Indonesia perlu meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi wabah Covid-19 yang disebabkan virus korona baru. Salah satunya dengan membentuk kembali komite nasional penanggulangan wabah melibatkan sejumlah pihak terkait.
Oleh
Ahmad Arif/Dahlia Irawati
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran epidemi Covid-19 di luar China terus meluas dan dikhawatirkan menjadi pandemi global. Indonesia diharapkan meningkatkan kesiapsiagaan dengan membentuk kembali komite nasional penanggulangan wabah yang melibatkan sejumlah pihak terkait, termasuk para ahli, sebagaimana pernah dilakukan saat pandemi flu burung tahun 2006 lalu.
Menurut Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), infeksi Covid-19 terjadi di 46 negara di luar China, dan 19 negara di antaranya sudah terjadi penularan lokal. Sembilan negara melaporkan kasus pertamanya, yaitu Brasil, Denmark, Estonia, Georgia, Yunani, Norwegia, Pakistan, Romania, dan Macedonia Utara.
Penambahan kasus infeksi virus korona galur baru atau SARS-CoV2 di China sudah lebih kecil dibandingkan dengan di luar negeri, khususnya di Korea Selatan (Korsel). Itu menunjukkan, episenter baru penyebaran wabah mulai muncul di luar China. Pada Jumat (28/2/2020), penambahan infeksi baru di Korsel sebanyak 571 kasus, sedangkan di China hanya 335 kasus.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesu telah memperingatkan agar tak ada lagi negara yang berasumsi bisa bebas dari Covid-19. ”(Asumsi) itu bisa menjadi kesalahan fatal, secara harfiah. Virus itu tidak menghormati perbatasan (negara),” katanya.
Setiap negara harus siap mengantisipasi kasus Covid-19 pertamanya, kelompok pertamanya, bukti pertama transmisi di komunitas, dan berhadapan dengan transmisi virus di dalam komunitas yang berkelanjutan. Ini adalah empat skenario dan harus mempersiapkan semua skenario itu secara bersamaan. ”Pesan kami, virus ini berpotensi menjadi pandemi,” ujarnya.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di Malang, Jawa Timur, menegaskan, kesiapan Indonesia menghadapi penyakit berpotensi pandemi, seperti SARS, H1N1, dan Covid-19, telah dibangun. Sejak ada International Health Regulations (IHR) pada 2005, Indonesia memenuhi kesepakatan IHR 2005 terkait dengan penanganan penyakit menular lintas negara.
Pada 2014, Indonesia menerapkan kesepakatan IHR 2005 secara optimal. Untuk mempercepat capaian kesepakatan IHR 2005, Indonesia membentuk komite IHR dan bekerja sama dengan WHO.
Komnas penanggulangan
”Saat ini wabah korona (Covid-19) memang statusnya masih epidemi, tetapi bisa jadi pandemi dengan dampak sosial ekonominya sangat besar. Seharusnya dapat melakukan mobilisasi nasional dengan membentuk kembali komite nasional penanggulangan wabah penyakit, seperti pernah dilakukan saat flu burung,” kata Bayu Krisnamurthi, dosen IPB Univesity, yang juga mantan Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI).
Bayu mengaku prihatin dengan situasi penanggulangan wabah korona saat ini, yang bisa memicu krisis kepercayaan publik nasional dan internasional. Seperti diberitakan, para diplomat asing di Indonesia mengkhawatirkan kemampuan deteksi kasus dan kesiapan rumah sakit di Indonesia untuk mengantisipasi wabah (Kompas, 28/2/2020).
Saat ini wabah korona (Covid-19) memang statusnya masih epidemi, tetapi bisa menjadi pandemi dengan dampak sosial ekonominya sangat besar.
Keraguan publik internasional itu juga terlihat dari penutupan ibadah umrah oleh Arab Saudi dan memasukkan jemaah dari Indonesia dalam daftar 24 negara yang tidak bisa memasuki negara mereka. Padahal, hingga saat ini Pemerintah Indonesia menyatakan belum ada kasus positif korona. Seperti dilaporkan dalam laman resmi Kementerian Kesehatan http://infeksiemerging.kemkes.go.id/, jumlah orang yang terduga korona yang diperiksa hingga saat ini sebanyak 136 dan semuanya negatif.
Bayu mengatakan, saat wabah flu burung merebak tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pembentukan Komite Nasional Pengendalian Nasional Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza. ”Kami kemudian membentuk panel dengan menghimpun belasan ahli terbaik di Indonesia yang berhubungan virulogi, kesehatan, hingga komunikasi. Jadi, setiap pernyataan itu didasari data yang jelas,” katanya.
Kolaborasi
Untuk deteksi, penting melibatkan lembaga-lembaga lain yang ada guna mendukung Litbang Kesehatan. ”Dulu Lembaga Eijkman juga dilibatkan, juga ada beberapa yang lain,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, untuk meyakinkan publik, pemeriksaan spesimen oleh Litbang Kesehatan bisa diverifikasi laboratorium independen lain. ”Eijkman juga sudah siap dan mengajukan untuk menjadi laboratorium pembanding dengan mengirim surat melalui Menristek (Menteri Riset dan Teknologi),” kata Amin. (Kompas, 11/2/2020).
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat ditemui Kompas, Senin (17/2/2020), mengakui pentingnya kolaborasi dan melibatkan lembaga-lembaga lain, termasuk Eijkman, untuk membantu pemeriksaan. Dia juga berjanji untuk mengoordinasikan hal itu.
Namun, sejauh ini kolaborasi belum terjadi. Wakil Direktur Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, sampai saat ini lembaganya belum dilibatkan dalam pemeriksaan kasus korona.
Terawan menilai, kebijakan pemusatan laboratorium pendeteksi Covid-19 di satu tempat, yakni Balitbang Kesehatan Kemenkes, cukup efektif. Itu bertujuan untuk menjamin kejujuran, mutu laboratorium terjaga, dan tak terpengaruh terhadap kepentingan tertentu.
Bayu menambahkan, komunikasi dan transparansi menjadi elemen sangat penting untuk mengurangi dampak sosial ekonomi wabah. ”Harus ada orang 24 jam siap dihubungi dan bisa memberi penjelasan dan didukung data dan jangan ada yang ditutupi. Bukan menyangkal, melainkan memberi versi otoritas. Selain itu, ada tim yang memperhitungkan dampak ikutan, mulai dari perdagangan, pariwisata, investasi, hingga berbagai sektor lain,” ujarnya.