Mengejar WNI dari Wuhan
”Bang, kalau liputan perang atau bencana itu kelihatan bahayanya. Kalau ini kan virusnya enggak kelihatan. Jadi malah lebih ngeri. Gua paling enggak suka tugas beginian,” kata seorang wartawan.
Dua wartawan Kompas, Pandu Wiyoga dan Deonisia Arlinta Graceca Dewi, ditugaskan meliput kepulangan warga negara Indonesia dari Wuhan, China, terkait wabah virus korona tipe baru (Covid-19). Pandu harus pergi ke Pulau Natuna, sedangkan Deonisia berjaga di Jakarta meliput para WNI yang datang dari Natuna.
Meliput observasi 238 orang yang dievakuasi dari Wuhan, China, ke Natuna, Kepulauan Riau, jadi salah satu ujian yang suka tidak suka harus dihadapi. Takut, ragu, dan cemas sudah pasti membayang terus di kepala. Namun, sebagai wartawan, saya sadar tanggung jawab itu harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
Jumat (31/1/2020), saya mendapat kabar ada kemungkinan WNI yang dievakuasi dari Wuhan akan diobservasi selama 14 hari di Batam atau Natuna. Saya gelisah. Dua daerah itu termasuk dalam wilayah kerja saya sebagai wartawan Desk Nusantara yang ditugaskan di Kepulauan Riau.
Beberapa jam kemudian seorang rekan wartawan di Jakarta mengirim pesan melalui Whatsapp. Ia mengabarkan telah ditugaskan salah satu editor untuk berangkat ke Natuna. Bagus, pikir saya. Dengan begitu, saya bisa fokus meliput penyebaran wabah Covid-19 di Batam dan Singapura saja.
Namun, tak berselang lama, rekan wartawan itu kembali mengirim pesan. Isinya memberi tahu dia tidak diizinkan orangtuanya pergi ke Natuna. Saya hanya diam. Rasanya tidak mungkin editor menerima alasan semacam itu. Kalau seseorang sudah ditugaskan pasti akan tetap diberangkatkan, tetapi entahlah.
Sabtu (1/2/2020), saya pergi ke Bandara Hang Nadim, Batam, untuk memastikan daerah mana yang sebenarnya dipilih sebagai tempat observasi. Kepala Dinas Operasi Pangkalan Udara Hang Nadim Mayor Wardoyo akhirnya menyatakan, Batam hanya akan jadi tempat transit ganti pesawat sebelum menuju Natuna.
Setelah itu, tidak ada lagi pejabat daerah yang mau berkomentar soal proses observasi. Sejumlah wartawan yang standby di Hang Nadim mulai ragu apakah benar pesawat akan transit di Batam. Kami khawatir skenario transit di Batam ini hanya akal-akalan saja agar wartawan tidak mengganggu proses transit di tempat lain.
”Pesawat itu benar transit di sini subuh nanti. Jangan tidur, nanti kecolongan,” kata seorang aparat kepada wartawan.
Saya belum diminta ke Natuna, jadi satu-satunya hal yang ada di kepala waktu itu, apa pun caranya saya harus dapat foto ketika pesawat dari Wuhan transit di Batam. Dengan begitu, tanggung jawab saya terpenuhi. Setelahnya, wartawan yang ditugaskan ke Natuna-lah yang melanjutkan.
Baca juga: Mendadak Natuna
Di Hang Nadim, wartawan begadang semalam suntuk. Kami bergantian memantau pergerakan Batik Air yang membawa WNI dari Wuhan melalui flight radar. Namun, pesawat yang kami tunggu sama sekali tak terlihat di aplikasi tersebut.
Sekitar pukul 22.00, kami mendengar suara mesin baling-baling Hercules C-130, satu dari tiga pesawat yang akan mengangkut WNI ke Natuna. Saya dan beberapa wartawan lain bergerak menuju lokasi pesawat itu mendarat. Lokasinya di landasan pacu paling ujung, tempat pesawat kargo biasa mendarat. Baru mengambil beberapa foto, petugas datang dan mengusir kami.
Kami pura-pura menjauh, tetapi sebenarnya mengambil jalan memutar lalu menyelinap ke gudang kargo. Di sana kami sembunyi beberapa jam sebelum akhirnya kepergok petugas lain yang sedang patroli. Kami diusir lagi dan setelah itu mereka membagi bandara ke dalam tiga zona yang steril dari aktivitas lain.
