Perlambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan berlanjut. Investasi dan konsumsi jadi harapan untuk mengerem perlambatan itu.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berlanjut hingga triwulan I-2020. Kondisi ekonomi akan berbalik arah menuju perbaikan jika kinerja investasi dan konsumsi rumah tangga memberikan daya ungkit besar.
Perekonomian Indonesia pada triwulan I-2020 berisiko tumbuh di bawah 5 persen. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 sebesar 4,9 persen. Adapun pemerintah optimistis ekonomi tetap tumbuh berkisar 5 persen.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada 2019, perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen secara tahunan. Angka pertumbuhan ini merupakan yang terendah sejak 2016.
Pada triwulan IV-2019, perekonomian RI tumbuh 4,97 persen secara tahunan atau lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III-2019 yang sebesar 5,02 persen.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dipengaruhi pelemahan daya beli masyarakat ditambah wabah Covid-19. Epidemi Covid-19 memengaruhi perekonomian Indonesia melalui pariwisata, perdagangan, dan investasi.
Rektor Unika Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko mengatakan, kondisi ekonomi domestik dan global tidak terlalu baik pada awal tahun ini. Tekanan global yang bersumber dari perlambatan pertumbuhan ekonomi China berdampak ke hampir semua negara berkembang, termasuk Indonesia. Konsensus global memperkirakan perekonomian China tumbuh 4-5 persen.
”Perekonomian Indonesia akan turut melambat karena ekspor-impor dan investasi terbesar saat ini dari China,” ujar Prasetyantoko yang dihubungi Jumat (21/2/2020) di Jakarta.
Data di laman Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor Indonesia ke China pada 2019 senilai 27,918 miliar dollar AS, sedangkan impor senilai 44,907 miliar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia defisit 16,989 miliar dollar AS terhadap China.
Sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2020 terlihat dari sejumlah indikator. Sejak akhir 2019 produksi industri melambat, begitu juga dengan pertumbuhan kredit yang berdampak pada konsumsi rumah tangga.
Prasetyantoko menambahkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi akan berbalik arah asalkan kebijakan domestik jangka pendek difokuskan untuk menstimulasi konsumsi. Sementara kebijakan jangka menengah untuk mendorong investasi.
”Permasalahan Indonesia adalah implementasi. Alokasi anggaran mungkin ada, tetapi implementasi terhadap alokasi jadi masalah,” ujarnya.
Langkah pemerintah menstimulasi konsumsi dengan mempercepat penyerapan belanja negara dinilai tepat. Namun, percepatan belanja harus benar-benar dilaksanakan hingga ke pemerintah daerah. Jangan sampai penyerapan anggaran di pemerintah pusat tinggi, tetapi mengendap di rekening pemerintah daerah.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga bisa didorong melalui penambahan alokasi anggaran bantuan sosial melalui transfer langsung serta pemberian insentif untuk sektor-sektor penopang ekonomi. Wacana insentif bagi sektor pariwisata perlu segera direalisasikan untuk mengantisipasi dampak wabah Covid-19.
Permasalahan Indonesia adalah implementasi.
Menurut Prasetyantoko, pertumbuhan investasi merupakan faktor kunci untuk menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Investasi akan memberikan dampak berganda bagi peningkatan produksi industri dan pendapatan masyarakat. Maka, proses pemulihan ekonomi bisa lebih cepat.
Tahun ini, pemerintah menargetkan realisasi investasi Rp 900 triliun.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, implementasi RUU Cipta Kerja dan RUU Perpajakan akan meningkatkan daya tarik investasi. Syaratnya, pemerintah mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Pro dan kontra atas RUU itu perlu segera difasilitasi.
”Tidak ada yang bisa memastikan kapan kondisi ekonomi akan berbalik arah. RUU disusun untuk bersiap-siap di dalam negeri,” kata Shinta.
Kondisi sulit
Di Tanah Air, pelaku usaha mulai merasakan dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik dan global. Perlambatan pertumbuhan ekonomi China turut memengaruhi permintaan ekspor dan produksi industri dalam negeri.
Shinta menambahkan, upaya mencari alternatif negara asal bahan baku selain China bukan perkara mudah. Jenis barang impor relatif sulit didapat dan harga yang ditawarkan lebih mahal. Penjajakan dengan mitra dagang baru juga perlu waktu. ”Alternatif pasar impor bukan solusi utama untuk mendorong produksi industri dalam negeri,” kata Shinta.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi China ke Indonesia masih terus dipantau. Sejauh ini, setiap 1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi China menyeret turun pertumbuhan ekonomi RI 0,3-0,6 persen.
Kebijakan pemerintah tetap diarahkan untuk menjaga permintaan dalam negeri dan produksi industri. Ada beberapa industri yang menjadi perhatian karena impor dari China relatif tinggi, yaitu industri kosmetik dan farmasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perekonomian perlu stimulus untuk menjaga momentum pertumbuhan. Ada beberapa kebijakan belanja yang dilancarkan pemerintah untuk mendorong ekonomi, yaitu mempercepat belanja modal dan bantuan sosial, serta mendorong kegiatan padat karya melalui transfer ke daerah dan dana desa.
Pemerintah juga menjaga daya beli 40 persen kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dengan instrumen kartu sembako dan subsidi bunga perumahan.