Dua Belas Kebijaksanaan
Dua belas kebijaksanaan diikat dengan pita hijau. Pernah sekali waktu, dalam perjalananku ke kota masa lalu, aku hampir mati di tangan orang-orang Xiongnu karena mempertahankan hartaku itu dari jarahan mereka.
”Aku dibesarkan dengan hikayat para prajurit berkuda Mongol yang membakar buku-buku di Rumah Kebijaksanan dan membuang abunya ke sungai Tigris, yang membuat air sungai itu berubah hitam,” ujarku kepada Tuan Aiyubi, pendongeng di kota Tralala, dalam salah satu perjalananku.
Semenjak memutuskan menjadi pengembara, aku sudah menyinggahi banyak kota, bertemu dengan orang-orang dari berbagai warna kulit; beberapa di antara mereka bisa kuingat, sementara yang lainnya lenyap tanpa bekas.
”Kau dilahirkan di Irak?”
”Apakah aku terlihat seperti orang yang hidup di gurun?”
”Aroma padang pasir melekat jelas di pakaian yang engkau kenakan meski Irak bukan hanya gurun belaka, ada Messopotamia yang subur di antara dua sungai.”
Dia meneguk kopinya. ”Tetapi paras dan perawakanmu dan warna kulitmu dengan lantang mengatakan, kau berasal dari Asia Tenggara, orang-orang Melayu; Malaysia atau Indonesia atau Brunei. Hanya kenapa kau begitu tertarik dengan Irak?”
Dari rujukan yang kudapat, Tuan Aiyubi adalah pendongeng pintar dan berpengalaman, bahkan nubuat-nubuat yang dia tulis kerap menjelma kenyataan, suatu ketika ia menulis tentang banjir besar, beberapa bulan kemudian air bah melanda Kota Tralala. Tuan Aiyubi benar, dalam perjalananku yang lain, aku pernah bermalam di kemah-kemah suku Arab Badui, mengembala unta-unta mereka, memerah susu ternak mereka, makan sepiring dengan mereka, bahkan aku mulai berpikir; jika aku adalah salah satu dari mereka.
”Aku lahir di pedalaman Hindia. Kematian-kematian tanpa alasan di tempat asalku merupakan salah satu alasan untuk menjadi pengembara meski tidak mudah untuk menjadi pengembara yang baik. Untuk bertahan hidup, aku harus menguasai ilmu berubah wujud, menjadi apa saja yang berada di sekitarku, misalnya saat berada di sebuah kota yang dihuni orang-orang kaya, aku harus hidup seperti orang kaya, atau paling tidak berpura-pura menjadi orang kaya dengan berpakaian seperti pakaian mereka. Saat berada di hutan belantara, aku berusaha menjadi seekor kura-kura, trenggiling, atau binatang lainnya; tidak mencolok untuk bertahan hidup.”
Aku menyobek saset gula dan menaburnya dalam gelas kopi di depanku, kemudian mengaduknya.
”Ah, betapa menantang menjadi pengembara. Aku kenal beberapa teman dari negaramu, salah satunya seorang pustakawan bernama Borges. Pustakawan kerajaan Abbasiyah yang berhasil kabur dari orang-orang Mongol, kabur bersama sepuluh jilid kitab Hazar Afsanah, cikal bakal kitab 1001 Malam dengan mengendarai keledainya.” Tuan Aiyyubi terlihat takjub.
”Maksud tuan, orang itu menjadi pelarian di negaraku? Kenapa aku tidak pernah mendengar itu?”
Ujung bibir Tuan Aiyubi membentuk segaris senyum, ”Kau terlalu sibuk dengan warisan orangtuamu, kau sudah memeriksa tas itu? Masihkah kedua belas kebijaksanaan itu berada di sana?”
Dua hari yang lalu, saat pertama kali menginjakkan kaki di kota Tralala ini, aku berkenalan dengan Tuan Aiyubi, dia memungut seikat kebijaksanaan yang terjatuh dari tas punggungku, dan mengembalikannya padaku. Sebagai tanda terima kasih, aku mengajaknya minum kopi di Kafe Tralili, kafe yang didesain dengan sarang-sarang burung ovenbird, sarang yang terbuat dari tanah liat bercampur serat, rambut, dan jerami. Sebagian atap kafe dibuat dari kaca yang menebar cahaya matahari ke sarang sang El Homer yang berbentuk kubah itu.
