Virus ”Netizen” Lebih Bahaya Dibandingkan Virus Korona
”Netizen” yang buta literasi mudah menghakimi. Penghakiman ini menambah beban pasien yang menjalani penyembuhan setelah terinfeksi virus korona jenis baru.
Sebelum benar-benar dinyatakan sembuh dan bisa pulang, komunikasi Kompas dengan pasien Kasus 1 sudah terjalin beberapa kali. Ia meminta maaf belum bisa berbicara kepada publik. Bukan saja karena sedang fokus pada proses penyembuhannya, melainkan lebih-lebih karena pasien Kasus 1 sedang mengalami krisis psikologis yang akut.
”Semua orang menstigma kami, sampai nama, foto-foto, dan alamat rumah disiarkan, seolah kami ini tertuduh yang hina,” kata pasien Kasus 1 kepada Kompas, Kamis (19/3/2020), melalui saluran telepon. Pasien Kasus 1 bersama ibu dan kakaknya (pasien Kasus 2 dan pasien Kasus 3) dikelompokkan ke dalam kluster Depok, kluster yang pertama-tama menandai mulai merebaknya virus korona di Tanah Air.
Berikut petikan wawancara lengkap wartawan Kompas, Putu Fajar Arcana, dengan pasien Kasus 1:
Halo, selamat siang, Mbak.
Selamat siang.
Apa kegiatannya setelah di rumah?
Aku lagi banyak istirahat dan tidur sih. Sesekali ada wawancara dengan media. Ada yang live di televisi, tapi (aku) kebanyakan tidur….
Katanya sampai tujuh hari ke depan harus di rumah ya?
Iya sih. Tapi kalau aku mungkin bisa lebih karena aku yang paling lemah. Minimal tujuh hari sampai benar-benar sembuh total. Sekarang masih ada batuk sedikit dan lemas.
Tetapi sudah negatif kan hasil tes terakhir?
Sudah. Paru-parunya juga sudah bersih (sambil terdengar suara menguap kecil). Sudah tidak ada lagi bronchopneumonia. Jadi batuknya juga dari asam lambung. Aku juga ada asam lambung. Pas dirawat asam lambungnya kambuh. Kalau aku tuh enggak tahu nama-nama obatnya.
Baca juga: Bersatu Melawan Korona
Selama dirawat aku diinfus 16 hari. Antibiotiknya ada yang masuk lewat infus, ada yang diminum. Itu beda-beda. Vitamin juga banyak banget. Ada yang setiap kali dikasih antiobiotik, dikasih obat lambung juga, sama obat mual. Obatnya banyak banget biar lambungnya enggak kenapa-napa kan? Sama ada obat batuk sih, ada yang cair ada yang tablet.
Separah apa sih batuknya?
Kemarin tuh batuk aku enggak hilang-hilang. Akhirnya dikasih obat batuk yang bikin aku ngantuk, jadi aku banyak istirahat.
Sebenarnya gejala awal penyakit ini dari batuk atau demam sih?
Gejala paling awal itu lemas dan demam, itu yang tanggal 17 Februari. Kan demamnya itu tinggi banget. Aku minum parasetamol, demamnya sempat hilang, tapi terus naik lagi. Itu gejala yang kayak gitu sampai 10 hari, sampai tanggal 26 (Februari), eh bentar aku lihat kalender, oh benar tanggal 27 (Februari) yang aku pergi ke dokter sama ibu. Pokoknya itu hari Kamis yang masuk RS Mitra Keluarga itu.
Selama 10 hari demam muncul terus?
Aku benar-benar keringatan yang basah banget, sampai aku ganti baju itu tiga kali dalam sehari, dan batuknya yang benar-benar yang enggak berhenti-henti. Hari ketiga atau keempat, aku tuh sempet diare, tetapi hanya satu hari.
Baca juga: Wawancara Khusus ”Kompas”: Pasien Covid-19 Mengaku Tertekan
Itu sudah di ruang isolasi RSPI?
