Eksploitasi alam berlebihan memicu ketidakseimbangan lingkungan. Itu meningkatkan risiko penularan penyakit yang ditularkan dari satwa liar, seperti kelelawar ke manusia, termasuk pneumonia akibat infeksi virus korona.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Lompatan virus dari satwa liar ke manusia menjadi ancaman besar bagi kesehatan global. Wabah virus korona baru 2019-nCoV yang menginfeksi 28.335 orang dan menewaskan 565 orang hingga Kamis (6/2/2020) menambah panjang daftar penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Indonesia juga memiliki potensi menjadi episenter wabah jika tak hati-hati mengelola lingkungan.
Satu bulan sebelum 2019-nCoV mewabah di Kota Wuhan, peneliti kesehatan dari Kingston University, Inggris, Hongying Li dan tim, memperingatkan ancaman lompatan virus korona dari kelelawar ke manusia di China. Hasil kajiannya bersama para peneliti lain tersebut dipublikasikan di jurnal ilmiah Biosafety and Health pada 9 November 2019.
Lompatan virus korona itu memang terjadi meski bukan di perdesaan China bagian selatan, lokasi yang menjadi kajiannya. Namun, apa yang terjadi di Wuhan memiliki kemiripan dari temuan studinya.
Melalui surveilans yang didukung Proyek PREDICT, Li dan tim mengidentifikasi sejumlah virus korona yang mirip dengan pemicu sindrom pernapasan akut parah (SARS) pada kelelawar di wilayah Yunnan, Guangxi, dan Guangdong. Studi mereka juga menemukan bukti serologis penularan korona virus pada orang yang mengarah ke penyakit klinis.
Proyek PREDICT merupakan upaya global yang dipimpin University of California Davis One Health Institute dan didukung USAID untuk menemukan dan memetakan virus yang berpotensi menjadi pandemi.
Dalam 1.596 orang yang diperiksa dalam riset itu, 9 orang (0,6 persen) positif terinfeksi virus korona kelelawar. Sebanyak 265 orang (17 persen) orang mengalami infeksi saluran pernapasan akut (severe acute respiratory infection/SARI) dan atau gejala penyakit mirip influenza (influenza-like illness/ILI) yang bisa dikaitkan dengan berbagai satwa di sekitar tempat tinggal mereka.
Kelelawar, mamalia terbang yang masuk dalam ordo Chiroptera, merupakan reservoar alami berbagai virus zoonotik, yakni yang bisa menular pada hewan dan manusia, termasuk virus korona yang memicu wabah pada manusia dan hewan peliharaan, di antaranya SARS. Sementara Middle East respiratory syndrome (MERS) awalnya juga dari virus di kelelawar yang menular ke unta sebelum ke manusia.
Virus korona baru yang merebak di Wuhan kali ini juga diduga awalnya berinang di kelelawar. Riset terbaru Peng Zhou dari Wuhan Institute of Virology dan tim, yang diterbitkan di jurnal Nature pada 3 Februari 2020 menyebutkan, urutan genom lengkap dari lima pasien pada tahap awal wabah 79,5 persen mirip dengan SARS-CoV. Lebih lanjut ditemukan bahwa 2019-nCoV ,96 persen identik dengan virus korona kelelawar.
Risiko di Indonesia
”Satwa liar seperti kelelawar menjadi reservoar atau inang alami bagi virus korona, selain beberapa virus lain. Riset kami di Indonesia juga menemukan itu,” kata Peneliti Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat-IPB, Joko Pamungkas, dalam diskusi di Bogor, Jumat (31/1/2020).
Joko, yang menjadi Koordinator PREDICT-Indonesia 2014-2019, telah melakukan surveilans terhadap kelelawar dan rodensia (tikus liar) di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat, tahun 2016-2018. Dalam survei itu ditemukan 13 virus baru, sedangkan dalam survei periode sebelumnya ditemukan 17 virus.
Sementara surveilans yang dilakukan pada 2012-2013 terhadap lebih dari 400 satwa liar dari 3 taxa, yaitu satwa primata, rodensia, dan kelelawar, menemukan 14 virus baru dan 6 virus yang telah diketahui sebelumnya. Beberapa virus itu meliputi antara lain paramyxoviruses, coronaviruses, astroviruses, rhabdoviruses, dan herpesviruses.
”Virus korona yang ditemukan pada kelelawar di Indonesia ini tidak sama dengan yang di China. Pohon kekerabatannya masih jauh dari yang menginfeksi manusia. Namun, potensinya tidak bisa dikesampingkan dan tetap ada. Tentu kita berharap tidak terjadi, tetapi karena virus bisa bermutasi, sangat mungkin di saat lain bisa ditemukan virus yang berbahaya bagi manusia,” katanya.
Interaksi yang intens dengan satwa liar, khususnya kelelawar, bisa meningkatkan risiko kasus zoonosis, yaitu penularan virus yang menginfeksi satwa ke manusia. ”Kalau bersinggungannya dengan daging (satwa) yang masak, mungkin aman. Tetapi, sebelum itu, dari pemburuan, pengepul di dekat rumah bisa membahayakan keluarga serta tetangga, transportasi, dan pasar akan meningkatkan risiko penularan virus,” ungkapnya.
Interaksi intensif
Sementara Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, lompatan virus pada binatang ke manusia sebenarnya bukan persoalan mudah. Pasti butuh interaksi yang intensif dan waktu panjang, hal itu bisa terjadi secara acak.
Karena adanya interaksi, virus di hewan liar itu bisa pindah ke manusia dan demikian sebaliknya. Karena pindah inang, dia akan bermutasi sebagai mekanisme adaptasi. Tidak semua virus yang berpindah ini akan mampu beradaptasi ke inang baru. ”Yang mampu beradaptasi ini kemudian menjadi virus manusia,” ujarnya.
Jika virus tersebut menginfeksi binatang bisa jadi tidak mematikan karena adanya mekanisme toleransi. Namun, jika melompat ke manusia dan bermutasi, bisa mematikan. Selain kelelawar, banyak hewan lain, seperti tikus, monyet, musang, dan burung, bisa menjadi inang awal dari virus mematikan bagi manusia. Perburuan dan konsumsi satwa liar, seperti terjadi di Sulawesi Utara, akan meningkatkan risiko zoonosis ini.
Contoh lain infeksi zoonosis yang terjadi di Indonesia adalah penyakit malaria jenis baru akibat infeksi parasit Plasmodium knowlesi. Sebelumnya, parasit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk itu hanya menjangkiti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), monyet ekor babi (Macaca nemestrina), dan langur (Presbytis melalophos). Makin dekatnya permukiman warga dengan hutan dan eksploitasi hutan diduga memicu kenaikan kasus malaria jenis ini di berbagai daerah Indonesia.
Menurut Kepala Divisi Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bambang Pontjo Priosoeryanto, 75 persen dari penyakit-penyakit baru muncul pada manusia berawal dari hewan. Beberapa di antaranya ebola, HIV, dan flu burung. ”Sejak tahun 1940 ditemukan 335 penyakit baru, di mana 60,3 persen merupakan zoonosis dan 71,8 persen di antaranya berawal dari satwa liar,” ujarnya.
Jelas bahwa eksploitasi alam yang berlebihan menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan dan akan meningkatkan risiko penularan penyakit berbahaya. Hutan yang terjaga juga menjadi benteng bagi satwa liar yang menjadi inang bagi virus-virus mematikan. Jadi, dengan menjaga alam, kita sebenarnya juga menjaga kesehatan sendiri.