Panggung Sastra Pertunjukan ”Kejujuran dalam Air Kata-kata” menjadi semacam ”paket komplit” dari sebuah upaya respon artistik atas karya-karya puisi Sindhunata
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·5 menit baca
“Dan padamu, Gus, celana itu juga saksi bisu yang mewahyukan betapa tidak berarti dan sia-sianya tahta dan kekuasaan bagimu. Ketika dunia memaksamu turun dari tahta, kaukenakan celana pendekmu dan kulambai-lambaikan tanganmu, seakan kau hendak berkata: aku masuk ke istana tanpa membawa apa-apa, maka aku meninggalkannya tanpa beban apa-apa pula. Hanya dengan celana pendekmu kau raih kekuasaan, dengan celana pendek pula kau kebaskan kekuasaan”
Di depan Langgar Tombo Ati, Omah Petroek, Romo GP Sindhunata SJ mendaraskan puisinya yang berjudul “Celana Gus Dur”, sebuah kenangan personal Sindhunata tentang detik-detik akhir kepempinan presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid yang dimakzulkan MPR pada 23 Juli 2001. Kepada ribuan pendukungnya di depan Istana Merdeka, Gus Dur yang bercelana pendek dan berkaus mewanti-wanti agar mereka harus tetap menjaga kedamaian Indonesia.
“Memang Gus, celana pendek itu melekat padamu, di hari-hari terakhir engkau bergulat dengan kelemahan dan kemiskinan tubuhmu. Celanamu itulah yang menemanimu, ketika kau sadar betapa lemah dirimu, saat kau harus menghadapi pergulatan akhir yang membuatmu tahu, betapa hanya pengampunan yang kau butuhkan dari Sang Khalik yang mencintaimu,” ujar Sindhunata.
Pendarasan syair “Celana Gus Dur” yang disambut dengan lantunan suara Nabil Muhammad bersama Hadroh Timur Saba mengawali Panggung Sastra Pertunjukan ”Kejujuran dalam Air Kata-kata” di Taman Yakopan Omah Petroek, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (1/2/2020). Dalam pertunjukan ini, Komunitas Seni dan Budaya SANG Indonesia yang berkolaborasi dengan dua jurnalis senior Thomas Pujo W serta Kochil Biraw mencoba merespon dua buku antologi puisi Sindhunata berjudul Air Kata-kata dan Air Kejujuran.
Dari Langgar Tombo Ati, para penonton diajak bergeser ke sisi utara menuju halaman Taman Yakopan diiringi tetabuhan hadroh. Sindhunata menyanyikan penggalan lagu gregorian requiem, Requiem aeternam dona eis, Domine: Et lux perpetua luceat eis. Lagu kematian ini mengawali pendarasan puisi Air Kata-kata, in Memoriam Mbah Koen yang dibawakan oleh Thomas Pudjo.
Puisi ini berkisah tentang kematian Mbah Moen, penarik gerobak sampah yang hidup dan berpulang dalam kebersahajaan. “Selamat jalan, Mbah Koen, hidup ini memang hanya mampir minum. Kau telah sampai di surga air kata-kata. Doakanlah kami yang masih harus mengembara di dunia yang hanya memberi pedih dan susah bila kami tak meminum air kata-kata,” ucap Thomas.
Dari suasana kematian yang mencekam, penonton diajak bergembira dan menari diiringi penampilan Kidjing and The Black Mamba. Kolaborasi band dengan gamelan itu merespon puisi Sindhunata berjudul Joko Kenthir.
Dari suasana kematian yang mencekam, penonton diajak bergembira dan menari diiringi penampilan Kidjing and The Black Mamba.
Penampilan musik etnik Kidjing and The Black Mamba langsung disusul Sahabat Budi, sebuah band anak muda yang menyuguhkan puisi Sindhunata Tuhan dalam Bonek. Puisi yang bercerita tentang fanatisme suporter sepak bola itu tiba-tiba bermetamorfosa menjadi lagu yang sangat progresif, khas anak muda.
Tepuk tangan penonton menggema mengakhiri pementasan Sahabat Budi. Dari belakang halaman pertunjukkan tiba-tiba muncul suara asuok…asuok….Diiringi efek-efek musik, jurnalis sekaligus seniman Khocil Birawa berteriak melantunkan puisi Sindhunata berjudul Asuok. ….Kau ingin terbang seperti burung layang-layang, tinggi di angkasa tanpa bayang-bayang. Kau lupa, kakimu sedang berdiri di ambang jurang. Kau yakin topimu bersayap dan bisa membawamu terbang. Kau lupa, kau hanya sedang berjudi dengan harapan,” teriak Birawa.
