peningkatan suhu global kurang dari 1,5 derajat celsius. Namun, upaya meningkatkan target penurunan emisi bakal sulit terwujud karena alotnya negosiasi dan perbedaan kepentingan ekonomi politik antara negara maju dan berkembang.
"Pencapaian target nasional penurunan emisi (NDC/Nationally Determined Contributions) Indonesia masih sesuai jalur. Kita sudah punya rencana pembangunan rendah karbon yang telah dimasukkan dalam rencana pembangunan nasional dan daerah. Namun untuk meningkatkan target, masih harus dilihat lagi," kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong, ditemui di sela-sela Konfrensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-COP 25) di Madrid, Spanyol, Senin (9/12/2019).
Pencapaian target nasional penurunan emisi Indonesia sesuai jalur. Kita punya rencana pembangunan rendah karbon yang dimasukkan dalam rencana pembangunan nasional dan daerah.
Menurut Alue, pembenahan tata kelola lahan dan hutan serta transformasi dari energi fosil menuju energi terbarukan jadi fokus utama, mengingat dua sektor ini penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Sektor kehutanan menyumbang emisi sekitar 47,8 persen dan energi 34,9 persen.
"Di sektor hutan dan lahan, sudah banyak kemajuan dicapai, terutama dalam menata kembali lahan gambut. Namun, restorasi gambut butuh waktu, minimal 5-10 tahun. Tahun ini masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, tetapi tidak hanya terjadi di Indonesia. Australia dan Brazil juga sangat parah kebakaran hutannya tahun ini," ujarnya.
Untuk transformasi energi fosil menjadi terbarukan, menurut Alue, memang masih banyak tantangan, sekalipun sudah ada progres dan kebijakan tentang pembauran energi. "Ada banyak aspek politik, ekonomi, teknologi hingga legal. Kontrak energi batu bara rata-rata jangka panjang, kalau diakhiri begitu saja kita bisa diguta. Sejumlah negara maju saja baru akan mengakhiri energi batu baranya setelah 2035, bahkan Australia tidak pernah bicara tentang pengakhiran energi batubara," kata Alue.
Sejumlah lembaga, misalnya Greenpeace Indonesia telah mengritik kesenjangan antara NDC dengan tren pembangunan pembangkit Indonesia di Indonesia masih didominasi batubara (Kompas, 9/12/2019). Climate Tracker Action (CAT) menempatkan Indonesia saat ini dalam posisi highly insufficient atau amat tak memadai dalam hal pencapaian target nasional penurunan emisi. Target NDC Indonesia untuk menurunkan emisi 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030, juga dinilai masih amat rendah.
Laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang diluncurkan baru-baru ini telah memperingatkan bahwa target penurunan emisi tiap negara harus ditingkatkan, karena dianggap tidak memadai untuk mencegah kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat. Dengan target seperti saat ini, suhu bisa meningkat hingga 3 derajat celcius sehingga dampaknya bagi kehidupan akan sangat besar.
"Kalau untuk meningaktakan ambisi NDC harus lihat-lihat dulu bagaimana tren dan transparasinya. Kita juga harus lihat dulu bagaimana realisasi komitmen pembiayaan yang dijanjikan negara maju untuk mendukung negara berkembang hingga 100 miliar dollar AS per tahun," kata Alue.
Sekretaris Eksekutif Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Perubahan Iklim Patricia Espinosa, saat meluncurkan laporan terbaru terkait 10 fakta sains terkait iklim mengatakan, semua negara seharusnya sudah memasukkan rencana aksi iklimnya mulai tahun depan dengan target lebih ambisius. "Bukti-bukti saintifik yang ada seharusnya bisa jadi panduan bagi tiap negara untuk mengadopsi ambisi lebih besar (dalam mengurangi emisi)," kata dia.
Berdasarkan laporan ini, penurunan emisi global tidak sejalan dengan Perjanjian Paris 2015 dan perubahan iklim semakin cepat dan lebih kuat dari yang diperkirakan sebelumnya. Dampaknya sudah sangat nyata, terutama terkait dengan keamanan pangan.
Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Medrilzam mengatakan, Indonesia belum berencana meningkatkan target penurunan emisi. "Apa yang sudah menjadi komitmen sebaiknya dijalankan dulu. Sebagai negara berkembang, kontribusi kita sudah cukup signifikan, dibandingkan negara maju," kata dia.