Ditolak karena Korona
Kekacauan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia membawa derita fisik dan mental bagi sebagian masyarakat. Bahkan, sebelum ada kepastian hasil tes, mereka kerap ditolak rumah sakit dan distigma warga sekitar.
Wabah Covid-19 tak hanya membawa ancaman maut, tetapi juga tekanan mental. Saat sakit dan hendak memeriksakan diri, sejumlah orang ditolak rumah sakit. Pada saat yang sama, mereka juga terancam dikucilkan dari lingkungan sosial, bahkan diteror agar meninggalkan tempat tinggalnya.
Penderitaan fisik dan mental itu dialami Meika Arista (25), karyawan swasta. Rasa sakit awalnya terasa saat dalam perjalanan dari Nusa Tenggara Timur ke Surabaya pada 9 Maret 2020. Dia mulai merasakan gejala sakit. Badan ngilu dan demam. Sakitnya menghebat sehari kemudian saat hendak menuju bandara di Surabaya untuk terbang ke Jakarta.
”Badan lemas sekali dan kaki gemetar. Rasa sakitnya belum pernah saya alami sebelumnya. Saya pikir pasti kena DBD (demam berdarah dengue) mengingat penyakit ini lagi mewabah di NTT,” kisah Meika.
Dengan penuh perjuangan, dia bisa naik ke pesawat hingga tiba di Jakarta. Selama di pesawat, kakinya gemetar. Panas dingin dan menahan perut mulas, dan dada sesak. Sampai di Jakarta, ia dijemput teman kantor dan istirahat di kosnya di daerah Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur. Setelah beristirahat seharian, rasa sakitnya tak mereda. Meika memutuskan pergi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Matraman.
Baca juga: Tes Cepat Korona Menjadi Deteksi Awal Saja
Dokter yang memeriksa darahnya menyimpulkan,”Ini bukan DBD. Trombosit normal, leukosit tinggi. Ada beberapa kemungkinan. Satu bisa leukemia, satu lagi ada tanda di dalam tubuhmu ada virus. Tiga hari lagi cek darah lagi.”
Badan lemas sekali dan kaki gemetar. Rasa sakitnya belum pernah saya alami sebelumnya. Saya pikir pasti kena DBD (demam berdarah dengue) mengingat penyakit ini lagi mewabah di NTT.
Setelah diberi obat, Meika istirahat di kos dan diminta kembali lagi jika dalam tiga hari masih sakit. Namun, sakitnya bertambah hebat. ”Rasanya lemas banget. Batuk menerus. Batuk kering. Sempat diare juga,” tuturnya.
Di sela-sela sakit itu, dia mulai mencari tahu gejala infeksi virus korona (corona) baru penyebab Covid-19. Beberapa teman dekatnya juga memberi banyak informasi, bahkan ada yang mengirim pesan,”Meik, tanda-tanda sakitmu mirip gejala korona. Kamu kan habis pergi terus-menerus pakai pesawat. Kamu harus periksa.”
Menerima pesan itu, Meika semakin galau. ”Jelas aku akan mati ini. Aku sakit banget. Menderita banget,” pikirnya.
Seminggu terakhir dia memang berkeliling ke sejumlah bandara, Kupang, Sumba, Bali, Juanda, Soekarno-Hatta, dan Halim Perdanakusuma. ”Aku juga ingat bahwa aku pernah satu pesawat dengan banyak orang asing, juga di samping tempat duduk,” ujarnya.
Malam itu menjadi malam yang kelam dalam sejarah hidup Meika. Di grup Whatsapp kantornya langsung heboh. ”Tolong kalian pake masker, bawa Meika ke RS segera!” kata salah seorang rekannya.
Tak berapa lama, salah seorang temannya datang menjemputnya dengan mobil dan anehnya sambil memakai mantel hujan. ”Dia bilang maaf enggak bisa bantu pegang dan bukain pintu. Aku mengerti. Semua demi kebaikan,” kenang Meika.
Dia menangis sepanjang jalan mau ke rumah sakit swasta di Pulomas. Sampai di sana dia langsung dibawa ke instalasi gawat darurat (IGD). Setelah diperiksa suhu tubuh, dia dibawa ke poli umum. Kepada dokter, dia mengisahkan sakitnya yang tidak kunjung sembuh setelah lima hari dan riwayat pengobatan hingga perjalanan.
Dokter yang menangani langsung merujuk Meika ke sebuah rumah sakit rujukan di Jakarta. ”Tanda-tanda dan gejala Mbak mengarah ke virus korona. Di sini tidak memiliki perlengkapan untuk uji korona,” kata sang dokter.
Negatif tanpa periksa
Malam itu juga mereka ke rumah sakit rujukan untuk perawatan Covid-19 dan langsung ke IGD. Setelah antre, Meika mengatakan kepada petugas bahwa dia dirujuk untuk tes korona. Petugas itu langsung mengatakan,”Mbak, nanti aja. Antrean belakang dulu. Mbak protokolnya beda.”
