Ibu dan Pigura Kayu
Beberapa bulan setelah itu, ibu sering bertengkar dengan ayah hingga akhirnya bercerai. Ayah meninggal setelah ibu resmi menikah dengan tukang kayu itu.
Kompas/Supriyanto Cartoons
Sejarah pigura kayu itu masih kutelusuri. Apa benar almarhum ayah yang membuatnya hingga ibu punya kebiasaan unik; menatap pigura itu berjam-jam. Kadang menangis, kadang tersenyum, dan kadang tertawa di depan pigura kayu itu. Dan itu sudah jadi kebiasaan ibu sejak aku masih kecil. Jika benar memang ayah pembuatnya, itu artinya ibu sedang berkomunikasi batin dengan ayah atau paling tidak menyusun kembali sebuah kenangan lewat pigura.
Jika demikan, aku ikut bahagia dan akan membantu merawatnya. Tapi, yang aku khawatirkan justru jika bukan demikian. Jangan-jangan ibu mengidap penyakit jiwa. Tentu aku harus segera melenyapkan pigura kayu itu.
***
Ibu masih duduk mengamati pigura kayu. Tak peduli matahari semakin bergerak meninggi dan biasnya begitu silau menjamah pilar-pilar beranda, mengecup daun-daun di halaman dan seberkas menyorot pipi ibu. Jam sudah menunjukkan pukul 06.30. Tapi, sedari subuh ibu cuma di situ dan tidak ke dapur. Masih dengan mukena biru yang sepasang talinya tetap terikat di kepala.
Hampir dua jam ibu ada di meja tamu. Tetap khusyuk memandang pigura kayu. Jemarinya bergerak pelan satu-satu, seperti sengaja menabuh meja, hingga menimbulkan bunyi seperti derap kuda. Entah apa keistimewaan pigura tersebut. Padahal tak ada foto yang terselip dalam bingkainya. Kecuali hanya kaca yang mulai kusam oleh amuk waktu dan goresan-goresan memanjang bersaput debu.
Sepasang mata ibu menatap tajam ke tengah-tengah pigura tua berwarna coklat itu. Nyalang dan jarang berkedip. Seolah menemukan gambar sebuah lorong yang memanjang ke suatu tempat yang penuh kenangan masa lalu.
Ketika ibu duduk di depan pigura, berarti aku harus melatih kesabaran. Kadang harus menanak sendiri, mencuci, memberi pakan ayam dan menyelesaikan pekerjaan lain yang menumpuk. Maklum, aku hanya tinggal berdua dengan ibu.
Kali ini aku tak ingin mengingatkan ibu kalau waktu sebentar lagi akan siang. Peringatan semacam itu sudah sering kulakukan dan hasilnya nihil. Ibu tetap tak beranjak dari depan pigura.
”Ibu! bagaimana kalau saya usul. Agar pigura itu dipasangi foto. Agar tidak mubazir,” ucapku dengan maksud tersembunyi agar kebiasaan ibu sedikit terkurangi. Ibu terdiam sebelum akhirnya menoleh.
”Foto siapa yang akan kau pasang?”
”Foto ayah.”
Ibu hanya tersenyum membuat pipinya yang sedikit keriput berubah agak kenyal.
”Ilham. Pigura ini sudah cukup bagi ibu, dan lebih memberi sebuah kenangan,” ucap ibu lembut sambil mengelus bagian samping pigura kesayangannya yang miring bersandar kayu segi tiga di atas meja.
”Kakak. Ini sudah jam tujuh. Ayo kita berangkat,” ajak Sarah, adik perempuanku yang seketika berdiri di samping pintu dengan seragam sekolah putih dongker.
Aku membisu menatap tajam wajah Sarah tepat pada sepasang bibirnya yang kering. Ia pasti belum makan apa-apa. Sejak duduk di bangku SMP, pikirannya mulai dewasa. Ia paham keadaan ibu. Ketika ibu asyik bermesra dengan pigura, Sarah tak pernah protes. Seperti pagi ini, ia tetap hendak bersekolah meski belum makan bahkan mungkin belum punya uang jajan.
”Kakak. Kenapa diam saja?”
”O, Ya. Tunggu sebentar, aku ke kamar dulu,” pintaku, sigap kubalikkan badan ke arah pintu kamar. Aku memakai seragam dan tak lupa mencantol lubang celenganku agar beberapa rupiah keluar untuk kuberikan kepada Sarah.
***
Tak ada yang tahu persis tentang muasal pigura itu. Untuk melacak sejarahnya aku harus menemui orang yang tahu banyak tentang keluargaku. Tak lain orang itu kini yang masih hidup hanya Embah Buni, adik kakek yang hidup seorang diri di Dusun Pangabasen.
Hari tak begitu siang ketika aku tiba di rumah Embah Buni. Lelaki berkulit gelap itu tengah khusyuk mengisap kelobot beraroma tajam. Ia duduk di beranda rumahnya, mengabaikan kepulan asap membedaki wajahnya yang keriput. Sesekali ia menyeruput segelas kopi buatannya sendiri, dengan sangat percaya diri mempersilakan aku mencoba menyesapnya juga. Atas nama penghormatan cucu kepada kakek, maka aku pun meminumnya. Lantas aku memujinya meski sebenarnya kopi olahan Embah Buni sedikit getir. Embah Buni tersenyum mengisap agak lama kelobotnya. Obrolan-obrolan pembuka telah kumulai sebelum akhirnya sampai kepada yang paling inti.