Oh itu belum, itu aku masih di rumah. Istirahat dan minum obat sebisanya itu dari tanggal 17 Februari sampai 26 (Februari) itu sudah di rumah. Hari Rabu (19 Februari) itu sempat ke klinik di Bangka Raya dikasih antibiotik dan obat batuk. Itu sampai antiobiotik habis aku masih belum mendingan sama sekali. Hari Jumatnya (20 Februari) ke RS Mitra Keluarga di UGD dulu, itu dibilangnya infeksi virus, baru tes darah, dikasih obat batuk dan segala macam tetapi enggak dikasih antiobiotik.
Sampai beberapa hari, semingguan aku masih demam terus. Akhirnya hari Kamis (27 Februari) pagi itu saya dan ibu ke dokter penyakit dalam, bukan UGD. Itu kan dirontgen, aku yang dirontgen kalau ibu enggak. Ternyata bronchopneumonia, ada bercak di paru-paru. Akhirnya dokternya bilang ibu tifus, aku bronchopneumonia, sebaiknya dirawat. Jadi, kami dirawat (di RS Mitra Keluarga Depok).
Selama sakit dari 17 Februari Mbak ada di mana?
Aku di kos dulu. Pas aku merasa enakan pulang ke Depok. Pulang ke Depok aku enggak ingat. Pokoknya kalau baikan itu aku sempetin pulang ke Depok, terus kembali ke kos lagi, tapi benar-benar yang cuma ke situ doang enggak ke mana-mana lagi.
Kapan tepatnya ketemu ibu?
Kalau ke Depok memang untuk ketemu ibu dan mbakku. Mbakku kan enggak tinggal di sini, jadi pas dia pulang ya aku sempetin pulang.
Baca juga: Dua Pasien Korona Indonesia Terus Membaik
Kemudian yang ikut sakit siapa saja?
Nah, mbakku tanggal 16 Februari itu dia agak demam, sebelum aku. Cuma ya dia itu cuma beberapa hari doang demamnya, cuma sampai 37 derajat celsius. Jadi sebenarnya sampai seminggu sebelum diisolasi dia sebenarnya sudah sehat. Makanya, kita coba terus berusaha ambil contoh mbakku sebagai yang
asimptomatik lebih bahaya. Dia enggak ada gejala ternyata ada virusnya. Dia bisa sebarkan ke orang lain.
Padahal, katanya waktu tes pertama dia negatif?
Dia positif juga. Jadi 01 itu aku, 02 itu ibu, dan 03 itu kakakku.
Akhirnya kakak ikut diisolasi walau sudah sembuh sebenarnya?
Iya dia mah udah sembuh. Tidak ada gejala sama sekali, cuma ada lendirnya.
Dari mana terpaparnya itu sulit sekali dilacak ya?
Oh sulit banget, karena hampir kayak flu (biasa). Setiap orang beda-beda simptom gejalanya. Dan kebanyakan kayak demam dulu, sembuh, seminggu udah lama, tapi ketika dicek virusnya masih ada.
Pada saat perawatannya dikasih antibiotik aja? Enggak ada obat khusus?
Iya karena kan korona ini kan self limiting disease, jadi memang sistem kekebalan tubuh yang membunuh virus dan menyembuhkan kita. Jadi pengobatan dokter itu tergantung keluhan kita. Kalau dia tifus, diobati tifusnya. Kita juga dirontgen tiap berapa hari sekali untuk lihat perkembangan paru-parunya. Itu kalau bercak disembuhkan.
Karena aku masih batuk sampai nyeri ulu hati, mual, sampai enggak bisa tidur itu disembuhkan dulu. Kita bisa aja karena tubuh kita drop, bisa aja virus korona masuk lagi kan? Jadi dikasih antibiotiknya itu untuk melawan virus korona ini.
Apalagi keluhannya saat dalam pengobatan itu?
Aku juga diberi nebulizer karena banyak dahak supaya cepat cair. Aku tuh rasanya dahaknya enggak keluar, kadang bisa dengar bunyi grok-grok di paru-paru (seperti menguap lagi….) Pas udah mendingan, jadi berkurang jadi 2 kali sehari sebelumnya 3 kali sehari. Waktu di RS Mitra Keluarga Depok juga udah dikasih nebulizer karena kan bronchopneumonia. Banyak dari kami yang diisolasi itu pada bronchopneumonia yang positif. Tapi ada banyak juga yang enggak ada simptom, cuma batuk doang.
