Peringatan Dini Hujan Lebat di Jakarta dan Sekitarnya Sudah Dikeluarkan
Peringatan potensi hujan lebat di sebagian wilayah Jawa bagian barat sehingga memicu banjir di Jakarta dan sekitarnya pada Selasa (25/2) sudah dikeluarkan BMKG. Namun, antisipasi banjir masih lemah.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan potensi hujan lebat di sebagian wilayah Jawa bagian barat sehingga memicu banjir di Jakarta dan sekitarnya pada Selasa (25/2/2020) sebenarnya sudah dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dengan akurasi mencapai 80-90 persen. Posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis dan kepulauan menjadi tantangan utama prakiraan cuaca.
Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Fachri Radjab, di Jakarta, Rabu (26/2/2020) mengatakan, peringatan dini telah dikeluarkan pada 22 Februari 2020 bahwa pada periode 23-25 Februari berpotensi terjadi hujan lebat di sejumlah wilayah, termasuk di antaranya Jabodetabek. Disebutkan, potensi hujan lebat ini disebabkan adanya bibit siklon tropis di Samudra Hindia sebelah selatan Nusa Tenggara Barat dan Teluk Carpentaria, Australia.
”Peringatan dini cuaca skala provinsi ini diperbarui tiap hari, sedangkan untuk lebih detail hingga skala kecamatan diperbarui dalam skala jam hingga menit sesuai dinamika cuaca,” katanya.
Misalnya, untuk wilayah Jabodetabek, sejak Senin (24/2/2020) pukul 00.00 hingga Selasa pukul 15.12, BMKG telah mengeluarkan 12 kali peringatan dini cuaca. Misalnya, salah satu peringatan yang dikeluarkan pada 24 Februari 2020 pukul 10.10 WIB menyebutkan, hujan intensitas sedang-lebat berpotensi terjadi pada pukul 10.40 WIB untuk sejumlah wilayah Bantar Gebang dan lain-lain.
Selain disampaikan ke para pihak terkait, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menurut Radjab, peringatan dini cuaca BMKG hingga skala kecamatan ini juga bisa diakses publik secara daring di signature.bmkg.go.id. ”Tingkat akurasi prakiraan cuaca BMKG sejauh ini 80-90 persen,” katanya.
Kepala Bidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto menambahkan, selain prakiraan harian dan jam, prakiraan cuaca juga dilakukan dalam skala dasarian hingga proyeksi iklim tahunan.
”Namun, baik skala waktu tahunan hingga jam masih akan sulit memprakirakan hujan-hujan ekstrem. Output semua prakiraan cuaca kita lebih melihat curah hujan akumulatif. Bahkan di model prediksi harian, hampir semua model yang dipakai terkadang belum terlalu sukses, cenderung underestimate terhadap besaran ekstrem curah hujan,” katanya.
Menurut Siswanto, produk prakiraan cuaca BMKG dengan lembaga-lembaga lain di dunia relatif tidak jauh berbeda. ”Karena BMKG pun menjalankan hasil output model GFS milik NOAA-Amerika dan ECMWF milik Uni Eropa. Jadi inputnya tetap model global tersebut,” kata Siswanto.
Selain prakiraan cuaca yang dikeluarkan lembaga-lembaga meteorologi pemerintah ini, saat ini juga banyak beredar prakiraan cuaca dengan skala global yang dikeluarkan swasta dan bisa diakses daring, misalnya weather.com.
Jika dibandingkan dengan prakiraan cuaca berbasis skala global, Fahri yakin BMKG lebih akurat untuk memprakirakan kondisi di Indonesia. ”Selain memakai model matematik yang sama, analis kita juga menambahkan kondisi lokal, misalnya faktor angin laut hingga pegunungan, hingga angin gending yang spesifik di Jawa. Kalau model global tidak ada dinamika lokal,” kata Fachri.
Dia mencontohkan, akurasi potensi hujan ekstrem berpotensi banjir yang dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika di Jakarta pada awal Januari 2020, terbukti kurang tepat.
”Waktu itu disebut di website Kedubes AS hujan lebat hingga 12 Januari sehingga banyak yang khawatir. Namun, prediksi kita saat itu 12 Januari sebenarnya justru sudah berkurang dan itu yang lebih akurat,” katanya.
Menurut Siswanto, prakiraan cuaca untuk wilayah Indonesia belum bisa mendekati 100 persen akurasinya karena faktor tropis memang lebih sulit diramalkan dibandingkan daerah lintang tinggi seperti di Australia atau Amerika.
”Prakiraan cuaca untuk wilayah tropis tidak bisa disamakan dengan lintang tinggi. Proses fisisnya jauh lebih banyak dan kompleks di tropis sehingga akurasinya lebih rendah,” katanya.
Siswanto mencontohkan, dari kejadian banjir di Jabodetabek kali ini dan awal Januari 2020, tak ada satu model pun yang sukses memprediksi nilai hujan di atas 150 mm di Jabodetabek. ”Semua di bawah itu prediksinya, meskipun pola lebatnya secara spasial dapat ketangkap,” katanya.
Menurut klasifikasi BMKG, hujan intensitas 20 mm-50 mm per hari termasuk hujan sedang, 50 mm-100 mm per hari hujan lebat, 100 mm-150 mm per hari hujan sangat lebat, dan di atas 150 mm per hari hujan ekstrem.
Fahri mengatakan, daerah tropis menjadi tempat pertemuan angin dari selatan maupun utara yang membuat kondisi cuaca lebih dinamis dan sulit diprediksi. Selain itu, posisi Indonesia berupa kepulauan dan dipengaruhi oleh faktor regional yang kompleks, seperti IOD (Indian Oceal Dipole), monsun, hingga El Nino.
”Dengan kondisi ini, masih sulit untuk membuat prakiraan hujan sampai intensitas ekstrem. Model numerik yang ada belum bisa secara spesifik menyebutkan prakiraan hujan secara kuantitatif dalam hitungan milimeter pada skala ekstrem, apalagi dalam rentang jam,” katanya.
”Namun, dari produk yang sudah ada saat ini, sebenarnya sudah bisa dipakai sebagai peringatan dini.”