Suatu Malam, Sri Mengarang Cerita dari Dolly
Dolly akan ditutup. Sri mendengar berita itu langsung dari Mami Vera, juga Sandra, teman sekamarnya.
Pikirannya langsung tertuju pada anak semata wayangnya, Wati. Juga emak, bapaknya yang kena katarak, dan kedua adiknya yang walau sudah besar tak bisa berbuat apa-apa karena lumpuh layu. Kena polio, kata orang-orang.
”Benaran ditutup,” ujar Sandra sambil memoles gincu merah menyala di bibirnya yang tebal. ”Dengar-dengar, kita dapat kompensasi lima juta seorang. Mana cukup duit segitu. Enggak sampai sebulan pasti sudah ludes.”
Sri mendesah. Mengembuskan napas yang terasa menyumbat dada. Kutangnya memang baru dibeli dan baru dipakai. Talinya masih kencang, mungkin itu juga yang membuat dadanya terasa sesak, selain ingatan akan percakapannya dengan emaknya di ujung telepon pada musim hujan lalu.
”Atap rumah kita bocor lagi.”
”Tapi enggak kebanjiran, kan, Mak?”
”Enggak. Cuma seluruh rumah basah. Buku-buku dan kasur Wati sampai basah.”
”Bulan ini, Sri kirim duit, Mak. Kita tambal atap yang bocor.”
”Jangan maksain diri,” tukas emaknya cepat. ”Tahun ini Wati lulus SD, dia butuh duit banyak buat masuk SMP.”
Sri terdiam. ”Iya, Mak,” ucapnya setelah jeda beberapa detik.
Sandra memoles pipinya yang chubby dengan bedak. Tanpa menoleh pada Sri yang masih menatap cermin di depannya dengan pandangan kosong, dia terus mengoceh.
”Aku rencananya mau pindah ke kota lain, Sri,” ujarnya. ”Mungkin Jakarta. Anakku masih butuh makan. Setan banget bapaknya, enggak pernah nongol sekali pun setelah ngebuntingi aku dulu. Kalau ketemu lagi, bakal kupotong burungnya!”
Sri mendadak teringat juga dengan bapaknya Wati. Sebulan usai menikahinya, laki-laki itu juga kabur. Dia terpaksa bertanggung jawab setelah Sri—waktu itu baru lima belas tahun—yang perutnya membengkak membuat pengakuan, kalau laki-laki itu sudah menggagahinya di semak-semak pinggir sungai, saat dia pulang dari mandi dan mencuci. Jadahnya, laki-laki itu menindihnya berkali-kali usai kejadian pertama dan dia tak dapat mengelak ataupun bercerita, lantaran takut dengan ancamannya.
Apa dia pernah teringat akan anaknya? Pertanyaan itu dulu berkali-kali menghampiri kepala Sri, tapi dia berangsur-angsur membuangnya setelah Wati semakin besar dan rasa perih di perut makin tak bisa ditahan. Terlebih ketika Sri harus menyaksikan sendiri, emaknya bertarung sendirian dalam peperangan yang mengatasnamakan lapar bagi orang-orang yang perempuan tua itu cintai.
”Anakmu lulus SD ’kan tahun ini?” pertanyaan Sandra membuyarkan pikiran Sri.
”Iya.”
”Harus disekolahkan yang tinggi, Sri. Biar gak jadi lonte kayak kita.”
Sri bergidik mendengar ucapan Sandra itu. Bulu kuduknya merinding. Amit-amit, desis hatinya.
”Emak kerja apa di Surabaya?” itu pertanyaan Wati beberapa tahun lalu, saat umurnya baru enam tahun dan Sri pamit setelah libur Lebaran.
”Jadi pembantu.”
”Pembantu itu apa?”
”Babu di rumah orang,” dia menelan ludah. ”Tukang masak, tukang pel, tukang nyuci. Pokoknya beres-beres rumah.”
Wati tak bertanya lagi.