Saya sempat ingin pulang karena tidak mungkin mendapat foto dari luar bandara. Mata sudah mengantuk dan badan sangat lelah. Namun, kemudian datang beberapa wartawan foto dari media lain. Saya lalu mengurungkan niat untuk pulang karena tidak mau foto mereka nanti yang muncul di Kompas.
Mereka mencetuskan banyak ide untuk mendapatkan foto meskipun sebagian besar sebenarnya tidak realistis. Lucunya, saya turuti juga ide-ide aneh itu daripada malah ketiduran. Saya dan seorang teman lalu meminjam sepeda motor. Kami mengambil jalur memutar yang melewati hutan, menuju ke arah belakang bandara demi mencari lokasi untuk memotret landasan pacu dari luar pagar.
Nasib sial terjadi. Di jalan perbatasan antara pemukiman warga dan hutan lindung, radiator motor kami bocor. Upaya tengah malam itu gagal. Sekitar pukul 02.00, kami kembali ke Hang Nadim. Dengan muka manyun, saya kembali memantau pergerakan pesawat dari flight radar.
Baca juga: Kota Wuhan yang Saya Kenal
Sekitar pukul 06.00, pesawat Batik Air terpantau di flight radar, tetapi bukannya menuju Hang Nadim, malah ke arah Cengkareng. Kami sebal bukan kepalang. Sudah menunggu seharian ternyata pesawat tidak jadi mendarat di Batam. Sebagian wartawan kemudian memutuskan pulang karena mungkin sudah teramat lelah pagi itu.
Pada saat paling menjengkelkan itu, tiba-tiba ada informasi pesawat akan mendarat di Hang Nadim dan kami diperbolehkan mengambil gambar dari dalam gedung bandara. Namun, lokasinya sangat jauh dari tempat pesawat mendarat. Waktu yang diberikan juga sangat singkat. Kami diizinkan mengambil gambar hanya sampai lima WNI yang turun dari pesawat.
Ketika akan memotret, saya baru sadar lensa yang saya pakai terlalu pendek, hanya 105 milimeter. Gambar WNI yang turun dari pesawat itu terlihat sangat kecil. Namun, apa boleh buat, hanya itu yang bisa didapat. Gambar itu segera saya kirim ke kantor. Setelahnya, barulah saya pulang untuk tidur melampiaskan kantuk dan lelah yang teramat sangat.
Tetap berangkat
Sekitar pukul 20.00, saya terbangun karena dering telepon. Setengah sadar, saya angkat telepon itu. Suara Kepala Desk Nusantara dari Jakarta terdengar agak putus-putus. ”Ndu, besok bisa berangkat ke Natuna?” katanya.
Sebenarnya saya kaget dan agak bingung karena saya pikir sudah ada wartawan lain yang ditugaskan berangkat ke sana. ”Oke Mas, bisa,” jawab saya pendek berusaha patuh.
Dia menanyakan suara saya yang agak berat apakah sedang sakit. Saya bilang sehat dan siap berangkat kapan saja. Sesungguhnya, saat itu saya merasa kurang sehat, seperti demam, mungkin karena kurang tidur.
Baca juga: Menyaksikan Letusan Krakatau dari Ketinggian
Saya hampir menolak tugas itu. Sebenarnya saya tidak terlalu mencemaskan virus korona. Namun, kondisi tubuh yang kurang fit tak urung membuat saya khawatir juga.
Kemudian saya teringat, sekali waktu, Kepala Desk pernah bilang, kalau ditugaskan apa pun, meskipun berat, berangkat saja. Ngomel-ngomel boleh, tetapi tugas harus tetap dikerjakan. Kondisi itu kini benar-benar saya alami.
Dia tidak memberi tahu berapa lama saya akan bertugas di Natuna, tetapi perkiraan saya, paling tidak saya akan berada di sana lebih kurang seminggu. Karena beberapa hari itu saya belum sempat libur, jadi tugas rumah agak berantakan. Akhirnya, baju kotor pun saya kemasi dan bawa ke Natuna.
Senin (3/2/2020), saya ambil penerbangan paling pagi, pukul 08.30. Dua jam sebelumnya, saya sudah tiba di bandara dan mengirim pesan Whatsapp kepada orangtua mengabarkan akan pergi ke Natuna. ”Mau dilarang juga tetap berangkat, jadi yang penting jaga kesehatan,” jawab ibu saya singkat.
Saat itu saya tertawa, mengapa banyak sekali orang khawatir dengan observasi di Natuna. Pikir saya, ini kan bukan liputan perang atau bencana. Semua bakal aman-aman saja. Lagi pula tempat observasi itu jauh dari pemukiman warga dan sudah pasti dijaga ketat oleh aparat yang bertugas di sana.