Meika kembali mundur. Setelah antrean habis, dia tak juga dipanggil. Petugas itu masuk ke ruangan lain sebelum kemudian bertanya, ”Mbak keluhannya apa?”
Meika mengulang kembali kisahnya. Petugas itu kemudian mengukur suhunya, hasilnya 37,1 derajat celsius. Selanjutnya dia pergi dan kembali dengan menyodorkan secarik kertas ke teman Meika yang mengantar, ”Mas, isi ini dulu ya.” Saat itu sudah pukul 22.30.
Rekan Meika mencentang semua list, berisi daftar gejala korona yang sesuai dengan yang dialami. Beberapa saat kemudian, petugas itu datang bersama perempuan berpakaian tertutup dan masker. Tanpa memeriksa, dia langsung mengatakan, ”Mbak, ini bukan korona. Saya langsung kasih obat saja.”
Dari balik meja pendaftaran, perempuan dengan pakaian tertutup itu mengatakan, ”Itu cuma virus biasa Mbak. Memang efek kena virus begitu.”
Meika merasa lega dikatakan negatif korona. Tetapi timbul pertanyaan di benaknya, ”Lha virus apa? Cara menyembuhkannya bagaimana? Kenapa aku enggak diperiksa? Saya sesak napas dan batuk terus. Apa benar negatif?”
Perempuan berbaju tertutup itu bergeming dan hanya menuliskan resep obat batuk generik. Kabar baiknya, Meika hanya membayar obat Rp 16.000. Putus asa, Meika kembali ke kos. Dia memutuskan untuk mengisolasi diri dan mengabarkan kondisinya kepada ibu kos dan tetangga kamarnya. ”Mereka bisa mengerti dan mendukung. Baik sekali,” tuturnya.
Mengisolasi diri
Sambil mengisolasi diri dan memulihkan sakit yang dideritanya, Meika berpikir keras bahwa apa yang dialaminya merupakan kekeliruan. Dia kemudian berinisiasi membuat petisi melalui change.org yang meminta agar Presiden membuat tes massal untuk Covid-19.
Saat mengisolasi diri dan berusaha menyembuhkan sakit, tiba-tiba dia diteror ketua RT karena dianggap bisa menulari warga lainnya. Entah dari mana, RT tahu bahwa dia sakit. ”Ini bukan hoaks. Informasi dari teman Mbak Meika yang berteman di grup RW kita. Saya tidak menyebarkan, tapi mencari dari siang hari. Tujuannya untuk menyelamatkan obyek dan lingkungan,” katanya.
Malam itu juga, ibu RT memaksanya meninggalkan lingkungan dan pergi ke rumah sakit meski sudah dijelaskan bahwa pihak rumah sakit memintanya rawat jalan. Beruntung ibu pemilik kos dan teman-teman melindunginya. Meika sampai sekarang masih mengisolasi diri di kosnya, tetapi perasaannya tak tenang lagi.
Keterlambatan pemeriksaan
Tragedi itu tak hanya dialami Meika. Banyak kisah lainnya dengan tingkatan berbeda. Namun, pada prinsipnya, masyarakat yang memiliki kemauan untuk memeriksakan diri dipersulit. Keterlambatan penapisan dan sentralisasi pelaporan hasil tes membahayakan masyarakat dan bisa memperluas sebaran Covid-19.
Sejumlah warga yang diperiksa tak mendapat kepastian hasilnya hingga sepekan. Padmi (50), bukan nama sebenarnya, diambil sampel swab pada 12 Maret 2020 di sebuah puskesmas di Jakarta Pusat, tetapi hingga kemarin hasil pemeriksaan belum ada. Akibatnya, dia mengisolasi diri tanpa kepastian. ”Lima orang lain diambil swab. Kami kontak dekat dengan pasien korona yang masih dirawat di ruang isolasi,” tuturnya, Kamis (19/3/2020), di Jakarta.
Ia berusaha mendapatkan hasil tesnya dengan menghubungi puskesmas, dinas kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, hingga Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. ”Kakak saya panas tinggi dan batuk. Saya khawatir positif dan menulari orang lain,” ujarnya.
Untuk mempercepat deteksi awal korona baru, pemerintah akan melaksanakan penapisan secara masif lewat tes cepat di laboratorium-laboratorium ditunjuk Kementerian Kesehatan. Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan korona, Achmad Yurianto, 1 juta alat tes cepat disiapkan dan fokus pada orang berisiko tertular Covid-19. Publik berharap, penanganan Covid-19 di Indonesia lebih baik agar jumlah penderita tak meledak. (NINA SUSILO/DEONISIA ARLINTA/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO)