Salah satu yang menjadi kekhawatir publik, terkait dampak wabah Covid-19, adalah soal ketersediaan bahan pangan. Apakah stok kita cukup? Pemerintah perlu menghitung lebih jeli untuk memastikan kecukupannya.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Pro kontra soal ada tidaknya virus korona baru atau Covid-19 di Tanah Air terjawab sudah. Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020), mengumumkan dua pasien pertama di Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19. Semua berharap penyebaran virus dapat dikendalikan sehingga dampak negatifnya minimal.
Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran publik adalah soal ketersediaan bahan pangan pokok. Khususnya komoditas pangan yang sebagian masih didatangkan dari luar negeri. Bagaimana stok pangan kita jika situasi makin buruk? Apakah mencukupi kebutuhan?
Pertama, beras. Stok beras Perum Bulog pada akhir Februari 2020 sekitar 1,7 juta ton. Jumlah itu relatif besar jika dibandingkan stok awal tahun 2018 yang kurang dari 1 juta ton atau awal tahun 2017 yang 1,37 juta ton meski lebih kecil dibandingkan stok awal tahun 2019 yang 2,1 juta ton. Selain itu, stok beras di gudang-gudang penggilingan dan pedagang beras, sebagaimana penelusuran Kompas pada 2-8 Februari 2020, relatif banyak jika dibandingkan situasi awal tahun beberapa tahun sebelumnya.
Panen raya padi musim tanam rendeng diperkirakan berlangsung Maret-Mei 2020. Dengan demikian, ada tambahan pasokan dari sentra-sentra padi. Tren kenaikan harga beras tiga bulan terakhir diperkirakan berakhir seiring mulainya panen akhir bulan ini. Sejumlah pihak bahkan khawatir harga gabah akan anjlok karena daya serap pasar rendah seiring menumpuknya stok beras di gudang.
Kedua, sejumlah komoditas yang sebagian besar diproduksi petani/peternak dalam negeri, seperti bawang merah, minyak goreng, daging ayam, telur ayam, dan cabai, diyakini aman. Badan Ketahanan Pangan menyebutkan, secara keseluruhan pasokan pangan tergolong aman dan cukup sehingga harganya terkendali, setidaknya hingga Ramadhan dan Lebaran atau pada Mei 2020.
Akan tetapi, sejumlah komoditas pangan belum aman. Bawang putih, misalnya, berpotensi kurang meski harganya cenderung turun sebulan terakhir. Selama Februari 2020, bawang putih bahkan menjadi ”biang kerok” inflasi, sumbangannya mencapai 0,09 persen dari 0,25 persen inflasi kelompok bahan makanan minuman.
Di pasar-pasar tradisional di Jakarta, sebagaimana data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis DKI Jakarta, turun dari Rp 56.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 44.000 per kg. Namun, kendala logistik akibat wabah Covid-19 menghambat pasokan bawang putih dari China ke Tanah Air. China, selain India, merupakan pemasok utama bawang putih Indonesia.
Wabah Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda di banyak negara. Oleh karena itu, pasokan bawang putih dan komoditas impor lain masih berpotensi terganggu. Khusus bawang putih, selama ini lebih dari 90 persen dari sekitar 500.000 ton kebutuhan nasional mesti diimpor.
Bahan pangan lain yang berpotensi terganggu adalah gula kristal putih. Tahun ini, kebutuhannya diperkirakan 3,136 juta ton. Di atas kertas, produksinya 2-2,1 juta ton tahun ini. Dengan stok awal tahun 1,08 juta ton, defisitnya diperkirakan ”hanya” 29.000 ton (Kompas, 13/2/2020). Namun, situasi pasar menunjukkan pasokan berkurang dua bulan terakhir, tecermin dari harganya yang naik dari Rp 13.500 per kg menjadi lebih dari Rp 14.000 per kg.
Sayangnya, hingga kini kita tak ada punya data atau neraca yang akurat terkait sejumlah komoditas itu. Pengumuman kasus positif Covid-19 bisa jadi tombol pemantik kepanikan. Tak hanya masker dan hand sanitizer, sebagian warga, yang khawatir soal dampak Covid-19, mulai memborong bahan pangan di pusat-pusat perbelanjaan dan toko swalayan demi memastikan kecukupan pangannya.
Kiranya pemerintah perlu tanggap mengantisipasi dampak terburuk dari semua situasi ini: kisruh pangan. Semoga tidak terjadi.