”Bang, kalau liputan perang atau bencana itu kelihatan bahayanya. Kalau ini kan virusnya enggak kelihatan. Jadi malah lebih ngeri. Gua paling enggak suka tugas beginian,” kata salah satu wartawan televisi ketika tiba Pangkalan Udara Raden Sadjad, Natuna.
Baca juga: Menembus Pertambangan Liar dan Menggali Kisah Bayi Berkelainan
Betul juga, batin saya. Semua wartawan yang meliput tampak waspada, sedangkan saya malah gembira, menganggap liputan ini seperti liburan. Saat itu, saya hanya membawa satu masker bedah yang entah sudah berapa hari saya pakai. Sejenak saya merasa bodoh karena meremehkan tugas ini.
Namun, kecemasan itu tidak berlangsung lama. Saya mendengar ada demonstrasi warga di Gedung DPRD Natuna yang berujung ricuh. Setelah koper saya keluar dari bagasi pesawat, dengan terbirit saya segera menuju lokasi tersebut. Di sana, saya mulai paham apa yang sesungguhnya terjadi di Natuna.
Warga setempat marah karena tidak dimintai pendapat terkait pemilihan lokasi observasi di Natuna. Lokasi observasi di hanggar Lanud Raden Sadjad ternyata jaraknya hanya 1,3 kilometer dari pemukiman terdekat di Kampung Tua Penagi. Akibatnya, hampir separuh penduduk di kampung itu mengungsi karena ketakutan.
Di tengah kekacauan itu, datang rekan wartawan foto harian Kompas dari Jakarta, Priyombodo. Dia meminta saya mencari alat pelindung diri serta obat-obatan terlebih dulu sebelum meneruskan liputan.
Beruntung sekali saya mendapat kawan liputan yang berpikir jernih seperti itu. Kalau tidak, mungkin masker kucel yang sudah saya pakai berhari-hari itu akan terus menempel sampai tugas di sana selesai.
Namun, urusan memakai masker saat liputan ternyata bukan perkara sederhana. Jika di hadapan pejabat, kita tidak perlu sungkan untuk memakainya. Berbeda jika digunakan saat bertemu warga, terutama saat ingin membuat tulisan feature. Saya merasa interaksi dengan narasumber menjadi sangat terbatas. Saya memilih membuka masker agar mereka bisa cerita lebih terbuka dan jujur.
Baca juga: Kelebat Putih di Rumah Tua Peninggalan Belanda
Empat belas hari di Natuna telah mengajarkan saya banyak hal sebagai wartawan baru. Pengalaman liputan bersama fotografer Priyombodo dan Wawan H Prabowo membuat saya lebih mengerti pesan wartawan senior Sindhunata bahwa wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki baru kemudian pekerjaan otak.
Rutinitas wartawan foto selama di Natuna adalah memotret WNI saat beraktivitas di luar hanggar pagi dan sore. Mereka biasa berangkat pukul 05.45 dan kembali setelah pukul 18.00. Mau tidak mau saya juga harus bergerak. Kadang pergi bersama mereka, tetapi tidak jarang jalan liputan sendiri. Pokoknya harus jalan meskipun sering kali tidak merasa pasti apa yang dicari.
Di tengah ketidakpastian itulah secara tidak sengaja beberapa kali saya justru bertemu dengan cerita atau sosok yang menarik. Hal itu menjadi berkah karena kisah-kisah itu bisa ditulis menjadi feature ataupun tulisan untuk rubrik Sosok guna mengisi hari-hari ”landai” saat tidak ada perkembangan yang signifikan dari dalam hanggar tempat observasi.
Beberapa hari setelah pulang dari Natuna, saya merasa, betapa beruntungnya ditugaskan ke sana. Memang ada bagian yang menakutkan, membingungkan, atau mencemaskan, tetapi ternyata tidak semenakutkan bayangan semula.
Pilihan untuk mengatakan ”ya” ketika diberi tugas yang mungkin tidak semua orang bersedia telah memberikan saya pengalaman yang tak tergantikan dan mungkin tidak akan terulang kembali.
Pertentangan nurani
Di Jakarta, Deonisia Arlinta, yang akrab dipanggil Intan, ditugaskan meliput WNI yang selesai menjalani observasi di Natuna dan akan kembali ke daerah masing-masing via Bandara Halim Perdanakusuma. Mereka dijadwalkan tiba di Halim hari Sabtu (15/2/2020) pukul 15.00. Intan sudah bersiap di bandara sejak pukul 13.00.