Setidaknya, Sri merasa tak berbohong mengatakan itu. Sebelum terlempar di sini, dia memang pernah jadi pembantu rumah tangga. Dia dapat pekerjaan itu atas bantuan kawan satu kampungnya, Susan. Awalnya Sri senang bekerja di rumah itu, walau gajinya tak terlalu besar, tapi itu uang halal. Hanya saja, semua berubah setelah malam jahanam itu.
Usianya memang baru tujuh belas tahun saat dia merantau pertama kali. Wati pun baru menginjak angka dua tahun. Saat ditanya majikan perempuannya, dia mengaku terus terang bila sudah janda dan punya seorang putri yang harus dinafkahi. Majikan perempuannya sangat baik. Mungkin karena dia seorang perempuan juga, jadi paham betapa berat hidup yang Sri lakoni, tapi tidak dengan majikan laki-lakinya, juga dengan tiga anak laki-laki majikannya.
Mula-mula, hanyalah majikan laki-lakinya yang kerap menggoda bila tak ada nyonya rumah. Dia masih bertahan dan terus menghindar. Lalu ketiga anak majikannya, yang dua orang sudah mulai kuliah dan seorang lagi masih SMA. Diserang empat orang sekaligus, membuat Sri kewalahan. Tak tahan, Sri meminta berhenti. Pada akhirnya dia terjebak di sini.
♦
”Kamu sudah punya rencana apa, Sri?”
Rencana? Dia tak pernah punya rencana dalam hidupnya. Rencana yang dia miliki dulu hanya satu, bisa sekolah yang tinggi, kemudian bekerja dengan gaji besar untuk menghidupi orangtua dan kedua adiknya yang lumpuh. Namun, rencana itu sudah lama buyar. Persisnya setelah laki-laki durjana itu merobek kainnya di balik semak-semak. Dia tak punya lagi rencana.
Barulah setelah Wati berusia dua tahun dan dia tak tega melihat emaknya menua dimakan rasa lapar oleh keluarganya, Sri punya sebuah rencana baru. Bekerja menjual jasa demi orang-orang yang dia cintai.
”Ikut aku sajalah,” ucap Sandra lagi. ”Mami Vera juga bakalan pindah.”
Sri menjangkau gincu merah menyala yang sudah diletakkan Sandra di atas meja. Jemari tangannya sedikit gemetar ketika memutar pantat lipstik itu, ujung lipstik yang sedikit runcing perlahan menyembul. Dia memoles bibirnya yang mengering.
”Mak, aku mau Ujian Nasional,” ucap Wati di ujung telepon sebulan lalu. ”Kalau lulus, aku SMP di Surabaya saja ya, Mak. Biar dekat emak.”
”Jangan,” Sri memotong cepat waktu itu.
”Kenapa?”
Sri menelan ludah. Keringat dingin terasa menyergapnya, ada sebuah ketakutan yang tiba-tiba saja membekap hatinya. Matanya berputar-putar. Bau rokok dari ruang sebelah, gelak tawa, erangan yang mendirikan bulu roma, dan kegaduhan demi kegaduhan yang seakan bersekongkol untuk menerornya.
”Kenapa, Mak?”
Sri masih berusaha mencari alasan.
”Anak majikan emak nakal-nakal. Cowok semua,” dustanya. ”Ibunya juga tak terlalu suka bila emak bawa kamu. Nanti ngerepotin katanya.”
”Tapi aku sudah besar, Mak. Aku bisa bantu nyapu, ngepel, cuci piring, cuci baju dan juga masak.”
”Pokoknya enggak bisa.”
”Tapi, Mak…”
”Mak bilang enggak bisa!” bentaknya dan Sri seketika menyesal sudah mengeluarkan kata sekeras itu. ”Maafin, Emak. Sekarang belum bisa….”
Wati tak bersuara lagi.
Kepala Sri dihantui bayangan-bayangan buruk. Wati sudah beranjak remaja. Dada yang akan perlahan tumbuh, badan yang akan membesar, juga pinggul yang akan memadat. Dia merinding membayangkan senyuman dari laki-laki asing di luar sana. Lalu, Mami Vera akan merayunya agar mengajak Wati bekerja bersamanya.