Mengambil tas punggung yang sebelumnya kuletakkan di kursi kosong di sebelah, aku membuka resletingnya dan mengintip ke dalam. Selusin kebijaksanaan masih tergulung rapi, juga setumpuk hikayat melengkung ke sisi tas yang lain, ”Aman”. Kedua benda itu adalah hartaku yang paling berharga warisan ayah. Selain mewariskan hikayat-hikayat dari negeri jauh, ayah juga memberikan dua belas kebijaksanaan kepadaku sebelum orang-orang berpakaian seperti tentara menembaknya.
Dua belas kebijaksanaan yang diikat dengan pita hijau. Pernah sekali waktu, dalam perjalananku ke kota masa lalu, aku hampir mati di tangan orang-orang Xiongnu karena mempertahankan hartaku itu dari jarahan mereka. Aku selamat setelah membuat Modu Chanyu, sang raja terkesan dengan android yang kupakai. Lima bulan aku tinggal di kota Longcheng saat orang-orang nomaden itu mengadakan pertemuan tahunan: selain bertransaksi menukar barang-barang di antara mereka, mereka juga melakukan ritual untuk memuja para leluhur dan menjadikan gunung Tian Shan sebagai gunung suci.
”Kau pernah pergi ke Baghdad?” tanya Tuan Aiyubi seraya menyulut rokok.
”Belum, aku memang sangat penasaran dengan Rumah Kebijaksanaan dan buku-buku yang dibakar pasukan Hulagu Khan, tapi aku tidak boleh ke sana…. Kau tahu, Tuan Aiyubi, buku apa saja yang mereka bakar? ”
”Buku-buku Pythagoras, buku-buku Plato, buku-buku Aristoteles, buku-buku Ibnu Sina, buku-buku Al-Khawarizmi, buku-buku Al-Farabi, buku-buku syariat, buku-buku hikayat, buku-buku hakikat, buku-buku puisi …. Kenapa kau tidak boleh ke sana?”
Aku tidak menjawab sesuatu yang tak ingin kujawab. ”Hhmm, maukah kau bercerita sedikit tentang pustakawan yang berhasil kabur dari kejaran orang-orang Mongol yang ingin menghancurkan kota Baghdad itu?” Aku tak mampu menahan rasa penasaran yang menusuk-nusuk kerongkonganku.
”Setelah tinggal selama satu tahun di Malaka, Borges memutuskan menyeberang ke negaramu, kemudian menetap di sana, di sebuah desa yang bernama Bugak, di mana dia dihormati penduduk karena kedalaman ilmunya, kemudian mereka memanggilnya Syeh dari Bugak. Dia menyebarkan hikayat Hazar Afsanah kepada penduduk setempat, kemudian hikayat-hikayat itu diceritakan kepada anak cucu mereka,” ujar Tuan Aiyubi.
”Ayahku mendapatkan hikayat-hikayat itu dari orangtuanya, kemudian mewariskannya kepadaku. Mungkin puncak dari segala hikayat yang beredar di daerahku ada pada Borges. Ah, aku telah melewatkan hal yang begitu penting ini. Dari mana kau bisa mengetahui perihal Pustakawan Borges itu?”
”Dia menemuiku dalam mimpi.”
”Hanya untuk menceritakan masalah ini?”
”Oh, tidak juga. Dia mencemaskan sebuah rumah waqaf yang sedang dipermasalahkan anak keturunannya dengan pihak negara. Pada suatu malam di antara malam bulan keempat, saat kemarau melanda kota Tralala, hawa dingin menusuk tulang, Borges mendatangiku dalam mimpi. Aku sedang menulis novelku, lelaki yang hampir botak itu masuk begitu saja ke dalam kamarku, duduk di sampingku, kemudian menutup laptopku dengan paksa.
Andai dia tidak mengaku bernama Borges, sang pustakawan Rumah Kebijaksanaan yang melarikan diri ke ujung Sumatera, aku pasti sudah mengusirnya. ”Kau harus membantuku,” ujar Borges kepadaku.
”Apa yang bisa kulakukan untuk orang sepertimu, Borges? Aku hanya seorang pendongeng, apa kau ingin masuk ke dalam naskah ini, tanyaku seraya menunjuk laptopku yang sudah tertutup. Aku mengkhawatirkan rumah waqaf itu. Aku memberikan rumahku untuk perantau yang datang jauh dari negeriku, tidak, maksudku negeri yang telah kuanggap menjadi negeriku. Biar mereka terlindung dari panasnya gurun dan garangnya suku-suku perompak saat menjalankan ritual ibadah haji. Aku tak pernah menduga, jika rumah itu malah membuat mereka berkelahi. Jawab Borges dengan nada sangat tertekan.
