Menyaksikan Letusan Krakatau dari Ketinggian
Kami terkesima, tak kuasa membendung rasa takjub saat menyaksikan gunung di tengah Selat Sunda itu tengah ”mengamuk”. Suara dentuman terdengar hingga ke dalam kabin meski tidak sampai membuat pesawat bergetar.
Bencana tsunami yang menerjang pesisir Banten pada 22 Desember 2018 pukul 22.00 membuat kawasan wisata itu diselimuti duka. Di seberang, Provinsi Lampung juga tak luput terkena terjangan tsunami.
Total, lebih dari 400 orang menjadi korban meninggal. Belum lagi korban luka, harus mengungsi, dan kerugian berupa rusaknya bangunan dan hilangnya harta benda.
Editor foto Kompas kemudian menugaskan saya untuk meliput bencana tersebut. Peristiwa yang terjadi hampir tengah malam dengan akses jalan darat ke lapangan yang sulit, membuat saya memilih berangkat pagi hari agar persiapan juga lebih matang.
Siaran televisi yang menyiarkan kisah dan gambar tentang terjangan awal tsunami dari jurnalis warga, berikut perkembangannya, menjadi salah satu referensi untuk mengukur kondisi lapangan dan kebutuhan peliputan.
Pagi harinya, saya bergegas menuju kantor untuk meminjam mobil inventaris beserta drone yang pasti akan diperlukan untuk sudut pengambilan gambar lanskap lapangan. Ternyata, saat akan berangkat, ponsel utama saya tertinggal di kursi teras rumah.
Ini baru saya sadari saat tiba di kantor. ”Wah, kok hp-ku cuma satu. Sial, berarti tadi ketinggalan di rumah,” pikir saya.
Untung masih ada satu ponsel lainnya yang bisa digunakan sebagai sarana komunikasi. Ponsel yang saya kantongi itu tak lama berdering. Peneleponnya, Heru Sri Kumoro, rekan sesama fotografer harian Kompas.
Ia menginformasikan bahwa editor berusaha menghubungi saya sepagian untuk meminta saya bergeser ke Bandara Halim Perdanakusuma. Harian Kompas mendapat satu kursi untuk ikut dalam pantauan udara dengan menumpang pesawat maskapai Susi Air.
Baca juga: Menembus Pertambangan Liar dan Menggali Kisah Bayi Berkelainan
Saya segera mengegas laju mobil menuju Halim. Padahal, rumah saya sebenarnya berada di wilayah timur Jakarta. Gara-gara ponsel tertinggal, saya jadi mondar-mandir.
Untung saja, lalu lintas tol dalam kota ke arah Cawang pagi itu masih sepi sehingga dalam waktu 20 menit saya telah memarkir kendaraan.
Setibanya di titik kumpul, yakni di kafe ujung terminal keberangkatan, saya segera mengontak pihak maskapai. Saat itu saya juga mendapat titipan handycam dari tim Kompas TV yang kebetulan tidak mendapat slot terbang.
Ada tujuh awak media dari berbagai platform yang ikut dalam penerbangan, yakni media cetak, televisi, radio, dan daring. Sebelum pukul 11.00 semuanya sudah lengkap berkumpul. Kami kemudian diarahkan masuk ke ruang tunggu di dalam bandara.
Baca juga: Kelebat Putih di Rumah Tua Peninggalan Belanda
Namun, ternyata kami tidak bisa langsung terbang. Kawasan udara yang kami tuju masih tertutup karena sedang digunakan untuk penerbangan orang penting alias very very important person (VVIP). Saat itu tidak dijelaskan siapa VVIP yang dimaksud.
Kami terus menunggu hingga pukul 14.00. Seorang rekan sempat menanyakan apakah kami jadi terbang yang dijawab dengan ramah bahwa kami masih harus menunggu. Tayangan televisi yang menghadirkan perkembangan bencana di lokasi menjadi santapan kami saat itu untuk membunuh waktu.
Akhirnya, waktu terbang pun tiba. Pihak maskapai penerbangan memberi isyarat kami akan segera mengangkasa. Mereka kemudian memberi gambaran bahwa kondisi cuaca saat itu belum sepenuhnya kondusif, tetapi sudah aman untuk penerbangan.
Mengingat waktu yang beranjak kian sore, tanpa membuang waktu kami memutuskan ingin langsung terbang agar tidak terlalu gelap ketika mengudara.
Pukul 15.00, satu per satu awak media masuk ke dalam kabin pesawat Cessna 208B Grand Caravan. Penerbangan direncanakan berlangsung dua jam.
Baca juga: Di Bawah Bayang-bayang Teror Penembakan di Papua
Pesawat meninggalkan landas pacu Halim dalam kondisi gerimis. Selang 15 menit kemudian, cuaca justru semakin memburuk. Hujan
deras dengan jarak pandang terbatas mewarnai penerbangan kami.
Hanya awan putih dan terpaan air hujan di jendela kabin yang kami saksikan. Pesawat terasa berguncang saat menembus awan. Untungnya saat kami harus mulai mengambil gambar pesisir Banten, cuaca lebih ramah. Meski masih hujan dan berkabut, masih terlihat pemandangan di kejauhan.