Baca juga: Pemerintah Melacak Sumber-sumber Penularan
Sebelumnya Anda pernah punya penyakit bronchopneuomia?
Belum pernah. Aku rasa sih itu juga ada hubungannya dengan iklim kita yang lagi hujan terus ya. Karena jadi lembab. Waktu aku mulai sakit aku tuh di kos, itu kan mataharinya cuma masuk dari jendela kecil. Selalu buka jendela, tapi pada intinya hujan terus dan keadaan kosanku itu pada lembab banget saat itu. Ada jamur putih di lemari-lemari itu, setiap hari aku sudah bersihin, tapi muncul lagi….
Itu cuma dugaan kan?
Itu dugaan aku, dan juga aku di kosan itu pelihara kelinci kan, jadi mau sebersih apa pun, tetap lembab, amoniak dari bekas kencingnya itu kan juga enggak bagus. Sampai kemudian kelinci-kelinci itu aku pulangkan ke Depok. Karena bronchopneumonia itu bisa muncul karena lembab dan itu biasa banget di Indonesia, tetapi bisa sembuh juga karena matahari.
Tetapi itu kan bukan penyebab utamanya kan?
Jadi aku sih rasanya karena itu juga, selain tentu karena aku sempat kontak dengan orang yang positif korona di dua tempat, dua malam berturut-turut. Bisa saja ada yang tidak kena. Tapi kalau aku ya dari kecil memang sering sakit. Jadi mudah terkena…. Proses sembuhnya lama….
Baca juga: Derita Pasien Korona, Kecemasan Kita
Ketika Presiden mengumumkan Anda bersama ibu positif korona apa yang terbayang waktu itu?
Wah…itu aku enggak ngerti lagi, aku gimana. Itu rasanya lagi, karena dalam isolasi kita masih pakai HP, orang tuh mikir-nya pasien korona yang mau mati, pingsan, enggak bisa ngapa-ngapain, enggak bisa gerak, pakai alat bantu napas, padahal enggak sampai kayak gitu. Jadi aku juga masih lihat HP, berita juga aku nyalain terus, TV enggak pernah kumatiin.
Nah aku ingat banget, pas dikabari bukan oleh presiden, positif dua pasien korona. Di sini tuh selain aku sama ibu, tidak ada pasien lain lagi.
Jadi shock banget, semua orang langsung Whatsapp, dalam hitungan menit inisial kita NT, 31 tahun, dan MD, 64 tahun, alamat rumah kita lengkap, itu aku langsung panic attack ya dan aku nangis-nangis kebingungan langsung telepon ibu. Gitu, apalagi dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang ngirim foto-foto kami di seluruh grup Whatsapp , aku udah enggak ngerti sama sekali.
Dan kebingungan, maksudnya aduh gimana ya..Aku ckkk…aku tuh bukan yang mau ngeritik pemerintah ya…Sebenarnya kan ada hak pasien yang harus tahu, cuma aku enggak tahu kalau ada undang-undang wabah (aku sebenarnya belum baca juga), cuma kalau menurut orang-orang, itu memang ternyata semua di-take over pemerintah dan harus mementingkan kepentingan nasional, melebihi yang lain.
Waktu itu bagaimana kondisi Anda di ruangan isolasi?
Jadi pada waktu itu karena aku enggak tahu, ya aku sebel banget dong. Bukan karena Presiden yang menginfokan itu, karena kan mereka enggak menyebut nama kami sama sekali, dengan 01 dan 02, tapi kan kebocoran data itu oleh yang di bawah-bawah. Bukan dari Presiden dan bukan dari Menteri Terawan, cuma data yang grup Whatsapp itu kan ada kebocoran dari yang bawah-bawah.
Dan tahu dong netizen Indonesia kan? Mereka buta literasi, mereka enggak mau baca yang benar, mereka menghakimi, saya sih yakin ya itu ada pengkhianat di kontak Whatsapp saya, karena foto Brazilian yang saya pakai baju samba itu, itu foto profil Whatsapp saya. Ada yang ngescreen shot, karena foto yang beredar saya penari sewaan dari orang asing itu kan juga ada tulisan contact info, itu kan diambil dari Whatsapp.