Pertunjukan yang mengalir
Sutradara pertunjukan, Muhammad Shodiq Sudarti membiarkan alur pementasan mengalir tanpa perlu dibimbing pemandu acara. Sekuens satu bergeser ke sekuens berikutnya secara otomatis.
Penari Kinanti Sekar muncul dari atas tangga Taman Yakopan sembari membawa sebuah kursi. Ia meliuk-liuk dinamis mengekspresikan puisi Rahim Asu karya Sindhunata. Putri pemain pantomim legendaris Jemek Supardi ini memanfaatkan halaman Taman Yakopan sebagai panggung alami untuk berekspresi.
Sorotan lampu surut, Sekar menghilang dalam kegelapan. Tetabuhan gamelan dan rebana kembali menggema. Kidjing and The Black Mamba dan Hadroh Timur Saba memainkan Jula-Juli Sindhunata, syair-syair lucu khas Jawa Timur yang biasa dinyanyikan dalam pertunjukan Ludruk.
“Saiki dulur zamannya demokrasi, tapi penggedene isih koyo zaman singosari” (Saudara, sekarang zamannya demokrasi, tetapi para pembesarnya masih seperti zaman Singosari), demikian bunyi salah satu Jula-Juli.
Setelah pendarasan puisi, permainan musik tradisi, musik modern, dan tari, tampil pula pantomim yang disuguhkan Asita Kaladewa. Ia menerjemahkan puisi Sindhunata berjudul Ong Joyo Semoyo. Puisi yang direspon dengan pantomim relatif sangat jarang ditemukan dalam pementasan, paling tidak belakangan ini.
Tampil pula pantomim yang disuguhkan Asita Kaladewa. Ia menerjemahkan puisi Sindhunata berjudul Ong Joyo Semoyo.
Respon mengejutkan muncul kembali dalam penampilan musisi Guntur Nur Puspito bersama dalang muda, Bayu Aji. Ini adalah pertunjukan wayang unik karena iringannya bukan gamelan, melainkan musik elektronik.
Guntur dan Bayu mencoba merespon puisi Sindhunata berjudul Ilange Semar, cerita tentang kegelisahan para punakawan setelah mereka kehilangan bapak mereka, Sang Semar. Dalam pewayangan, Semar atau Ki Lurah Badranaya merupakan tokoh penting karena kebijaksanaannya.
“Semar itu bukan lelaki bukan wanita, namun seperti lelaki seperti wanita. Tersimpan dalam buah dadanya susu penderitaan para wanita. Tak pernah Semar memikat wanita dengan senyum, karena dalam dirinya penderitaan wanita terkandung. Sekarang Semar suka mesem, karena ia adalah Semar mendem”.
Kolaborasi Guntur dan Bayu kemudian dilengkapi dengan masuknya Shodiq membawakan respon atas puisi Sindhunata Susu Semar dengan penuh ekspresif. Panggung Sastra Pertunjukan ”Kejujuran dalam Air Kata-kata” ditutup dengan tarian kolaborasi Sekar dan Asita Kaladewa yang diiringi seluruh musisi. Lengkap sudah, pertunjukan ini menjadi semacam ”paket komplit” dari sebuah upaya respon artistik atas karya-karya puisi Sindhunata.
"Kami menampilkan bentuk-bentuk pertunjukan sastra alternatif melalui pertunjukan monolog, tari, musik, karya audiovisual, pantomim, dan aneka macam kolaborasi,” kata Shodiq.
Tak mau kehilangan momen-momen berkreasi mereka, anak-anak muda Komunitas Seni dan Budaya SANG Indonesia mendokumentasikan seluruh proses kreatif ini sejak awal mereka berdiskusi tentang materi, kemudian latihan, hingga akhir pementasan. Mereka akan mengabadikan perjalanan panjang merespon buku puisi Sindhunata, Air Kata-kata dan Air Kejujuran ke dalam sebuah film dokumenter.
Anak-anak muda ini telah membuktikan bahwa sastra bisa memunculkan berbagai macam ekspresi seni dengan segala macam rasa yang ditawarkan. Demikianlah “Kejujuran dalam Air Kata-kata” bisa dinikmati dalam beribu rasa oleh para penikmatnya.