Ia berangkat dengan bekal ”wejangan” dari editor dan senior untuk memakai masker yang benar, kacamata, hingga harus sering-sering cuci tangan dan memakai hand sanitizer.
Bagi sebagian orang pesan itu mungkin terkesan berlebihan, tetapi Intan menganggapnya sangat wajar mengingat virus itu masih baru dengan penelitian yang masih terus dilakukan untuk mencari penawarnya.
Baca juga: Di Bawah Bayang-bayang Teror Penembakan di Papua
Selain wejangan untuk berhati-hati, arahan lain adalah runtutan tugas berikut list materi yang harus didapatkan. Tugas utamanya adalah mencari kisah WNI yang pulang observasi di Natuna. Dari info yang didapatnya, sebagian besar WNI adalah mahasiswa yang belajar di Provinsi Hubei, China, daerah yang menjadi pusat penularan virus korona baru, Covid-19.
Saat itu, Intan berpikir, jika sekadar menunggu jadwal konferensi pers di ruang VIP bandara, ia akan sulit untuk berbincang dengan para WNI. Terlebih, ia mendengar kabar bahwa para WNI tidak akan dipertemukan dengan media.
Akhirnya, ia memutuskan menemui salah satu pejabat di Kementerian Kesehatan. Ia berharap setelah wawancara akan punya kesempatan untuk diajak masuk ke landasan pesawat ketika menyambut WNI tiba.
Ternyata perkiraannya benar. Intan bisa ikut masuk ke landasan udara TNI AU. Saat itu hanya tiga media yang ikut, termasuk Intan. Namun, ternyata situasi berjalan tidak seperti harapan.
Saat naik ke bus yang membawa mereka ke apronpesawat untuk menjemput WNI, seorang petugas mempertanyakan asal-usul instansi Intan sekaligus menegaskan media tidak diizinkan masuk. ”Bareng rombongan Kementerian Kesehatan,” jawab Intan berusaha berkilah.
Ternyata ketika tiba di titik pendaratan pesawat, ada petugas lain yang mengetahui kehadiran media. Mereka lalu ditahan agar tidak bisa keluar dari bus. Penjagaan berlangsung ketat dan seorang petugas disiagakan di dalam bus untuk memastikan mereka tetap di bus dan tidak mengambil video atau gambar apa pun.
Baca juga: Nyaris Karam di Kapuas Saat Meliput Daun Ajaib
Deg!Intan merasa bingung karena tidak bisa melakukan apa pun. Rasa kalut semakin besar ketika pesawat pertama turun. Ia hanya bisa menyaksikan tanpa bisa melakukan apa pun, apalagi mengambil gambar. Ia hanya bisa mencatat tiap detail yang terlihat dari jauh.
Saat itu ia berpikir, jika terus di dalam bus, tidak akan mendapatkan berita apa pun. Terlebih, rekan yang berada di ruang konferensi pers mengabarkan, sudah dilakukan wawancara doorstop dengan Menteri Kesehatan.
Seorang petugas yang menjaga mereka kemudian menegaskan, ”Kalian tetap di bus sampai pesawat terakhir tiba.”
Padahal, ada tiga pesawat yang diberangkatkan. Pesawat terakhir baru akan terbang pukul 18.00 dari Natuna. Artinya, pesawat itu baru akan tiba sekitar pukul 20.00. ”Sudah tidak dapat berita, terjebak pula di bus,” kata Intan.
Tidak lama, untunglah seorang petugas mendapat izin untuk membawa mereka keluar dari wilayah landasan udara. Dengan satu rombongan, mereka kembali ke pintu masuk ruang VIP landasan udara. Namun, ternyata mereka tetap tidak bisa langsung keluar dari lingkungan landasan udara karena harus menunggu satu jam untuk melewati pemeriksaan.
Berburu narasumber
Intan merasa bingung. Belum cukup bahan berita diperoleh, editor sudah menanyakan terus perkembangan berita yang didapat. Kerja cepat harus dilakukan.
Keluar dari pemeriksaan anggota TNI di landasan udara, ia langsung berlari ke pintu keluar area komersial Bandara Halim Perdanakusuma, berharap setidaknya bisa bertemu keluarga yang akan menjemput.
Baca juga: Dilumat Ombak hingga Tersesat di Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi
Kondisi ternyata masih sepi. Setelah bertanya ke rekan wartawan lain yang menunggu di bandara, ternyata belum ada WNI yang keluar. Bahkan, keluarga WNI pun hanya dapat menunggu tanpa tahu lokasi persis penjemputan.