Itu tersebar ke mana-mana. Yang bikin sakit hati itu seluruh netizen menyerbu Instagram dan Facebook saya, mereka kalau mau lihat (foto) yang benar-benar enggak menghakimi itu banyak kok foto-fotoku yang berpakaian tradisional, itu ada yang di Belanda, Perancis, di Kepulauan Karibia, sampai ke mana-mana di seluruh dunia, bahkan ada posting-an saya yang waktu jadi asisten koreografer untuk opening performance Asian Games, bahkan dalam empat bahasa: Inggris, Perancis, dan Spanyol, tapi kok foto yang diambil yang samba, yang adalah lumayan terbuka.
Maksudnya orang-orang yang nyari-nya tuh yang, maksudnya haus banget buat nge-bully, gitu, dan enggak mau baca. Makanya, waktu di salah satu grup dansa, ada banyak grup dansa, belum tentu saling kenal, rentang umurnya dari kuliah sampai 70 tahun, itu tuh udah ramai. Aku tuh masih diam aja, karena masih kebingungan gimana sih aku neh sama ibu. Karena waktu kita awal Mitra Keluarga, aku dah bilang sama dokter, dokter bisa enggak aku dites korona aja.
Dokternya bilang apa waktu itu?
Itu permintaanku sendiri. Karena seluruh keluarga sudah bilang, Sita please cek korona dan pisah sama ibu. Karena kalau aku kena korona bisa cepat sembuh, tapi kalau ibu udah 64 itu usia rentan. Aku minta dipisah sama ibu. Tanggapannya, ada prosedur dan aku mengerti itu. Karena kalau asal-asalan nanti bisa kebobolan di berita, satu Indonesia bisa heboh.
Baca juga: Batal Bersukaria karena Virus Korona
Maksudnya?
Nanti terjadi kepanikan di masyarakat. Okay aku terima itu. Terus hari Jumat (14 Februari) aku ditelepon teman aku itu, orang Indonesia pelatih Latin Dance yang lagi di Malaysia; Mbak gua mau cerita ini ada orang asing yang datang ke dua tempat yang itu heboh banget (aku enggak mau nyebut lagi tempatnya nanti dampaknya panjang lagi). Itu di tanggal 14 ke 15 Februari, nah aku ada di situ di dua tempat itu. Dia katanya saat di Indonesia enggak sakit, tetapi tanggal 16 sakit, saat dites katanya positif korona. Jadi sehari sebelum aku masuk rumah sakit. Malamnya dokter datang, dan aku ceritain semuanya, mereka langsung menganggap serius.
Langsung dirawat kan waktu itu?
Kebetulan kan kamar kita, bertiga, langsung kami diisolasi di ruangan itu. Mereka sudah pakai kostum APD. Langsung di hari Minggu dini hari kita langsung dibawa.
Jangan salah, aku sama ibu deg-degan banget. Kita mikir duh benar enggak sih, isolasi tuh kayak gimana. Kalau lihat di TV isolasi tuh kayaknya seram banget ya.
Jadi sudah deg-degan banget, tapi kita masih positive thinking, kita pasti negatif. Cuma untuk tahu aja, eh tiba-tiba positif kan. Dan orang-orang pada ribut.
Semua Whatapp kira-kira jam satu siangan itu tuh aku langsung dapat ratusan Whatsapp dari orang-orang. Maksudnya, ibu kan tokoh budaya, banyak orang tahu rumah kami di mana, minimal kompleksnya di mana kan? Inisial kami disebut ST dan MD, itu pasti kami.
Kata ibu, semuanya terlihat bingung, benar enggak?
Jadi semua orang, aku tuh merasa, kok semua orang tahu tentang aku, tapi aku enggak tahu. Dan media langsung nyerbu di WhatsApp, DM di medsos, panik, aku privat semua media sosial aku. Tapi ya sudah terlambat kan. Akhirnya ada salah satu ibu yang enggak kenal, ini nih fotonya….Akhirnya aku nulis di grup WA kira-kira jam 7 malam. Karena dari Presiden ngomong itu aku tuh yang shock gitu. Whatsapp banyak banget itu semua enggak ada yang aku balesin karena aku bingung.
Waktu Presiden umumkan itu Anda ikuti di TV?