”Embah mungkin tahu siapa yang membuat pigura kayu kesayangan ibu itu?”
”Iya. Tentu.”
”Apa mungkin ayah?”
”Hehe. Ayahmu tukang batu, bukan tukang kayu. Setiap hari ayahmu sibuk bekerja di tambang. Jadi sangat tidak mungkin ia bisa membuat pigura kayu.”
”Lalu, yang benar siapa pembuat pigura kayu itu, Embah?”
”Yang membuat pigura itu tentu tukang kayu, ayahnya Sarah. Bukan ayahmu.”
Jawaban Embah Buni cukup menyentak. Aku membisu. Pikiranku melayang-layang dan ingat kepada ibu. Berarti sejak dulu ibu lebih mencintai ayah Sarah dari pada ayahku. Pigura itu adalah jembatan kenangan ibu dengan ayah Sarah.
Aku teringat cerita tetangga bahwa dahulu kala ibu sering ditinggal ayah bekerja ke tambang batu, dan aku sering dibawa nenek ke rumahnya. Di saat ayah tak ada di rumah, ibu berselingkuh dengan lelaki tukang kayu yang biasa bekerja di ladang sebelah rumah.
Beberapa bulan setelah itu ibu sering bertengkar dengan ayah hingga akhirnya bercerai. Ayah meninggal setelah ibu resmi menikah dengan tukang kayu itu. Kata orang-orang, penyebab kematian ayah karena jiwanya masih diselimuti rasa cinta kepada ibu yang tak tersampaikan lantaran ibu sudah tidak mencintainya lagi.
Sepulang dari rumah Embah Buni, aku punya rencana agak usil. Aku ingin mengganti pigura kayu ibu dengan pigura kayu yang lain. Sebenarnya ini adalah kesempatan menunaikan dendam ayah kepada ibu. Dendam itu bisa saja kulampiaskan dengan menghancurkan pigura itu, tapi alangkah kejinya jika seorang anak dendam kepada ibunya. Aku bimbang. Jika tidak dendam, itu artinya aku tidak mendukung ayah. Maka aku akan mengambil jalan tengah, setidaknya aku akan mengganti pigura kayu itu dengan pigura kayu yang lain.
***
Sebuah pigura kayu coklat tua terlihat anggun di atas meja. Seolah telah puluhan tahun menghuni rumah ini ketika coba lekat mataku melihat kacanya yang kusam berdebu. Bentuknya mirip pigura ibu yang telah kuganti dini hari tadi. Sangat mirip sekali. Aku tidak rugi membeli pigura pesananku itu meski dengan harga yang tinggi; tiga ratus ribu rupiah.
Seusai shalat subuh, sengaja kuberdiam dalam kamar, mengabaikan pintu agak terbuka, agar leluasa melihat adegan pertama; bagaimana ibu memperlakukan pigura itu. Tapi hingga jam delapan pagi aku masih tak melihat ibu keluar dari kamarnya. Andai bukan hari Minggu, mungkin aku sudah mengetuk pintu kamar ibu untuk pamit ke sekolah.
Pelan kumelangkah ke dekat pigura. Duduk di kursi yang biasa ibu duduki saat bermesraan dengan piguranya. Keadaan sangat hening. Sesaat hanya ada suara angin dan keciap anak ayam yang belum makan. Kuamati isi rumah yang tampak seperti tempat asing. Seperti rumah tua yang renta ditikam senyap.
Lamat-lamat aku mendengar suara Sarah sedang menangis di kamar ibu yang masih tertutup. Aku pun mendekat ke arah suara itu.
Telinga kiriku menempel di daun pintu. Ya, Sarah sedang menangis. Tak buang waktu, segera kuputar engkol pintu hingga daunnya terkuak. Aku terkejut ketika melihat ibu sedang berbaring lemah di atas ranjang. Matanya terpejam dan seluruh tubuhnya membeku.
”Sarah. Kenapa kau tidak segera memberitahuku?”
”Maaf, Mas. Saya terlalu panik ketika melihat keadaan ibu.”
”Ibu harus dilarikan ke rumah sakit.”
***
Kini aku hanya bisa mengenang ibu yang kerap duduk berjam-jam di depan pigura. Aku tak bisa menolak kepergiannya yang tiba-tiba dan untuk selamanya itu. Ia meninggal setelah dua minggu dirawat di rumah sakit. Dan ibu tak sempat melihat pigura tiruan yang telah kupajang di atas meja.
Pagi ini aku sengaja tidak bersekolah. Setelah Sarah berangkat, kupuaskan air mataku jatuh membasahi pipi. Hari ini tak ada kenikmatan paling berarti bagiku selain menangisi kepergian ibu. Aku terisak dan air mataku seperti derai gerimis yang menikam seluruh permukaan pipi. Ibu. Ibu.
Pigura tiruan yang terpajang di meja kubanting ke lantai. Aku menggantinya kembali dengan pigura asli milik ibu. Seperti semula, pigura itu bersandar ke penyangga kayu. Bingkainya coklat tua dengan cat memudar. Sedang kaca pigura itu masih kusam dan berdebu. Aku meniru ibu, menatap lekat ke datar kacanya. Memasuki lorong-lorong kenangan yang abstrak. Hingga pada suatu titik terjauh aku serasa bertemu ibu, duduk membisu dan sendirian di atas batu.
Gaptim, 2019
___________________________
A Warits Rovi, lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jalan Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472.