WTO mengingatkan adanya pelemahan barometer perdagangan dunia. Barometer yang berada di zona merah itu belum memperhitungkan dampak virus Covid-19.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO memperkirakan perlambatan perdagangan global akan berlanjut hingga triwulan I-2020. Untuk itu, setiap negara, termasuk Indonesia, perlu menyiasati agar perdagangan tidak tergelincir semakin dalam.
Sinyal perlambatan itu terindikasi dari barometer perdagangan barang dunia yang dirilis WTO pada Senin (17/2/2020) malam. Barometer perdagangan global tahun 2019 berada pada level 95,5 dan berada di zona merah atau di bawah rata-rata tren pertumbuhan perdagangan.
Jika dibandingkan dengan 2018, barometer perdagangan WTO berada di level 96,3. Angka itu yang terlemah sejak Maret 2010.
WTO menyatakan, penghitungan barometer perdagangan itu belum mencakup dampak penyebaran virus Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China. WTO memperkirakan, barometer perdagangan barang dunia nantinya akan dipengaruhi oleh dampak ekonomi dari wabah tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani mengatakan, awal tahun ini, rantai perdagangan dunia terganggu. Sejumlah kawasan industri di China menghentikan industri dan sejumlah negara lebih berhati-hati menyikapi wabah virus Covid-19.
”Dalam jangka pendek, Indonesia mesti mempercepat diversifikasi impor dari China dan ekspor ke China,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Dalam jangka pendek, Indonesia mesti mempercepat diversifikasi impor dari China dan ekspor ke China.
Badan Pusat Statistik mencatat, China merupakan negara tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia. Nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China pada Januari 2020 sebesar 2,1 miliar dollar AS. Impor nonmigas tertinggi Indonesia juga berasal dari China dengan nilai 3,95 miliar dollar AS.
Shinta menuturkan, pelaku industri nasional perlu mencari pemasok dari negara selain China. Langkah ini harus dilakukan agar gangguan rantai pasok di China tidak menghentikan proses produksi perindustrian nasional, baik untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri maupun ekspor.
Dari sisi ekspor, produk-produk Indonesia mesti dialirkan ke pasar alternatif untuk menggantikan China sebagai tujuan secara sementara. ”Ada potensi permasalahan logistik di China selama wabah terjadi. Oleh sebab itu, kita mesti mengompensasi penurunan kinerja ekspor ke China dengan meningkatkan ekspor ke negara lain,” ujarnya.
WTO menyebutkan, penurunan barometer perdagangan dunia disebabkan oleh penurunan sejumlah indikator. Indikator itu meliputi indeks pengiriman barang melalui kapal yang turun dari 100,3 (Desember 2018) menjadi 94,8 (Desember 2019), kargo udara yang turun dari 96,8 (Desember 2018) menjadi 94,6 (Desember 2019), dan ekspor komoditas mentah pertanian yang turun dari 94,3 (Desember 2018) ke 90,9 (Desember 2019).
Peneliti Center of Investment, Trade, and Industry Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, berpendapat, sinyal perlambatan perdagangan ini mesti diantisipasi dengan hilirisasi produk strategis. Produk strategis itu berupa barang ekspor unggulan berbahan impor.
Selain itu, Indonesia mesti mencari pasar nontradisional yang tidak rentan terhadap risiko perlambatan perdagangan. Contohnya, negara-negara di Afrika dan Amerika Selatan.
Pertumbuhan perekonomian China diperkirakan melambat menjadi 4,5 persen pada triwulan I-2020.
Sementara itu, Formative Content Senior Writer World Economic Forum (WEF), Rosamond Hutt, menyatakan, pertumbuhan perekonomian China diperkirakan melambat menjadi 4,5 persen pada triwulan I-2020. Pada triwulan sebelumnya, perekonomian China tumbuh 6 persen.
”Perlambatan pertumbuhan ekonomi China itu disebabkan penutupan sementara sejumlah pabrik. Hal ini berdampak pada perusahaan besar dunia seperti Nissan dan Apple,” ujarnya.