Ekonomi bukan hanya soal kuantitas, angka-angka proyeksi dan realisasi, investasi, bisnis, dan daya saing. Ekonomi juga menyangkut manusia, termasuk ”wong cilik” yang tengah menggerakkan roda ekonomi kerakyatan.
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
Pada era perlambatan ekonomi, berbagai negara, termasuk Indonesia, bertahan dan berbenah diri. Transformasi struktural ekonomi diyakini menjadi kunci menggeliatkan ekonomi.
Indonesia memilih jalan itu. Dua langkah strategis dilakukan. Pertama, memberikan kemudahan berinvestasi melalui dua regulasi sapu jagat, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dan RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Kedua, meningkatkan relasi bilateral, regional, dan multilateral dengan negara-negara lain. Tak hanya membuka akses perdagangan barang, tetapi juga investasi dan perdagangan jasa.
Dengan dua RUU itu, investasi tengah menjadi ”raja”. Tujuannya jelas mulia, di tengah-tengah kemerosotan sektor usaha dan industri, insentif-insentif diberikan. Melalui investasi yang diyakini pemerintah membuka lapangan kerja, 7,05 juta pengangguran bakal memiliki pekerjaan. Jika dua regulasi omnibus law itu berjalan, ekonomi Indonesia bisa tumbuh 0,2 persen-0,3 persen.
Sama halnya jika akses kerja sama ekonomi komprehensif dengan sebuah atau sejumlah negara dibuka. Perdagangan dan investasi diyakini bakal meningkat dan menopang pertumbuhan ekonomi. Melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (RCEP) misalnya, ekspor Indonesia diperkirakan akan meningkatkan 8 persen-11 persen dan investasi 18 persen-22 persen.
Kendati begitu, ekonomi bukan hanya soal kuantitas, angka-angka proyeksi, realisasi, bisnis, investasi, dan daya saing. Ekonomi juga menyangkut manusia. Saat menjadi pembicara kunci dalam lokakarya ”Bentuk Baru Solidaritas” di Akademi Ilmu Sosial Kepausan, Vatikan, Italia, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menjawab pertanyaan, ”Apa prioritas baru bagi ekonomi global?”
”Biarkan saya memberi Anda jawaban singkat. Dalam kata-kata Paus Fransiskus, tugas pertama adalah menempatkan ekonomi untuk melayani orang-orang,” kata Georgieva.
Ekonomi bukan hanya soal kuantitas, angka-angka proyeksi, realisasi, bisnis, investasi, dan daya saing. Ekonomi juga menyangkut manusia.
Menempatkan ekonomi untuk melayani manusia ini juga menyangkut tujuan dasar kepemimpinan di sektor publik dan swasta. Setiap manusia di dunia, termasuk para pemimpin negara dan korporasi, dipanggil sebagai ”pelayan”, tidak untuk melayani diri sendiri, tetapi melayani orang lain dengan pikiran terbuka dan hati yang baik.
”Hal ini penting untuk membangun dan mengembangkan ekonomi kita. Ekonomi yang kita miliki sekarang bisa menjadi sumber harapan yang kuat dan suar cahaya. Namun, ekonomi yang sama telah memberikan bayangan gelap,” katanya.
Indonesia masih memiliki ekonomi kerakyatan yang perlu terus dikembangkan. Indonesia masih memiliki para buruh yang tetap perlu dilindungi. Indonesia juga masih bergantung hidup dari petani dan nelayan.
RUU Cipta Kerja memang akan merangkul mereka semua, tetapi keseimbangan kebijakan tetap harus dijaga. Usaha mikro, kecil, dan menengah memang sudah mendapat porsi, tetapi jangan sampai hak-hak buruh dan perlindungan buruh tereduksi. Hak mendapatkan upah, pesangon, bekerja, dan perlakuan hukum yang setara. Selama ini mereka juga menjadi penopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Indonesia tumbuh 5,02 persen pada 2019 dengan ditopang pertumbuhan investasi dan konsumsi rumah tangga kendati melambat. Pertumbuhan investasi melambat dari 6,64 persen pada 2018 menjadi 4,45 persen pada 2019. Kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi 32,33 persen.
Adapun konsumsi rumah tangga juga dari 5,05 persen pada 2018 menjadi 5,04 persen pada 2019. Kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi 56,62 persen.
Di sisi lain, keran impor semakin terbuka. Tahun ini, pemerintah menetapkan alokasi impor gula mentah 3,2 juta ton, naik dari 2,8 juta ton dari tahun lalu. Sementara, alokasi impor garam tahun ini menjadi 2,9 juta ton dari 2,7 juta ton pada tahun sebelumnya.
Belum lagi kebijakan di bidang kelautan dan perikanan yang juga akan diubah oleh Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap. Regulasi itu memuat tentang pencabutan larangan alih muatan kapal (transhipment), pencabutan larangan alat tangkap cantrang dan sejenisnya yang dinilai merusak sumber daya ikan, serta dibukanya keran ekspor benur lobster.
Lalu bagaimana nasib petani tebu, petani garam, dan nelayan? Sekali lagi, ekonomi bukan soal bisnis dan investasi. Ekonomi juga menyangkut manusia. Investasi terhadap manusia yang tengah menggerakkan roda ekonomi kerakyatan.