Hasil Konferensi Perubahan Iklim Ke-25 di Madrid, Spanyol, Desember 2019, tak berhasil meningkatkan komitmen penurunan emisi para pihak. Meski demikian, Indonesia tetap fokus mencapai target penurunan emisi nasional.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil Konferensi Perubahan Iklim Ke-25 di Madrid, Spanyol, pada Desember 2019 tak berhasil meningkatkan komitmen penurunan emisi para pihak. Ini menjadikan dunia berada pada ancaman krisis iklim lebih berbahaya karena komitmen penurunan emisi saat ini, apabila berhasil dilakukan pun, hanya mampu menekan pertambahan suhu sekitar 2,7 derajat celsius.
Meski hasilnya tak memuaskan bagi kelangsungan nasib bumi dan manusia di masa mendatang, Indonesia tetap fokus pada pekerjaan rumah menurunkan emisi sebesar 29 persen yang telah dijanjikan. Perhitungan capaian tersebut akan dimulai tahun ini hingga 2030.
”Prinsip kami yang pasti-pasti, jalanin dulu baru kemudian naikkan ambisi (komitmen penurunan emisi/NDC). Yang ada sekarang saja, masih banyak para pihak yang belum melakukan,” kata Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (8/1/2020), di Jakarta, di sela-sela diskusi Pojok Iklim.
Ia mengatakan, capaian NDC sebesar 29 persen merupakan janji yang dinyatakan Indonesia dalam Kesepakatan Paris. Perjanjian internasional ini pun telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim. Kewajiban ini merupakan pekerjaan rumah yang harus dilakukan sebagai bentuk kepatuhan kepada UU.
Alue yang juga sebagai pimpinan delegasi Indonesia dalam pertemuan di Madrid mengatakan, janji penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen masih terbuka untuk ditingkatkan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional. Artinya, kata dia, ruang penurunan emisi bagi Indonesia masih sangat besar jika dunia internasional memberikan dukungan kepada Indonesia.
Meski demikian, ia mengatakan, peningkatan komitmen penurunan emisi bukan lah tak mungkin bagi Indonesia. ”Kita jalani dulu sambil di-review. Kalau memang tidak cukup (berkontribusi pada penurunan emisi global), nanti dinaikkan lagi,” katanya.
Pada Maret 2020, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Perubahan Iklim KLHK akan memperbarui informasi capaian, strategi, penganggaran, dan program penurunan emisi dalam kaitan NDC. Pada saat itu, bakal tampak program-program yang masih bisa berkontribusi pada penurunan emisi.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, saat ini, sektor energi sangat berpeluang untuk ditingkatkan persentase penurunan emisinya. Dari 29 persen”target total penurunan emisi Indonesia, energi memegang peringkat kedua dengan 11 persen setelah sektor hutan dan lahan (17,2 persen).
”Business as usual (pelepasan emisi gas rumah kaca) sektor energi masih sangat besar dan masih bisa ditingkatkan,” ujarnya. Apalagi, apabila Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 bisa tercapai, hal tersebut akan berkontribusi sangat tinggi pada penurunan emisi Indonesia.
Business as usual (pelepasan emisi gas rumah kaca) sektor energi masih sangat besar dan masih bisa ditingkatkan.
Selain itu, rancangan RPJMN 2020-2024 pun telah disusun dengan arah pembangunan rendah karbon (PRK). Ruandha mengatakan, RPJMN 2020-2024 tersebut bisa menurunkan emisi hingga 32 persen. ”Mainstreaming low carbon development ke RPJMN itu perwujudan NDC kita,” ucap Alue Dohong menambahkan.
Keberhasilan Indonesia
Alue Dohong mengatakan, dalam COP25 di Madrid, Indonesia memasukkan proposal Isu Laut dan Perubahan Iklim dalam Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Ini akan ditindaklanjuti dengan dialog tentang laut dan perubahan iklim untuk mencari solusi yang tepat terkait mitigasi dan adaptasi pada Juni 2020.
Keberhasilan lain yang dicatatkan Indonesia adalah disetujuinya dua dari 10 usulan penempatan sosok dari Indonesia dalam beberapa badan terkait perubahan iklim. Keduanya adalah Ratnasari Wargahadibrata (Ditjen PPI KLHK) sebagai anggota Compliance Committee di bawah Kyoto Protokol-Enforcement Branch dan Yuli Prasetya Nugroho (Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK) sebagai alternate member of the Local Communities and Indigenous People Platform (LCIPP) Facilitative Working Group.
Alue Dohong menyebutkan, penempatan wakil negara dalam LCIPP juga diminati Korea Selatan. ”Alasan kita, Indonesia sudah advance (terkait masyarakat adat) dan kebijakan domestik terkait sudah banyak. Jadi, sangat pantas Indonesia duduk di situ,” katanya.