Aspek Lingkungan Hidup Menjadi Sorotan
Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai cenderung meminggirkan aspek lingkungan hidup. Hal itu bisa mengancam pembangunan berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja diharapkan menggerakkan perekonomian, tetapi pasal-pasalnya cenderung meminggirkan aspek lingkungan hidup. Padahal, peminggiran aspek lingkungan hidup ini justru dapat mengancam pembangunan berkelanjutan.
Analisis yang dilakukan para peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menemukan banyak potensi masalah terkait lingkungan hidup di dalam draf RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan oleh pemerintah ke DPR pada 12 Februari 2020.
RUU dengan konsep sapu jagat ini juga berpotensi menimbulkan masalah terkait penataan ruang, pertambangan mineral dan batubara, perkebunan, kehutanan, kelautan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ketenagalistrikan, serta keanekaragaman hayati.
Menurut Direktur ICEL Raynaldo Sembiring, di Jakarta, Rabu (19/2/2020), dalam RUU Cipta Kerja, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan pemerintah pusat. Misalnya, Pasal 23 angka 24 mengenai perubahan Pasal 63 UU Lingkungan Hidup disebutkan, kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dihilangkan. Padahal, kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas dan masalah lingkungan sifatnya spesifik site.
Baca juga: Undang-Undang Sapu Jagat Rentan Perparah Dampak Lingkungan dan Konflik
”Salah satu bentuk peminggiran aspek lingkungan hidup adalah dilonggarkannya amdal (analisis mengenai dampak lingkungan),” kata Raynaldo. Usaha wajib amdal yang semula lebih jelas diatur dengan 9 kriteria di Pasal 23 UU Lingkungan Hidup dijadikan satu kriteria dengan indikator abstrak. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup karena harus berkompromi dengan aspek lain, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam RUU ini, izin lingkungan dihilangkan, diganti perizinan berusaha. Hal ini tertera dalam Pasal 23 angka 4 mengenai perubahan Pasal 24 Ayat (5) UU LH. ”Dengan demikian, akses masyarakat untuk melakukan upaya hukum terhadap keputusan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan hidup semakin kecil peluangnya,” kata Raynaldo.
Para peneliti ICEL juga menemukan, pengawasan dan pemberian sanksi administrasi atas pelanggaran bidang lingkungan hidup diamputasi dengan menghapus Pasal 72, 73, 74, 75, serta mengubah Pasal 76 UU LH. Hal ini menyebabkan tak ada lagi ketegasan tentang instansi yang bertanggung jawab dalam pengawasan LH, pengawasan lapis kedua oleh pemerintah pusat, kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH), dan jenis sanksi administrasi.
Akses masyarakat untuk melakukan upaya hukum terhadap keputusan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan hidup semakin kecil peluangnya.
Terkait tata ruang juga ditemukan banyak dibuka celah untuk disesuaikan tanpa melalui prosedur bakunya untuk kebutuhan kegiatan usaha, terutama yang bersifat strategis. Ini misalnya ada dalam Pasal 15 Ayat (5) yang menyebutkan, pelaku usaha dapat langsung melakukan kegiatan usahanya setelah mendapat konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Pasal ini tidak mengatur keharusan adanya partisipasi publik, uji kelayakan lingkungan, dan perizinan berusaha yang final sebelum melakukan kegiatan usaha.
Meminggirkan masyarakat
Tak hanya meminggirkan aspek lingkungan, menurut Guru Besar Kehutanan IPB University Hariadi Kartono, RUU ini juga cenderung melemahkan partisipasi publik. Contohnya, dalam perubahan Pasal 26 disebutkan, pelibatan masyarakat dalam penyusunan amdal hanya mereka yang terkena dampak langsung.
Pasal ini menghapus pemerhati lingkungan hidup dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal sebagaimana dinyatakan dalam UU LH. Selain itu, perubahan Pasal 39 tidak ditegaskan bahwa pengumuman keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 UU LH.
