Selesaikan Kekerasan di Sekolah secara Proporsional
Kekerasan masih mewarnai lembaga pendidikan. Masalah ini hendaknya dipetakan dan diselesaikan secara proporsional dengan mengutamakan keamanan peserta didik.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Permasalahan kekerasan di lembaga pendidikan masih terulang. Korban tidak hanya siswa, terkadang juga guru. Masalah ini hendaknya dipetakan dan diselesaikan secara proporsional, terutama dengan mengutamakan keamanan peserta didik.
Salah satu kasus yang baru-baru ini terjadi adalah kekerasan di Sekolah Seminari Bunda Segala Bangsa (SBSB) Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Dua siswa senior memaksa siswa yunior untuk menjilat tinja alias kotoran manusia di asrama di sekolah tersebut.
Sebelumnya, sejak awal hingga pertengahan Februari 2020, beberapa kasus kekerasan lain juga terjadi di sejumlah daerah. Dari Kota Bekasi, Jawa Barat, misalnya, seorang guru berinisial I terekam memukul siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Bekasi. Video itu viral di media sosial. Di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, tiga siswa SMP Muhammadiyah di Kecamatan Butuh menjadi tersangka perundungan terhadap rekannya, CA (16). Dari Kota Malang, Jawa Timur, dilaporkan kasus perundungan tujuh siswa terhadap seorang siswa SMPN yang mengakibatkan ruas jari tengah korban harus diamputasi.
”Janganlah peserta didik dikorbankan sebagai pelaku sehingga sekolah lepas tanggung jawab. Sekolah harus memberikan perlindungan dan pendampingan dalam menyelesaikan masalah,” kata Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, di Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Menurut Heru, sekolah tidak bisa dilepaskan dari setiap kasus kekerasan. Kalaulah ada kekerasan oleh siswa, lazimnya kesalahan itu tidak berdiri sendiri. Lemahnya pengawasan sekolah menjadi salah satu penyebab tindak kekerasan, bahkan kekerasan yang dilakukan oleh siswa senior kepada peserta didik lain, seperti terjadi di Sekolah SBSB Maumere.
Sebelumnya diberitakan, salah satu dari dua siswa kelas XII (kelas 3 SMA) SBSB mengoleskan tinja atau kotoran manusia ke bibir, hidung, dan lidah pada siswa kelas VII. Peristiwa berlangsung di asrama sekolah, Rabu (19/2/2020) siang. Kepala SBSB Rm Deodatus Du’u mengatakan, kedua siswa senior itu telah dikeluarkan dari sekolah. Rm Deodatus meminta maaf atas kekerasan di sekolah berasrama tersebut.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar menyampaikan, kekerasan di Maumere sebenarnya terjadi pada 19 Februari 2020, tetapi Dinas Pendidikan Kabupaten Sikka baru mengetahuinya pada Selasa (25/2/2020) sore. Dinas lantas mengumpulkan orangtua bersama kepala sekolah.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana mengatakan, pihaknya mengimbau sekolah segera membentuk tim pencegahan tindak kekerasan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Komponen pendekatan penanganan tindak kekerasan di sekolah, kata Ade, mengharuskan sekolah, guru, dan pemerintah daerah untuk mempunyai langkah penanggulangan terhadap tindak kekerasan yang telah dan sedang terjadi. Selain itu, sanksi dibuat tegas bagi pelaku tindak kekerasan.
Dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Polres Sleman menahan rambut tiga guru, yaitu IYA (36), DDS (58) dan R (58), yang menjadi tersangka kecelakaan susur sungai di SMPN 1 Turi, Sleman, yang menewaskan 10 siswa. Ketiganya ditampilkan di depan media dengan rambut kepala yang telah digunduli. Peristiwa ini mengundang polemik di sejumlah kelompok guru, termasuk FSGI.
Menurut Heru, sikap kepolisian terlalu berlebihan karena menggelandang, memamerkan guru di depan media, dan digunduli. Perlakuan seperti itu mirip kasus kriminalitas berat. Kejadian tersebut bisa menggiring opini masyarakat bahwa tersangka guru adalah pelaku kejahatan berat.
”Kepolisian seharusnya memberikan perlindungan dalam bentuk menghormati dan menghargai tampilan tersangka di depan publik. Kejadian tersebut akan berdampak terhadap psikologis murid dan keluarga guru,” katanya.
Tersangka guru berhak mendapatkan bantuan hukum dari Kemendikbud ataupun pemerintah daerah agar hak-haknya tetap dihormati. Bantuan bisa berupa konsultasi sampai pendampingan dari penasihat hukum.
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim berpendapat, dalam kecelakaan susur sungai yang telah merenggut nyawa 10 siswa SMPN 1 Turi harus diakui ada kekeliruan dan kelalaian guru. Namun, IGI meyakini, tidak ada kesengajaan guru tersebut untuk menghilangkan nyawa siswa.
Terlepas dari kekeliruan dan kelalaian yang menyebabkan kematian 10 siswa tersebut, bagi IGI, tiga guru tersangka itu tetap patut dihormati. Penggundulan dan penampilan mereka ke publik adalah perbuatan yang tidak layak. Polres Sleman seharusnya tetap mengedepankan proses hukum dan asas praduga tak bersalah.
”Pada polisi tersebut seolah lupa kalau mereka bisa menjadi polisi karena ada peran guru,” katanya.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyampaikan, salah satu hasil Konferensi Kerja Nasional I tahun 2020 yang berlangsung 21-23 Februari adalah memperjuangkan hak-hak guru, misalnya koordinasi bantuan hukum kepada guru.
Dia mengatakan, sejak dua sampai tiga tahun terakhir, isu perlindungan hak guru menguat seiring dengan perubahan-perubahan dunia pendidikan. Ditambah lagi, permasalahan kekerasan kepada guru pun muncul.
”Kami menolak segala jenis kekerasan apa pun dengan cara apa pun di sekolah. Dunia pendidikan sebaiknya menghindarkan penggunaan kata sanksi dan mengubahnya menjadi pembelajaran,” kata Unifah.