Hidup Sehat Pakai Pajak
Pemerintah akan mengenakan cukai pada produk plastik, minuman berpemanis, dan kendaraan bermotor beremisi karbon. Arahnya, meningkatkan pola hidup sehat prolingkungan sekaligus menambah pendapatan negara.
Hidup sehat pakai pajak? Bisa, kok. Pemerintah Indonesia mau mengawalinya dengan mengenakan cukai pada produk plastik, minuman berpemanis, dan kendaraan bermotor beremisi karbon. Arahnya, meningkatkan pola hidup sehat prolingkungan sekaligus menambah pendapatan negara.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah mengajukan usulan itu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dari tiga usulan cukai baru yang akan dikenakan itu, baru produk plastik yang disetujui para wakil rakyat.
”Pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dan kendaraan motor beremisi karbon masih perlu peta jalan dan pengkajian mendalam,” kata Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Deni Surjantoro, Kamis (20/2/2020), di Jakarta.
Dalam rapat kerja pada Rabu (19/2/2020), Komisi XI DPR baru menyetujui usulan pemerintah untuk memasukkan produk plastik sebagai jenis barang kena cukai baru. Pembahasan cukai plastik antara DPR dan pemerintah ini berlangsung alot sejak 2015.
Pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dan kendaraan motor beremisi karbon masih perlu peta jalan dan pengkajian mendalam.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jenis produk plastik, skema pengenaan, besaran tarif, dan tenggat pemberlakuan akan dibahas lebih lanjut. Paling tidak saat ini sudah ada kesepakatan bahwa produk plastik dikenai cukai. Pemerintah akan mendesain kebijakan cukai plastik secara hati-hati.
Kebijakan ini merespons aspirasi dari berbagai elemen masyarakat bahwa cukai menjadi instrumen paling efektif untuk mengendalikan konsumsi kantong plastik sekaligus mencegah pencemaran laut. Setiap hari, produksi sampah plastik di Indonesia bisa mencapai 175.000 ton.
Dengan jumlah tersebut, dalam satu tahun sampah plastik di Indonesia mencapai 63,9 juta ton. Pemerintah mempunyai target terdekat untuk mengurangi sampah di lautan sebesar 70 persen pada 2025 dan terbebas dari polusi plastik tahun 2040.
Baca juga : Terperangkap di Teluk Jakarta, Dampak Buruk Sampah Plastik Makin Berlipat
Untuk tahap awal, cukai akan dikenakan untuk kantong plastik jenis bijih plastik virgin (polyethylene, polypropylene) dan biji plastik oxodegradable (kantong plastik ramah lingkungan). Pemerintah mengusulkan tarif cukai kantong plastik Rp 30.000 per kilogram atau Rp 200 per lembar.
Harga kantong plastik setelah dikenai cukai berkisar Rp 450-Rp 500 per lembar. Di sisi lain, kontribusi harga kantong plastik kena cukai terhadap inflasi cukup rendah, hanya 0,045 persen.
Baca juga : Rencana Pengenaan Cukai Plastik Dinilai Positif
Kantong plastik dipilih sebagai barang plastik pertama kena cukai karena paling paling banyak dikonsumsi masyarakat. Sekitar 62 persen dari sampah plastik di Indonesia adalah kantong plastik. Selain itu, kantong plastik tidak banyak jadi pilihan daur ulang ketimbang botol atau barang plastik lain.
Kantong plastik dipilih sebagai barang plastik pertama kena cukai karena paling paling banyak dikonsumsi masyarakat. Sekitar 62 persen dari sampah plastik di Indonesia adalah kantong plastik.
Besaran tarif cukai kantong plastik yang diusulkan pemerintah terbilang rendah dibandingkan dengan beberapa negara di dunia. Menurut Sri Mulyani, setidaknya ada 12 negara yang dijadikan tolok ukur besaran tarif, antara lain Irlandia Rp 322.990 per kg, Malaysia Rp 63.503 per kg, dan Kenya Rp 16.763 per kg.
Dari hitungan Kementerian Keuangan, pengenaan cukai kantong plastik berpotensi menambah penerimaan cukai sebesar Rp 1,6 triliun per tahun. Adapun potensi tambahan penerimaan dari cukai minuman berpemanis Rp 6,25 triliun dan cukai kendaraan motor beremisi karbon Rp 15,7 triliun.
Obesitas
Selain itu, pemerintah mengusulkan dua kelompok minuman berpemanis yang akan dikenai cukai, yaitu minuman berpemanis gula dan pemanis buat siap konsumsi, serta minuman berpemanis dalam bentuk konsentrat yang perlu proses pengenceran, seperti kopi saset dan minuman berenergi bubuk.
Sejauh ini ada dua klasifikasi jenis produk dan tarif cukai terhadap minuman berpemanis. Pertama, cukai untuk teh kemasan dengan usulan tarif Rp 1.500 per liter. Kedua, cukai untuk minuman berkarbonasi dengan usulan tarif Rp 2.500 per liter.
Usulan barang kena cukai baru lainnya adalah kendaraan motor beremisi karbon. Menurut Deni, nantinya pungutan cukai terhadap mobil dan sepeda motor dihitung berdasarkan gas buang atau emisi gas karbon dioksida yang dihasilkan kendaraan. Namun, pengenaan cukai emisi ini belum disetujui.
Penerapan cukai minuman berpemanis diharapkan mampu menekan angka penderita obesitas dan penyakit gula di Indonesia. Sementara pajak emisi karbon guna menekan efek gas rumah kaca.
Penerapan cukai minuman berpemanis diharapkan mampu menekan angka penderita obesitas dan penyakit gula di Indonesia.
