Sengketa dan Wabah Mendera
Tantangan kinerja perdagangan makin berat. RI berada di pusaran proteksi dagang dan bayangan dampak Covid-19 yang berpotensi menggerus neraca perdagangan.
JAKARTA, KOMPAS — Wabah virus korona baru (Covid-19) mulai berdampak ke sektor industri dan perdagangan. Pelaku industri manufaktur mulai kesulitan mengimpor bahan baku/penolong, terutama dari China.
Di sisi lain, mereka juga kesulitan mengekspor komoditas dan produk unggulan akibat terganggunya rantai pasok global. Di tengah situasi itu, Indonesia tengah menghadapi tantangan proteksi perdagangan dari negara-negara lain.
Pada tahun ini, Kementerian Perdagangan akan memperjuangkan potensi ekspor agar tidak hilang dalam sengketa dagang dengan negara lain. Sengketa dagang itu meliputi tudingan dumping, subsidi, dan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard).
Ada 34 kasus sengketa dagang Indonesia dengan 12 negara/kawasan dengan potensi ekspor senilai total Rp 50,54 triliun. Negara dan kawasan itu antara lain Australia, India, Madagaskar, Malaysia, Filipina, Amerika Serikat, Uni Eropa, Turki, Ukraina, Vietnam, dan Mesir.
Sebelumnya, pada 2019, Indonesia telah berhasil memenangi 9 kasus sengketa dagang di 8 negara. Total nilai ekspor yang berhasil diselamatkan Rp 25,3 triliun.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, Senin (2/3/2020), di Jakarta, mengaku kerap kali memimpin tim delegasi yang menangani kasus sengketa perdagangan. Kasus-kasus tersebut pun tergolong strategis karena ”berhadapan” langsung dengan sejumlah mitra dagang penting, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Ada dua agenda besar yang terus diperjuangkan Kementerian Perdagangan tahun ini. Pertama, mempertahankan fasilitas sistem tarif preferensial umum (GSP) yang diberikan AS. Kedua, menggugat Arahan Energi Terbarukan (RED) II dan Delegated Regulation (DR) yang diterbitkan Uni Eropa.
Fasilitas GSP adalah program unilateral AS yang memberikan pembebasan tarif bea masuk ke pasar AS di 5.062 pos tarif untuk 121 negara berkembang. Namun, melalui inisiatif yang tertera pada Federal Register Volume 83 tanggal 27 April 2018, AS tengah meninjau ulang eligibilitas Indonesia dalam mempertahankan fasilitas itu.
”Kami memandang, diplomasi perdagangan dalam mempertahankan fasilitas GSP ini berpotensi membuahkan hasil yang positif,” katanya.
Kami memandang, diplomasi perdagangan dalam mempertahankan fasilitas GSP ini berpotensi membuahkan hasil yang positif.
Sementara dalam rangka menggugat RED II dan DR Uni Eropa, Jerry menyambangi Swiss pada Februari 2020 untuk menghadiri konsultasi di tingkat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
”Kami secara gamblang menyatakan, tindakan Uni Eropa ini merupakan tindakan diskriminatif. Hal ini cukup disayangkan mengingat Uni Eropa cukup sering mengampanyekan perdagangan bebas,” katanya.
Baca juga: Kejutan Awal Tahun Perdagangan
Jerry mengatakan, langkah Indonesia di forum konsultasi WTO ini mendapatkan apresiasi dari negara-negara lain, seperti Malaysia dan Guetamala. Sejumlah negara yang memperhatikan forum tersebut pun sepakat dengan argumen Indonesia yang menentang tindakan diskriminatif Uni Eropa melalui dokumen RED II dan DR.
Dokumen RED II menggolongkan biodiesel yang berbahan baku minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung atau indirect land use change (ILUC). Imbasnya, UE membatasi penggunaan BBN berbahan baku minyak kelapa sawit.
Jerry menambahkan, dokumen RED II tidak memiliki dasar ilmiah, baik dari segi perbandingan efisiensi lahan maupun deforestasi. Oleh sebab itu, dalam argumen untuk memenangi sengketa perdagangan tersebut, Indonesia juga akan mengedepankan komitmen pelaksanaan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam industri kelapa sawit.
USTR
Dalam waktu dekat pada Maret ini, Jerry menyatakan, Kementerian Perdagangan dijadwalkan bertemu dengan Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR). Pengubahan status Indonesia sebagai negara maju anggota WTO turut menjadi pembahasan.
Pertemuan itu akan menjadi momentum untuk membahas pengubahan status itu secara intensif dengan USTR dalam perspektif yang komprehensif. ”Kami akan tindak lanjuti dengan pembahasan pengemasan-pengemasan (kebijakan) yang bisa disepakati dan memberikan benefit bagi kedua pihak,” ujarnya.
Pada awal Februari 2020, USTR mengubah status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. Dampaknya, batas toleransi terhadap pelayangan investigasi atau tuduhan adanya subsidi atau dumping oleh AS terhadap Indonesia semakin rendah, yang semula minimal 2 persen menjadi 1 persen.
Baca juga: Ketahanan Ekonomi Diuji
Sementara, para pelaku usaha menaruh harapan besar kepada pemerintah agar mampu membangun perjanjian perdagangan dengan negara yang merupakan pasar ekspor utama Indonesia. Hal ini dinilai akan kian melengkapi upaya yang selama ini dilakukan pelaku usaha dalam menembus pasar ekspor.
Di sisi lain, pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dan hambatan perdagangan dari negara lain.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan, daya saing industri dalam negeri dan negosiasi dagang merupakan faktor penting dalam menembus pasar ekspor.
Negosiasi dagang bahkan dapat menurunkan tarif di negara tujuan ekspor sampai nol persen. Negosiasi juga penting jika ada hambatan perdagangan.
Sementara, Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan, HIMKI sedang berkonsentrasi ke pasar AS. ”Meskipun tidak lagi mendapatkan fasilitas GSP tidak masalah karena daya beli (di AS) cukup tinggi,” katanya.
Di sisi lain, dia mengatakan, Vietnam dan Malaysia sudah mempunyai perjanjian perdagangan bebas sehingga diuntungkan di sisi bea masuk. ”Tugas pemerintah membangun ke sana. Apalagi Indonesia juga merupakan pasar besar untuk bisa berposisi tawar dengan AS,” ujarnya.
Abdul juga menyampaikan, langkah konkret yang akan dilakukan HIMKI adalah mulai berpameran di AS untuk mendapatkan pembeli potensial. HIMKI juga telah menyampaikan pemikiran kepada pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan pameran di zona Amerika dan Eropa sebagai pasar terbesar dan juga ke wilayah Asia dan Timur Tengah.
Baca juga: Terdampak Wabah Korona, Perekonomian Batam Mulai Lesu
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W Kamdani mengatakan, saat ini posisi dan partisipasi Indonesia di sisi perdagangan, baik multilateral, regional, maupun bilateral, sudah lebih aktif.
Indonesia harus membuat model baru, tidak saja dari segi perjanjian dagang, tetapi juga promosi dan fasilitasi bagi pelaku usaha yang akan mengekspor.
”Penguatan industri dalam negeri agar produknya berdaya saing pun dibutuhkan apabila Indonesia ingin menggarap pasar ekspor lebih banyak,” ujarnya.