Ikuti, karena selama tujuh hari diisolasi itu aku hampir enggak pernah matiin TV. Itu masih di ruang isolasi, mau ngapain lagi kalau enggak main HP dan nyalain TV. Aku masih lemas banget, ya ampun, aku cuma jawab keluarga saja. Cuma waktu di grup dansa ada ngepost foto, itu aku sakit hati. Itu ada gue di situ…ya akhirnya aku nulis, yang kemudian dalam 5 menit viral, yang akhirnya balik lagi ke aku. Aku itu gila…enggak nyangka sih. Aku enggak bermaksud bikin viral. Kita sama-sama dansa kok malah nyebarin foto saya. Cuma dalam 5-10 menit pesan itu langsung viral.
Anda merasa dua kali terpukul?
Iya. Sudah terpukul soal Covid-19 tiba-tiba lagi soal social media. Itu sampai sekarang enggak berhenti. Maksudnya, waktu awal-awal orang follow saya dan saya lock, cuma lama-lama untungnya saya punya sistem support keluarga yang mendukung, dan kakakku itu kan lebih bisa public speaking dibandingin aku ya, Jadi akhirnya kita menggunakan Instagram itu, aku buka go public, Mbak dan Masku berusaha ngepost hal-hal positif soal Covid-19.
Apa yang harus dilakukan, kami diisolasi tapi kami baik-baik saja. Karena kan orang mikirnya kita kayak pakai alat pernapasan kayak ikan yang enggak bisa ngapa-ngapain, sudah kelepek-kelepek seperti mau mati di atas air. Padahal kita di dalam tuh, ya aku cuma batuk. Jadi di dalam aku olahraga, menyanyi, menari, ibu juga menari-nari. Aku harus hati-hati karena kan pakai infus. Aku lakuin itu semua dari sport, kayak stretching. Aku biasa aktif tiba-tiba harus tidur, badan aku sakit semua. Ya aku biasa olahraga….
Bahkan sampai lakukan head stand di kasur, nah aku lupa ada CCTV, susternya langsung tegur. Mbak jangan lupa masih pakai infus. Hati-hati sama infusnya ya jangan jungkir balik. Soalnya, aku udah bosan banget, total sudah 13 hari diisolasi dan tiga hari di rumah sakit kan.
Selama dalam masa isolasi itu, seperti apa layanan di sana?
Itu luar biasa. Aku belum pernah ke rumah sakit di mana perawat-perawatnya sebaik itu tuh, aku kalau ingat tuh sedih banget. Dari awal mereka sudah lihat aku panik banget ya. Aku panik. Pada awal-awal tahu positif aku tensi darah tuh biasanya 110/70, itu kemarin sampai 150/140 itu saking tertekannya. Saking stres.
Dari awal masuk saja, suster-suster itu ya ampun yang baik banget. Mereka bukan hanya mengurus fisik kami, melainkan juga mental kita itu benar-benar diperhatikan. Mereka merawat dengan penuh kasih sayang, mulai dari suster, dokter, sampai orang-orang lab dan cleaning service. Aku sampai menanti-nanti mereka masuk selalu.
Enggak ada rasa takut pada mereka?
Mereka tuh masuk ke situ kan bisa tertular kan, tetapi mereka masuk di jam-jam tertentu memang. Mereka stay di situ untuk ngobrol sama aku, terutama suster-susternya. Dengan pakaian APD itu, mereka kasih makan terus sambil ngobrol biar aku tenang. Jangan panik Mbak, jangan nangis terus.
Mereka kayaknya sadar dari kami bertiga itu, mentalku tuh yang paling lemah. Mudah terganggu dengan keadaan di luar. Jadi pada minggu pertama di situ, keadaanku bukan membaik malah makin buruk. Batuknya makin parah, nyeri ulu hati makin parah, semua makin parah, karena kalau sudah stres, tingkat tinggi.
Baca juga: Kabar Bohong Melapangkan Jalan Korona
Dokter sering berkunjung juga?
Kalau dokter datangnya sehari sekali. Suster itu datangnya empat kali sehari. Tiap hari ada yang sambil swab, terus ada yang nebulizer, terus makan pagi, makan siang, dan malam hari. Mungkin sih ada beberapa rumah sakit enggak sesiap RSPI Sulianti Saroso.