Indonesia tak luput dari problem kegemukan pada anak. Sepanjang 2013-2018, prevalensi anak dengan berat badan lebih dan obesitas cenderung meningkat pada usia 5-18 tahun.
Baca juga : Tren Obesitas di Indonesia Meningkat
Hal tersebut terangkum dalam Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan setiap lima tahun sekali. Untuk menggolongkan anak berdasarkan kategori kurus, normal, dan gemuk, digunakan indikator berat badan/tinggi badan.
Dalam Riset Kesehatan Dasar 2013 dan 2018, prevalensi anak usia 13-15 tahun dengan berat badan lebih meningkat dari 8,3 persen menjadi 11,2 persen. Sementara pada usia 16-18 tahun, prevalensinya meningkat dari 5,7 persen menjadi 9,5 persen.
Kategori obesitas ada pada kelompok usia 5-18 tahun. Pada usia 5-12 tahun, prevalensi anak obesitas meningkat dari 8 persen menjadi 9,2 persen. Adapun pada usia 13-15 tahun, angkanya meningkat dari 2,5 persen menjadi 4,8 persen. Pada anak berusia di atas 15 tahun, prevalensinya meningkat dari 1,6 persen menjadi 4 persen.
Melihat data di atas, peningkatan paling tinggi terjadi pada anak remaja usia 13-18 tahun. Pada periode usia tersebut, anak lebih bebas memilih makanan. Di sekolah, anak terbiasa membeli makanan dan minuman di kantin atau pedagang yang berjualan di sekitar sekolah. Di luar kegiatan sekolah, banyak anak membeli makanan dan minuman bersama teman-temannya (Kompas, 5/2/2020).
Peningkatan obesitas paling tinggi terjadi pada anak remaja usia 13-18 tahun.
Baca juga : Laju Obesitas di Perdesaan Lebih Tinggi
Sejumlah negara seperti Inggris telah menerapkan pajak gula untuk minuman berpemanis sejak April 2018. Pajak pada minuman ringan yang mengandung 5 gram per 100 liter sebesar 0,18 poundsterling dan yang memiliki kandungan gula melebihi 8 gram dikenai 0,24 poundsterling.
Departemen Keuangan Inggris memperkirakan pendapatan potensial dari pajak itu pada 2020-2024 sebesar 1,37 miliar poundsterling atau lebih dari 340 juta poundsterling per tahun. Regulasi itu otomatis mengurangi penggunaan gula di seluruh minuman ringan sebesar 28,8 persen pada 2018.
Penerapan pajak itu merupakan bagian dari peta jalan Inggris untuk mendorong perilaku konsumen ke arah hidup sehat. Pada 2014, Inggris mengalami krisis obesitas. Sekitar 70 persen penduduknya mengalami kelebihan berat badan.
Mumpung belum telanjur, penerapan cukai gula minuman berpemanis di Indonesia perlu dimatangkan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan terkait. Di satu sisi, kebijakan itu ke depan akan menguntungkan. Pasalnya, selain dapat menekan angka obesitas dan penyakit gula, kebijakan itu juga bisa mengurangi impor gula mentah.
Dari tahun ke tahun, impor gula mentah bahan baku gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman perlahan naik. Tahun ini, pemerintah telah menetapkan alokasi impor gula mentah 3,2 juta ton, naik dari 2,8 juta ton pada 2018.
Baca juga : Impor 2020 Meningkat, Perbaikan Kualitas Produk Dalam Negeri Mendesak
Namun, di sisi lain, kebijakan pajak gula minuman berpemanis itu berpotensi menekan sektor industri makanan dan minuman, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) berpandangan, usulan pemerintah mengenai cukai minuman siap saji berpemanis bukan langkah tepat.
Kementerian Keuangan menyampaikan, kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi prevalensi diabetes dan obesitas di Indonesia. Namun, faktanya minuman siap saji berpemanis hanya berkontribusi 6,5 persen dari total konsumsi kalori masyarakat Indonesia.
”Tidak tepat kalau produk minuman dianggap sebagai penyebab diabetes dan obesitas,” kata Ketua Asrim Triyono Prijosoesilo di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Asrim menilai penerapan cukai minuman berpemanis berpotensi meningkatkan harga produk sebesar 30-40 persen dari harga saat ini. Mayoritas konsumen produk minuman adalah konsumen kelas menengah bawah yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.
”Dengan potensi kenaikan harga sebesar 30-40 persen, penjualan industri minuman akan turun secara signifikan,” kata Triyono.
Penerapan cukai minuman berpemanis berpotensi meningkatkan harga produk sebesar 30-40 persen dari harga saat ini.
Asrim berpandangan penurunan penjualan berpotensi menyebabkan kontraksi industri yang dapat mengancam penyerapan tenaga kerja dan iklim investasi. Hal ini dapat meningkatkan jumlah penganggur dan mengurangi minat investasi di Indonesia.
Baca juga : Konsumsi Masyarakat Tingkatkan Laju Industri Makanan dan Minuman
Menurut Triyono, mayoritas distribusi produk minuman siap saji, yakni berkisar 60-70 persen, dilakukan pedagang tradisional atau di warung dan toko kecil. ”Penurunan penjualan disebabkan oleh cukai akan memukul usaha mereka sehingga berpotensi menghambat upaya pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan,” ujarnya.
Triyono menegaskan, kebijakan cukai ini sangat kontradiktif dengan kemauan Presiden Joko Widodo. Selama ini Presiden selalu mendorong pemerintah menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemudahan berusaha. ”Kami bersedia berdialog dengan pemerintah,” ujarnya.