Situasi mulai tidak kondusif ketika ada satu WNI yang keluar. Wartawan mulai berebutan dan mengerubungi seorang WNI tersebut. Wartawan foto saling sikut, sementara wartawan tulis berusaha mendekat dengan berondongan pertanyaan. Intan bergerak mundur setelah seorang penjemput berteriak memanggil satpam karena kondisi yang sangat kacau.
”Saya membayangkan jika saya berada di posisi WNI itu, pasti juga merasa tidak nyaman. Saya merasa akan sulit untuk mendapat kisah narasumber dengan cara berkerumun seperti itu,” kata Intan.
Sebuah mobil berisi serombongan orang tiba di depan bandara. Intan merasa yakin mereka adalah WNI dari Natuna karena ada bendera juga bunga yang sama dengan yang ia lihat ketika para WNI turun dari pesawat. Belakangan, diketahui mereka adalah WNI asal Jawa Timur. Dengan cepat, Intan langsung mendekat. Saat itu, tidak banyak wartawan yang melihat.
Saat itu, segala wejangan editor dan senior sulit untuk diterapkan. Intan memutuskan membuka maskernya untuk mengurangi kesan berjarak dengan narasumber.
Ia kemudian mendekati seorang perempuan berusia 20 tahunan, yang kemudian diketahui kuliah di Wuhan, China, dan akan pulang ke Lumajang, Jawa Timur.
Sayangnya, baru sebentar berbincang, wartawan kemudian berbondong-bondong menyusul mendekati WNI asal Jawa Timur itu. Ini membuat rombongan WNI tidak nyaman dan langsung berjalan menuju pintu masuk keberangkatan bandara.
Di situ Intan tersadar. Meskipun harus mendapat pernyataan dari narasumber, jangan sampai membuat mereka merasa tidak nyaman. Ternyata mencari narasumber WNI yang pulang observasi tidak mudah.
Ada yang bilang kalau mereka tidak diperbolehkan memberi informasi kepada wartawan. ”Entahlah, tidak ada yang tahu sebenarnya bagaimana. Yang jelas, bagaimanapun saya harus dapat bahan berita,” kata Intan.
Gagal mendapatkan cerita, bersama seorang rekan media lain, ia kemudian makan di salah satu tempat makan di bandara. Saat itu ia memutuskan duduk di area luar agar bisa cepat bergerak jika ada WNI yang bisa dijumpai.
Ketika sedang mencuci tangan di area dalam, dari sudut ruangan dekat tempat cuci tangan, terdengar sekelompok orang berbincang-bincang. Terdengar sejumlah kata yang tidak asing, seperti ”Wuhan”, ”karantina”, dan ”Natuna”.
Intan merasa yakin mereka adalah WNI yang baru selesai karantina di Natuna. Dengan berusaha tetap terlihat santai, Intan dan rekannya kemudian pindah duduk di area dalam. Tujuannya, untuk mencari kesempatan mendekati mereka sambil sedikit mencuri dengar percakapan.
Kemudian terdengar salah satu dari mereka nyeletuk, ”Iya. Capek ditanya terus sama wartawan. Pasti pertanyaannya sama. Belum lagi nanti dikejar-kejar. Tadi sudah benar kita melepaskan atribut dan jalan satu per satu. Jadi luput dari pengamatan wartawan,” katanya.
Ternyata benar, mereka tidak ingin ditemui wartawan. Namun, Intan kemudian teringat tugasnya. Tugas tetaplah tugas yang harus diselesaikan. Tanpa berpikir lagi seberapa bahayanya virus ini atau seberapa besar kemungkinan bisa tertular, secara perlahan Intan mendekati mereka dan mencoba membuka pembicaraan.
Setelah sedikit sokakrab, mereka akhirnya mau berbincang. Ternyata tidak terbukanya mereka pada wartawan karena takut muncul stigma bahwa mereka sakit. Mereka pun takut terjadi penolakan ketika nanti kembali ke rumah. Beberapa juga lelah ditanya dengan pertanyaan yang sama. Sejauh ini, mereka tidak menampakkan gelaja sakit, tetapi juga belum menjalani pemeriksaan khusus terkait Covid-19.
Dari pengalaman ini, Intan merasa memetik banyak pelajaran. Soal mendekati narasumber yang tidak bisa memaksa dan perlunya mengasah naluri untuk mencari cara-cara lain mencari bahan berita. Karena bagaimanapun kerja wartawan harus tetap berpegang pada etika, kode etik jurnalistik, dan nilai-nilai kemanusiaan di tengah tuntutan memenuhi deadline.