Setelah selesai menyusuri pesisir Banten, pilot memberi kode bahwa
pesawat kami akan menuju Lampung dan melewati Gunung Anak Krakatau.
Tak ada gambaran apa pun tentang visual yang akan kami saksikan. Pukul 16.14, kami mencapai kawasan itu. Pemandangan yang tak terbayangkan terjadi di depan mata.
Kami terkesima, tak kuasa membendung rasa takjub saat menyaksikan gunung di tengah Selat Sunda itu tengah ”mengamuk”. Spontan semua awak media berpindah ke jendela sisi kanan untuk mengabadikan peristiwa.
Baca juga: Nyaris Karam di Kapuas Saat Meliput Daun Ajaib
Lontaran material vulkanik berwarna hitam beserta abu yang dibarengi asap putih membubung tinggi ke langit. Riak gelombang di laut yang timbul akibat runtuhnya dinding lereng gunung juga terlihat jelas menyertai letusan.
Suara dentuman terdengar hingga ke dalam kabin meski samar-samar dan tidak sampai membuat pesawat bergetar. Suara dan pemandangan itu membuat kami merinding, menyadari kami tengah berada di dalam pesawat kecil, tidak jauh di atas gunung yang tengah erupsi.
Sambil mengekspresikan rasa takjubnya, awak media terus mengambil gambar sebanyak mungkin. Arah angin yang berlawanan menguntungkan kami karena membuat pesawat aman dari terpaan abu vulkanik. Jarak pandang juga bersih, menghadirkan proses erupsi secara jelas.
Kamera DSLR yang saya gunakan kemudian saya ubah ke moda video yang masih memungkinkan untuk memotret. Saya langsung merekam video untuk mendapatkan gambar gerak secara lengkap proses erupsi tersebut. Pada saat momen puncak ledakan, tombol shutter saya pencet beruntun untuk memotret di sela-sela proses rekam video.
Selepas menyaksikan kekuasaan dan kebesaran Tuhan di Selat Sunda yang sangat langka itu, kami melanjutkan perjalanan ke Lampung. Dahsyatnya letusan Anak Krakatau masih terus terbayang-bayang saat kami terbang di atas pesisir Lampung.
Baca juga: Kota Wuhan yang Saya Kenal
Tak lama kemudian, pilot memutar pesawat kembali ke Halim melalui rute yang berbeda dan lebih aman. Cuplikan video erupsi kemudian ditayangkan dalam Breaking News KompasTV malam hari itu juga setelah kami mendarat menjelang petang dan mengirimkan gambar-gambar hasil liputan dari ruang VVIP.
Dalam dialog Breaking News di ruang studio KompasTV, tayangan erupsi tersebut, seperti juga tayangan di televisi-televisi berita lainnya, menjadi verifikasi awal penyebab terjadi tsunami vulkanik. Absennya gempa dan air laut surut sebagaimana saat terjadi tsunami tektonik membuat antisipasi publik minim.
Erupsi yang kami saksikan dan masih tergolong ”aman” terjadi setelah 18 jam tsunami vulkanik menerjang. Tidak terbayangkan, betapa dahsyatnya erupsi awal Anak Krakatau yang kemudian memicu terjadi tsunami itu. Seberapa besar ledakan erupsinya?
Pertanyaan itu mungkin sedikit terjawab melalui kesaksian warga di Pantai Carita yang jaraknya 51 kilometer dari Anak Krakatau. Dari jarak sejauh itu, mereka sempat mendengar dentuman gunung tersebut 21 menit sebelum datangnya tsunami. Sayang, akibat minimnya kemampuan mitigasi, kedatangan gelombang tsunami tetap tak terprediksi.
Baca juga: Mental Ditempa di SEA Games Filipina
Dalam foto jurnalistik, momen puncak adalah inti dari rangkaian suatu kejadian. Dalam kondisi belasan jam pascabencana dan kita masih mendapatkan visual yang dahsyat, itu merupakan suatu keberuntungan tersendiri.
Saat pesawat berada di titik koordinat yang pas dan kemudian terjadi momen tak terduga, sungguh keberuntungan luar biasa yang kami alami. Memang, keberuntungan terkadang hadir tanpa kita duga, di tengah usaha demi usaha peliputan di lapangan.
Peliputan erupsi Anak Krakatau di tengah cuaca gelombang laut yang ekstrem saat itu memang hanya mungkin dilakukan dengan pesawat. Ini mungkin yang membuat foto dan video yang kami buat dari balik jendela Cessna terkesan eksklusif.
Hasil peliputan ini telah melahirkan dua penghargaan jurnalistik. Foto saya berhasil meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2019 untuk kategori Foto Jurnalistik.
Sementara rekan Nurul Hidayat dari Bisnis Indonesia menerima Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2019 untuk karya foto tunggal kategori Environment and Nature.
Baca juga: Setahun Tsunami, Mitigasi Masih Terabaikan
Yang paling penting, kesaksian visual ini semoga menjadi refleksi bagi pemangku kepentingan terkait tentang pentingnya mitigasi bencana demi meminimalisasi korban mengingat kita hidup di negeri cincin api yang rawan bencana.