”Apa yang bisa kulakukan untukmu, Borges?" tanyaku lagi. ”Kau cukup mendengarkanku saja,” pintanya kemudian.
”Apa yang ingin kau lakukan sekarang?” tanyaku antara prihatin dan penasaran.
”Aku akan kembali ke masa itu, di mana aku menuntun untaku ke rumah Tuan Maulana Hakim,” jawabnya yakin.
”Buat apa?” tanyaku lagi.
”Membatalkan surat waqaf itu,” ujarnya tegas.
”Saat itu aku terbangun, tak kutemukan lelaki tua berdagu lancip dengan jenggot jarang-jarang itu di sampingku. Laptopku masih tertutup di atas meja.” Tuan Aiyubi meletakkan rokoknya di pinggir asbak yang terbuat dari tempurung putik kelapa yang disemir dan meneguk kopi.
”Tunggu! Kau mengatakan Borges dari Baghdad? Kenapa dia memiliki rumah di daerah orang-orang berhaji?”
”Oh, dia adalah wali dari anak perempuan pamannya yang kaya raya di Hejaz dan mewariskan sebuah rumah di kota Al-Haram,” kini Tuan Aiyubi kembali menyulut rokoknya. ”Sekarang giliranmu menceritakan dua belas kebijaksanaan yang terdapat dalam tas punggungmu.”
”Sebenarnya aku tidak boleh menceritakan ini kepada siapa pun, tapi jika bukan karena dirimu, Tuan Aiyubi, tentu aku telah kehilangan salah satu dari kebijaksanaan yang berada di dalam tas punggungku ini.”
Di luar Kafe Tralili, orang-orang berlalu lalang di jalanan kota yang padat, memikirkan satu-dua pekerjaan yang harus segera mereka selesaikan, tak ada yang peduli kepada seorang anak kecil yang kebingungan karena terlepas dari tangan ibunya. Anak kecil berkepang dua itu mulai menangis saat berjalan, kakinya terpeleset, dia terjatuh ke jalur kendaraan roda empat, tepat saat sebuah taksi melintas. Tabrakan itu tak bisa dielakkan, jalanan menjadi macet dalam waktu yang cukup lama.
Kembali ke dalam Kafe Tralili, ”Sehari sebelum orang-orang berseragam menjemputnya, ayahku menitipkanku dua belas helai kebijaksanaan, ia memintaku selalu menjaganya. Aku tak pernah menyangka jika mereka akan membunuh ayahku, seperti mereka membunuh lelaki-lelaki tetangga-tetangga kampungku karena ayahku hanya seorang petani yang tidak mengerti politik. Kebijaksanaan yang tercecer kemarin itu adalah kebijaksanaan cinta, tanpa kebijaksanaan cinta, kesebelas yang lainnya sudah tidak berarti. Kau cukup memiliki satu kebijaksanaan cinta, maka kau akan memiliki dunia dan segala isinya.”
Kami mendengar suara keributan di luar kafe, suara-suara klakson mobil, sebelum kami berjalan keluar untuk melihat apa yang terjadi, aku membayar kopi yang kami minum.
”Apa yang membuatmu tidak boleh pergi ke Baghdad?” Lagi Tuan Aiyubi membisikkan hal itu di telingaku ketika kami sampai di pintu kafe.
”Aku tidak mau kehilangan hikayat-hikayat yang diwariskan ayahku,” jawabku sangat yakin.
Kami melihat orang-orang berkerumun di ujung jalan, kerumunan itu semakin besar, Tuan Aiyubi mempercepat langkahnya. Seorang anak perempuan tergeletak tak bergerak di tengah lingkaran kerumunan, Tuan Aiyubi sudah berada di sisi anak perempuan kecil yang terlihat tidak sadar itu ketika mobil ambulans tiba, Tuan Aiyubi ikut naik ke dalam mobil, mengantarkan gadis kecil malang itu ke rumah sakit. Aku tak pernah bertemu laki-laki itu lagi sampai aku pergi dari kota Tralala, padahal baru satu rahasia kebijaksanaan yang kubeberkan kepada lelaki pendongeng itu.
________________________
Ida Fitri, lahir di Bireuen pada 25 Agustus. Kumpulan cerpen pertamanya berjudul Air Mata Shakespeare (2016), kemudian disusul Cemong (2017).