Saya sih beruntung banget. Dari awal mau diisolasi saya sih berharap dapatnya di RS Sulianto Saroso. Kita memang request, tapi katanya belum tahu dapatnya di mana. Kita beruntung dapat di sana. Para direkturnya itu setiap saat tanya kita.
Kalau melihat situasi sekarang dalam cara Indonesia tangani pandemi ini, menurut Anda bagaimana?
Gimana ya? Menurut aku tuh pemerintah bukan Tuhan, wajar kalau ada salah dan ketidaksiapan. Ini kan virus baru banget, jadi tentunya di negara mana pun juga enggak mungkin ada yang siap 100 persen gitu, karena virus ini masih berkembang dan bermutasi terus.
Infonya saja masih simpang siur, ada yang bilang kalau sudah kena korona kebal, ada juga yang bilang ini kan kayak flu jadi bisa kapan pun kena. Ada yang bilang kalau sudah kena akan sembuh total, tapi ada juga yang bilang kalau sudah kena fungsi paru-paru akan berkurang, 20-30 persen. Kalau menurut saya karena ini virus baru berkembang, seluruh dunia memang enggak siap, tiba-tiba Wuhan seperti itu. Menurut aku, sih ini masalah dunia.
Menurut Anda ke mana arah penanganan soal pandemi korona ini?
Sekarang ini, waktu kemarin kita dikasih penghargaan itu tiba-tiba Instagram saya penuh dengan orang-orang yang ingin menjatuhkan pemerintah. Ya jadi akhirnya si virus korona ini dijadikan (komoditas) politik dan agama. Jujur dari semalam ini aku terpukul lagi, banyak yang menyerang aku, kita dibilang drama, bisa menang piala citra, dan menuduh kami dapat miliaran rupiah dari Jokowi, karena digunakan sebagai alat propaganda.
Ada lagi yang ngatain saya lonte korona, pelacur istana, menuduh kami berpura-pura sakit, menuduh saya menipu jutaan rakyat, saya posting yang lama-lama, itu pun mereka kayak buta literasi. Mereka enggak mau baca. Jadi semua eh isolasi, kok bisa joget-joget, kok bisa kinclong mukanya, 7 hari lalu difoto. Jadi pada akhirnya itu…bodongan yang untuk jatuhin pemerintah melalui virus korona ini. Sudah ada ratusan komen yang ngata-ngatain saya.
Enggak ditutup lagi?
Ini tuh mentalnya harus kuat banget. Banyak orang-orang yang DM mendukung dan minta terus di-share dong untuk edukasi, kami di daerah butuh informasi. Ada yang mau interview, karena kan Indonesia kan 17.000 pulau, pasti informasi turun dari atas ke bawa itu tersendat. Sulitnya Pemerintah Indonesia itu karena kita kepulauan. Hampir enggak mungkin Indonesia lockdown, gimana caranya?
Kalau kita negara Eropa yang kecil, orang-orangnya middle class ke atas enggak masalah. Ya kalau orang-orang di sini, harus jualan ke pasar, kalau enggak jualan enggak makan, ya enggak mungkin di-lockdown dong. Yang ada kayak orang yang kabur, karena dia diisolasi yang kasih makan keluarganya siapa?
Apa sebenarnya yang dihadapi Indonesia dengan korona?
Indonesia tak hanya hadapi virus korona, karena ada agenda lebih besar, ada agenda politik, ada agenda agama, ada soal geografi juga, ada soal level pendidikan masyarakat yang berbeda-beda, aku selalu imbau maksudnya I don’t denial, satu Indonesia banyak kenal aku. Terus follower tambah banyak banget.
Jadi aku justru ingin gunakan itu untuk share positive message, tapi memang enggak gampang, karena banyak orang-orang yang jahat banyak banget yang enggak mau baca. Mereka memang mencari celah untuk jatuhkan pemerintah. Virus netizen jauh lebih berbahaya daripada virus korona. Karena itu yang benar-benar…waktu di presscon kemarin, kok masih sebal banget. Kalau mbakku kan biasa public speaking, ibu apalagi dia dosen. Itu aja kok orang-orang menilai, oh itu mereka kok kayak public speaking, pasti mereka dibayar sama Jokowi. Kok pasien korona pakai kebaya dan kinclong-kinclong….