”Kalau masih perawan mahal, Sri.”
Dia membayangkan ucapan itu keluar dari mulut Mami Vera. Bulu kuduknya semakin meremang. Sri menelan ludah. Dia merasa limbung.
”Bisa jutaan sekali pakai. Rumah emakmu di kampung lekas rampung. Juga biaya berobat adik-adik dan bapakmu itu.”
Sri menggigit bibir.
”Daripada dia diperkosa orang. Mending kau jual sekalian. Enggak hilang sia-sia.”
Perut Sri terasa mual. Dia berdiri.
”Mau ke mana?” Sandra menoleh, melihat Sri yang berdiri tiba-tiba. Wajahnya pasi. Keringat dingin membanjir di pelipis.
”Perutku mual.”
”Lagi?” kernyit Sandra. Sri mengangguk.
”Masuk angin kali.”
”Enggak tahu.”
Sandra merapikan rambut sebahunya yang tergerai.
”Jangan bilang kau bunting,” ucapnya tanpa menoleh. ”Makanya pakai kondom. Jangan mau kalau ada pelanggan yang ogah pakai kondom. Emang mereka bilang mereka lebih enak kalau enggak pakai kondom. Lah, kalau bunting atau kena AIDS, kita yang repot.”
Sri tak menggubris ucapan Sandra, dia tergesa menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Tak ada apa pun yang keluar. Hanya air liur yang terasa pahit sekali. Dia mengelap keringat di pelipis dan memandang wajahnya sendiri di cermin. Pucat. Lelah. Dan ketakutan.
♦
SRI kembali duduk di sebelah Sandra yang selesai berdandan. Bedak Sandra terlihat tebal. Bibirnya merah menyala. Seakan bibirnya memanggil setiap bibir laki-laki untuk memanggutnya.
”Masuk SMP butuh berapa duit, ya?” ucapnya dengan suara bergetar. Dia mengambil bedak di atas meja. Sandra menoleh.
”Katanya sekolah gratis sekarang?”
”Gratis taik kucing,” dengus Sri. ”Pipis saja bayar. Apalagi sekolah. Buku dengan seragam memangnya datang sendiri?”
”Makanya kamu ikut aku saja, pindah ke kota lain.”
”Cuma aku harus bilang apa ke emak dan Wati?” Sri menoleh, menautkan mata pada Sandra. ”Aku juga janji bakalan ganti atap rumah bulan ini. Bocor terus.”
”Bilang saja Dolly tutup. Kau cari tempat lain buat kerja.”
”Gila!” Sri mencengkeram erat tempat bedaknya. ”Mereka enggak tahu kalau aku jadi lonte. Bisa-bisa Wati enggak mau manggil aku emak lagi.”
”Terus?” Sandra menunggu. ”Kamu bilang kerja apa selama ini?”
”Jadi babu.”
”Nah, bilang saja dipecat.”
Sri diam. Dia masih menghirup napas berkali-kali. Dia duduk terpekur. Sandra berdiri, malam sudah datang dan hiruk-pikuk di luar sana semakin terasa. Sudah waktunya untuk memajang paha dan tonjolan dada di depan etalase, sebab ada perut orang-orang yang dia cintai yang menunggu di belakangnya.
Sementara itu, di sebuah dusun yang jauh, seorang bocah perempuan yang baru tumbuh dadanya berjalan mondar-mandir di biliknya. Ponsel bututnya bergetar. Dia tergesa membukanya. Sebuah pesan masuk.
Gimana, Ti? Jadi gak?
Dadanya bergemuruh, di matanya terbayang wajah emaknya tengah bergelut dengan cucian dan anak-anak majikan yang nakal.[]
Palmerah, Juni 2014-Pali, Juli 2019.
setelah mendengar ocehan Seno Gumira Ajidarma di lantai 5
Guntur Alam, buku kumpulan cerpennya Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang, Gramedia Pustaka Utama. Ia bisa disapa di akun Twitter @AlamGuntur.