Hariadi menambahkan, dari analisisnya, ada tiga hal tambahan dalam RUU ini yang berpotensi melemahkan pengaturan lingkungan hidup ke depan. Pertama, perubahan pasal-pasal yang dilakukan berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi karena pada umumnya tidak ada penjelasan isi pasal-pasal yang memerlukannya,
Kedua, tidak terdapat norma dan arahan untuk pengaturan yang lebih operasional, misalnya dalam bentuk peraturan pemerintah. Ketiga, dengan banyaknya kewenangan pemerintah pusat serta luasnya cakupan bidang lingkungan hidup, dikhawatirkan kapasitas pemerintah tidak sejalan dengan tuntutan tanggung jawabnya yang sangat besar.
”Dengan RUU Cipta Kerja ini, lingkungan hidup di daerah sepertinya tidak akan menjadi urusan wajib lagi. Apabila hal demikian itu benar, maka berpotensi mendatangkan masalah institusional secara keseluruhan,” ujarnya.
Hariadi menambahkan, sekalipun Presiden Joko Widodo menyatakan tak akan melemahkan hak asasi manusia dan lingkungan hidup demi meningkatkan investasi, tetapi RUU yang diusulkan pemerintah ini mencerminkan sikap sebaliknya. ”Para pejabat kementerian juga selalu mengatakan, amdal itu sudah built in dengan kelayakan lingkungan, tetapi bagaimana memformulasikan kelayakan dalam izinnya itu tidak jelas. Pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja ini jelas menunjukkan banyak peminggiran terhadap persoalan lingkungan hidup dan kehutanan,” katanya.
Kemunduran
Menurut Hariadi, omnibus law sudah lama dikenal dan diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law, seperti di Eropa. Kalangan organisasi sipil pernah membahas soal pentingnya omnibus law ini sejak 2016.
”Filosofi dari omnibus law ini seharusnya adalah harmonisasi perundang-undangan. Namun yang terjadi terjadi sekarang, justru pelemahan berbagai perundang-undangan yang jika tetap dijalankan bisa menimbulkan kekacauan. Dengan aturan ini, pemerintah justru akan menggandeng swasta hitam. Padahal, trennya saat ini perusahaan yang benar sangat ketat dengan HAM dan lingkungan,” ungkapnya.
Baca juga: Emil Salim: ”Omnibus Law” Membuat Indonesia Kembali ke Masa Lalu
Raynaldo menambahkan, RUU Cipta Kerja ini sebagai kemunduran dan menentang arus global yang mendorong pengarusutamaan lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan. ”Sejak 50 tahun lalu kita mendeklarasikan pembangunan berkelanjutan dengan tak memisahkan ekonomi dan lingkungan,” ujarnya.
Menurut dia, mekanisme amdal seharusnya dibuat untuk meminimalkan risiko lingkungan ataupun konflik sosial yang harus ditanggung oleh pelaku usaha ataupun pemerintah. Dengan melonggarkan amdal dan aspek-aspek lain dalam pengendalian lingkungan hidup, risiko kegagalan usaha justru akan membesar.
Terkait perkembangan RUU Cipta Kerja dari sisi lingkungan dan kehutanan, hingga kemarin malam, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono belum memberi tanggapan. Namun, pertengahan Januari lalu, Bambang menjelaskan, lingkungan hidup tetap jadi bagian besar pengelolaan usaha. Izin lingkungan ditapis dengan amdal. Usaha kelola lingkungan dan pemantauan lingkungan tetap ada pada usaha berisiko tinggi dan berisiko berat.
Kegiatan disebut risiko tinggi jika memicu pencemaran, kerusakan, dan kegaduhan. Kegiatan usaha berdampak ringan butuh registrasi. ”Tak ada yang harus dikhawatirkan karena amdal itu pesan moral bahwa usaha harus memperhatikan prinsip lingkungan,” ujarnya.