Jadi mau mereka seperti apa menurut Anda?
Mereka inginnya karena saya pasien korona saya harus nge-post foto yang saya sakit, enggak bisa ngapa-ngapain. Aku enggak mau kayak gitu, waktu aku diisolasi, aku harus sembuh, Aku juga stress lama-lama kalau diisolasi kan. Bukan karena pelayanannya. Enggak kena matahari, ingin nari, enggak ketemu keluarga. Jadi akhirnya setiap hari habis mandi aku dandan, ya dandan aja. Habis itu foto-foto cantik, jadi senang.
Sekarang apa yang harus dilakukan masyarakat?
Menurut aku mereka harus rajin baca, jangan buta literasi, karena informasi tentang korona walau masih simpang-siur itu ada banyak. Data, bahwa mortality kurang dari 2 persen, setengahnya yang sudah sembuh dari yang terkena. Cuma karena enggak mau cari, cuma sulit saja dan negatif, enggak akan membantu, kita harus melakukan sesuatu untuk Indonesia. Harusnya cara informasi dan ikuti imbauan pemerintah untuk social distancing.
Dua minggu libur sekolah bukan untuk ke puncak atau ke Taman Mini, karena kita udah enggak tahu virusnya itu ada di mana saja. Dan untuk orang-orang yang merasa memiliki simptom walau itu flu, jangan takut untuk dicek. Jangan takut diisolasi, karena itu tidak se-menyeramkan yang dibayangkan.
Isolasi itu justru membuat kita jadi lebih aman, kita enggak akan menulari orang-orang yang kita sayangi.
Sekarang kan ada ketakutan kalau isolasi itu seram?
Iya padahal itu enggak. Kita memang enggak kena matahari. Kami beruntung di RSPI ada tv ada wifi. Itu kan bagus, karena kalau isolasi kita kan kesepian banget. Kita butuh human interaction, HP itu justru membuat orang lebih cepat sembuh. Aku setiap hari itu video call sama ibu, pacar, masku dan anak-anaknya. Jangan takut diisolasi, itu mungkin karena video beredar di mana orang-orang jatuh dan mati. Dan mereka yang rentan meninggal itu mereka yang ada penyakit bawaan. Kalau yang enggak mereka bisa sembuh dengan imunitas tubuhnya.
Dari sisi pemerintah gimana dalam tangani ini?
Menurut aku informasi dari pemerintah pusat ke daerah itu harusnya bisa lebih cepat untuk penanganan ini. Hal yang paling simpel tapi penting, semua orang yang terkena korona itu dibiayai pemerintah, itu harus disebarluaskan. Karena mungkin ada beberapa rumah sakit yang enggak tahu. Ada juga yang takut dites karena harus bayar. Contoh drive thru di Korea Selatan mungkin bisa dipakai ya. Perawat-perawatnya di jalanan, sehari bisa ribuan. Apakah itu bisa di Indonesia bisa dilakukan dengan 265 juta penduduk. Mungkin bisa metode beda untuk dapat sampel lebih cepat dan banyak. Karena sekarang semua pengecekan di litbangkes, itu lama. Sekarang jadi over flow.
Saran kepada yang positif korona?
Tenang saja jangan panik, kayak aku kemarin. Di saat panic immune system drop dan sakitnya makin parah. Pikirkan yang bahagia, kerjain apa yang disukai, baca buku, nyanyi-nyanyi….
Kepada yang belum kena?
Jangan takut untuk dites dan diisolasi. Karena dengan diisolasi bukan hanya menyelamatkan diri sendiri, melainkan juga orang-orang di sakitarnya yang disayangi.
Rencana Anda ke depan?
Belum ada. Aku kan masih di rumah saja.
Ingin bepergian?
Ya ampun, aku pengin ketemu teman-teman dan keluargaku.
Tetap aku akan tunggu. Ketemu di rumah saja kalau mau. Budaya cuci tangan itu harus benar-benar dibudayakan. Kalau pergi, aku sih ingin ke Bali ketemu Masku dan anak-anaknya. Tapi kalau kayak gini, belum bisa.