Gabungan beberapa organisasi lingkungan mendampingi sejumlah pemerintah daerah untuk menggiatkan pemilahan sampah daripada memaksakan pembangunan insinerator berisiko tinggi.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aliansi Zero Waste Indonesia memakai strategi baru untuk mengampanyekan penolakan pembangunan sejumlah insinerator atau pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Gabungan beberapa organisasi lingkungan ini mendampingi sejumlah pemerintah daerah untuk menggiatkan pemilahan daripada memaksakan pembangunan insinerator berisiko tinggi.
Pemerintah Indonesia yang menargetkan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa di 12 kota akan terjebak pada teknologi usang dan berisiko bagi kesehatan warga. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mendorong pemerintah untuk keluar dari jebakan yang merugikan negara tersebut dan memulai dengan serius kebijakan pemilahan sampah.
Indonesia sebagai negara yang memiliki kekuatan sosial tinggi dinilai memiliki modal besar mengubah pengelolaan sampah menjadi pengelolaan sumber daya. Maksudnya, sampah bukan lagi dipandang sebagai sumber masalah, melainkan sebagai sumber daya.
”Hal itu bisa dimulai dari langkah kecil pemilahan,” kata Paul Connett, penulis buku The Zero Waste Solution, Jumat (10/1/2020), di Jakarta. Kehadiran pakar zero waste asal Amerika Serikat yang ketiga kali ke Indonesia itu terkait rencana Pemerintah Indonesia membangun 12 PLTSa atau disebut insinerator. Ia bersama AZWI akan berkunjung ke sejumlah lokasi pembangunan insinerator dan mendampingi pemda setempat untuk mendorong pengelolaan sampah dengan pendekatan ekonomi sirkular.
Dari kunjungan ke sejumlah negara, Paul Connett menjumpai komunitas masyarakat berperan penting mempraktikkan pemilahan dalam pengelolaan sumber daya. ”Bahan organik sisa makanan dipilah dan kertas, plastik, logam disendirikan. Kalian akan melihat itu merupakan sumber daya,” ujarnya.
Di Indonesia, ia melihat praktik itu diterapkan di sejumlah RW di kelurahan di Kota Bandung yang memiliki program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan). Hal itu perlu ditindaklanjuti dengan sentuhan kebijakan dari pemerintah agar bisa dicontoh dan diperluas di tempat-tempat lain.
Dengan pemilahan, kata dia, hanya sedikit jenis sampah berakhir di tempat pemrosesan akhir (TPA). Bahkan, dengan langkah jangka panjang, jenis-jenis sampah yang tak bisa didaur ulang itu bisa digantikan dengan material lain.
Dengan pemilahan, hanya sedikit jenis sampah berakhir di tempat pemrosesan akhir. Bahkan, dengan langkah jangka panjang, jenis sampah yang tak bisa didaur ulang itu bisa digantikan dengan material lain.
Rakus sumber daya
Berkebalikan halnya dengan insinerator yang akan menempatkan Indonesia sebagai negara rakus sumber daya. Sebab, insinerator membutuhkan sampah, termasuk sampah yang bisa didaur ulang, untuk dibakar agar bisa beroperasi.
Ia menggambarkan, insinerator memerlukan tiga kotak proses, yaitu kotak pembakaran sampah, kotak pengendalian kualitas udara, dan kotak pembuangan residu abu bakaran. Pengelolaan sampah dengan insinerator dan pemilahan tetap membutuhkan ”kotak pembuangan residu”. Kotak pembuangan residu dari insinerator ini berisikan abu (fly ash) dan kerak (bottom ash) yang diklasifikasikan sebagai limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Paul Connett juga mengatakan, kotak kedua berisiko. Kotak pengendalian udara membutuhkan teknologi penyaringan yang amat tinggi agar emisi udara ke lingkungan tak membawa partikel berbahaya.
