Awal tahun ini, perdagangan Indonesia mendapat sejumlah kejutan. Hal ini menjadi salah satu pelajaran bagi Indonesia untuk tidak mengabaikan industri substitusi impor.
Oleh
M Paschalia Judith J/C Anto Saptowalyono/Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perang dagang Amerika Serikat-China dan sejumlah proteksi perdagangan negara atau kawasan menyebabkan neraca perdagangan Indonesia defisit. Pada 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit 3,2 miliar dollar AS dan pada Januari 2020 sebesar 864 juta dollar AS.
Belum tuntas Indonesia menjawab tantangan itu, wabah virus korona tipe baru (Covid-19) dan status baru RI sebagai negara maju—sebagaimana disebutkan dalam laman Perwakilan Perdagangan AS (USTR) pada 10 Februari 2020—makin menambah beban Indonesia.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono, Minggu (1/3/2020), mengatakan, kinerja ekspor-impor Indonesia turut tertular ”penyakit” perekonomian global akibat kejutan-kejutan perdagangan global itu, khususnya wabah Covid-19.
”Tak hanya permintaan dunia melemah, tetapi arus transportasi, logistik, bahkan pengecekan oleh surveyor pun tersendat di tingkat dunia,” katanya kepada Kompas.
Tak hanya permintaan dunia melemah, tetapi arus transportasi, logistik, bahkan pengecekan oleh surveyor pun tersendat di tingkat dunia.
Menurut Handito, eksportir saat ini kesulitan mencari tujuan pasar, termasuk pasar nontradisional. Mayoritas negara-negara yang menjadi pasar nontradisional itu juga bergantung kepada China dan terimbas kenaikan harga sejumlah bahan baku sejenis yang diproduksi China.
”Semua negara sedang susah. Saya melihat lebih baik menata ekspor ke depan. Kita siapkan untuk yang lebih bersifat jangka menengah panjang,” katanya.
Terkait status baru Indonesia versi AS, Handito berpendapat, dalam jangka pendek, hal itu tidak akan terlalu berdampak pada ekspor Indonesia ke AS. Justru wabah Covid-19 yang akan mengontraksi ekspor-impor.
Handito juga berharap pelaku industri mengandalkan pasar dalam negeri. Untuk itu, belanja pemerintah mesti dialokasikan untuk program-program yang meningkatkan daya beli masyarakat agar pasar dalam negeri semakin kuat.
Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi menambahkan, berkurangnya produksi bahan baku/penolong dari China membuat harga bahan baku yang sama di dunia meningkat sehingga sejumlah pelaku industri menunda impor.
Adapun Ketua Umum Perkumpulan Industri Kecil Menengah Komponen Otomotif (Pikko) Rosalina Faried menyatakan, mesin dari China seharusnya saat ini sudah dikapalkan. Mesin itu baru akan dikapalkan pada April 2020.
Substitusi impor
Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia I Gusti Putu Wira Kusuma di Bandung, Jawa Barat, Sabtu, mengatakan, di tengah dampak wabah Covid-19, permintaan komoditas ekspor nonmigas ke China memang sudah pasti turun. Produktivitas industri dalam negeri dan kinerja ekspor juga terganggu. Hal ini dapat berpengaruh signifikan pada defisit neraca perdagangan.
”Kebijakan mendorong substitusi impor dari industri dalam negeri bisa menjadi salah satu solusi,” ujarnya.
Kebijakan mendorong substitusi impor dari industri dalam negeri bisa menjadi salah satu solusi.
Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional (IISIA) Silmy Karim menyatakan, kelompok barang besi dan baja (HS72) yang diimpor dari China berupa produk jadi. Penurunan impor kelompok barang ini berpeluang meningkatkan utilisasi industri baja nasional.
Impor buah-buahan dari China pun sempat tertahan. Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim menyatakan, hal ini membuka kesempatan bagi produk buah-buahan dalam negeri untuk mengisi pasar di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta juga berpendapat senada. Permintaan terhadap benang filamen produksi lokal berpotensi meningkat.
Sementara dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menilai, Indonesia masih bisa meningkatkan pemanfaatan atau utilisasi perjanjian dagang dengan sejumlah mitra untuk menguatkan daya tahan kinerja neraca perdagangan. Misalnya, entry-to-force perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Australia (IA-CEPA).
Selain itu, penyelesaian perjanjian dagang dengan sejumlah mitra juga dapat menjadi strategi yang ditempuh. Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (I-EU CEPA) saat ini menjadi penting untuk diselesaikan.
”Indonesia juga masih memiliki peluang menjajaki pasar-pasar nontradisional, seperti negara-negara di Afrika maupun Amerika Latin. Negara-negara tersebut memiliki ruang pertumbuhan ekonomi yang besar sehingga memiliki prospek positif bagi Indonesia secara jangka panjang,” ujarnya.
Indonesia juga masih memiliki peluang menjajaki pasar-pasar nontradisional, seperti negara-negara di Afrika ataupun Amerika Latin.
Tantangan lain
Selain kondisi ekonomi global, ekspor nasional juga terhambat oleh kebijakan pemerintah di dalam negeri. Salah satunya yaitu kebijakan Kementerian Perdagangan tentang kewajiban penggunaan angkutan laut nasional untuk ekspor batubara.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menginginkan ada relaksasi atas kebijakan kewajiban penggunaan angkutan laut nasional untuk ekspor batubara. Penyebabnya, masih terbatasnya kapal domestik yang tersedia, sementara kebutuhaan penggunaan kapal sangat tinggi. Ekspor batubara merupakan salah satu penyumbang devisa bagi penerimaan negara.
Kewajiban penggunaan angkutan laut nasional diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82 Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu. Dalam peraturan ini, penggunaan angkutan laut nasional dimulai pada Aprip 2018, tetapi ditunda hingga 1 Mei 2020. Kendati ada penundaan, sampai sekarang ketersediaan angkutan laut nasional terbatas.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengaku sudah menjakukan permohonan relaksasi tersebut kepada Kementerian Perdagangan. Dengan ketersediaan kapal domestik yang terbatas, pengekspor batubara asal Indonesia sebaiknya tidak dilarang menyewa atau menggunakan kapal milik asing. Relaksasi tersebut diajukan hingga benar-benar kapal angkutan laut nasional siap sepenuhnya.
”Kami punya target (penerimaan negara bukan pajak untuk komoditas batubara) dan kami sudah menginformasikan kepada mereka (Kementerian Perdagangan),” kata Arifin, akhir pekan lalu, di Jakarta. (ARIS PRASETYO/BM LUKITA GRAHADYARINI)