Perkembangan terkini, kata dia, partikel itu tak lagi sekadar berukuran mikro, yaitu PM10 dan PM2,5, tetapi berupa nanopartikel yang sulit disaring. Ia menyebutkan, insinerator di Eropa dipasang penyaring selama 6 jam hingga 4 pekan berturut-turut tak mendapatkan gambaran kandungan apa pun. Namun, setelah digunakan ayam di sekitar lokasi insinerator, ada akumulasi sejumlah zat berbahaya pada telur ayam setempat.
Ia menambahkan, teknologi insinerator merupakan solusi usang yang ditinggalkan Eropa karena risiko lingkungan dan kesehatan. Selain itu, sejumlah insinerator ditutup karena kekurangan bahan baku sampah sebagai buntut pemanfaatan kembali material sampah untuk daur ulang dan pengurangan timbulan sampah.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, pemerintah menyia-nyiakan waktu selama satu dekade untuk mendorong pembangunan insinerator yang terhalang oleh biaya pembangunan dan perawatan insinerator yang amat mahal. Selain itu, Indonesia belum memiliki infrastruktur laboratorium uji dioksin pada udara.
Karena itu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 15/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal mensyaratkan uji dioksin pada pembangkit listrik lima tahun sekali. AZWI mendesak agar jangka waktu lima tahun sekali diubah menjadi setahun dua kali agar rentang waktu tak terlalu lama dalam pengawasan.
”Industri yang limbahnya tampak kasatmata, seperti tekstil, itu saja tidak bisa dipantau dan sanksi jika terjadi pelanggaran. Apalagi ini bicara limbah pembakaran sampah yang tak tampak mata, yaitu nanopartikel serta dioksin dan furan tidak berbau dan tidak berasa,” katanya.
Ia menambahkan, paradigma pengelolaan sumber daya dalam menangani sampah membawa keuntungan bagi Indonesia karena menumbuhkan peluang-peluang ekonomi. Contohnya, pemilahan akan meningkatkan mutu sampah domestik yang bisa digunakan untuk bahan baku industri daur ulang. Artinya, Indonesia tak perlu impor sampah seperti yang menjadi masalah lingkungan saat ini di sejumlah daerah.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Fajri Fadhillah menilai, pembangunan PLTSa di 12 kabupaten/kota merupakan bentuk pengingkaran dari putusan Mahkamah Agung. Pembangunan 12 PLTSa dilakukan sesuai peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018.
Peraturan presiden itu diterbitkan setelah Perpres No 18/2016 dibatalkan Mahkamah Agung yang menyetujui keterangan ahli bahwa emisi limbah B3 insinerator menimbulkan risiko kesehatan tinggi. ”Kalau pemda dipaksa membangun insinerator, itu berlawanan dengan putusan MA,” katanya.
Tak cukup hanya di 12 kabupaten/kota, pada Perpres No 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga memasukkan ”sampah sebagai bahan baku energi” sebagai indikator keberhasilan kabupaten/kota dalam penurunan sampah.
Apabila ”sampah sebagai bahan baku energi” ini diartikan sebagai PLTSa, hal itu dinilai merupakan bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dalam pengelolaan sampah. Ini karena PLTSa membutuhkan asupan sampah, sedangkan perpres tersebut mengamanatkan penurunan timbulan sampah 30 persen pada 2025.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, PLTSa dimasukkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagai energi terbarukan. Ini, menurut dia, tak masuk akal.
Ia mengingatkan operasional PLTSa akan membutuhkan masukan energi tinggi. Energi kalor tersebut dibutuhkan untuk membakar sampah berkarakter basah yang umum ada di Indonesia. Karena itu, untuk membakar sampah basah tersebut dibutuhkan energi tambahan lebih tinggi yang diperkirakan berasal dari batubara.
”Polusi udara akan dua kali, yaitu dari pembakaran sampah dan pembakaran batubara,” katanya. Energi yang dihasilkan pun dinilai terlalu kecil dengan kondisi Jawa yang telah kelebihan pasukan daya. Dari 12 kota yang menjadi lokasi pembangunan PLTSa itu, empat di antaranya berada di luar Jawa, yaitu Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.