Bank Indonesia: Kepanikan Investor Global Mereda
Kepanikan investor mulai mereda. Tekanan terhadap rupiah mulai bekurang.
JAKARTA, KOMPAS — Kepanikan investor global yang mengkhawatirkan kondisi perekonomian dunia akibat pandemi coronavirus disease 2019 atau Covid-19 mulai mereda. Aliran modal yang keluar dari pasar emerging market, termasuk Indonesia, mulai berkurang sehingga pemerintah cukup terbantu dalam proses pemulihan kondisi ekonomi.
Dalam pemaparan yang disiarkan melalui kanal Youtube Bank Indonesia, Selasa (31/3/2020), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, tekanan terhadap rupiah mulai mereda dalam sepekan terakhir. Hal ini seiring dengan kepanikan global terhadap pandemi Covid-19 yang berkurang.
Kepanikan mereda setelah beberapa negara maju mengeluarkan stimulus fiskal, termasuk Amerika Serikat (AS), yang menggelontorkan dana lebih dari 2 triliun dollar AS dan rencana tambahan stimulus 500 miliar dollar AS. Selain itu, negara-negara maju di Eropa mulai memperkuat kebijakan stabilisasi, seperti yang dilakukan bank sentral.
”Sejak seminggu terakhir, tekanan relatif mereda meskipun kami lihat volatilitas masih tinggi. Dengan kepanikan global yang mereda, mekansime terkait suplai dan permintaan di pasar keuangan berjalan baik,” ujar Perry.
Di pasar tunai, pada pukul 15.20 WIB, nilai tukar di level Rp 16.310 per dollar AS atau terapresiasi 0,17 persen dibandingkan dengan perdagangan pada Senin (30/3/2020) yang sebesar Rp 16.338. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar Rp 13.367 per dollar AS. Di samping itu, dalam mencukupi kebutuhan valas, BI mengajak importir untuk memanfaatkan fasilitas Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
Perry menegaskan, mekanisme suplai dan permintaan valas di pasar berjalan baik karena eksportir turut membantu menyuplai valas. Ia mengimbau pelaku impor untuk masuk ke dalam pasar DNDF jika memerlukan valas, terutama dollar AS.
BI juga sudah berbicara dengan pemerintah agar perusahaan-perusahaan badan usaha milik negara mulai memanfaatkan DNDF untuk memenuhi kebutuhan valas.
Sebagai salah satu upaya menjaga stabilitas nilai tukar, sejak awal Januari hingga 30 Maret 2020 BI memborong Surat Berharga Negara (SBN) hingga Rp 172,5 triliun. Sebanyak Rp 166,2 triliun di antaranya merupakan pembelian SBN dari pasar sekunder yang dilepas investor asing.
”Di pasar SBN, total aliran modal keluar 20 Januari-30 Januari 2020 mencapai Rp 131,1 triliun. Namun, beberapa minggu terakhir, BI melihat tekanan di pasar aset keuangan Tanah Air mulai reda,” ujarnya.
Tekanan di pasar keuangan yang mereda itu sejalan dengan penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 2,82 persen ke level 4.538,93 pada perdagangan Selasa (31/3/2020). Penguatan IHSG diiringi aksi jual saham oleh investor asing yang ditunjukkan dengan jumlah jual bersih sebesar Rp 308,84 miliar.
Frekuensi perdagangan saham sebanyak 561.926 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan 7,02 miliar lembar saham senilai Rp7,92 triliun. Harga 252 saham naik, 154 saham menurun, dan 123 saham tidak bergerak nilainya.
BI melihat tekanan di pasar aset keuangan Tanah Air mulai reda.
Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan, penguatan IHSG ditopang sentimen global, terutama pemulihan ekonomi China. Adapun sentimen dari dalam negeri, rencana pembatasan sosial berskala besar tidak akan mengubah persepsi investor terhadap pasar.
”Sentimen positif yang bisa menggerakkan pasar pada triwulan II-2020 adalah window dressing dari laporan keuangan triwulan I-2020 dan perkembangan positif dari upaya penghentian pandemi Covid-19,” ujar William.
Data indeks aktivitas manufaktur dan non-manufaktur China versi pemerintah untuk Maret 2020 melebihi ekspektasi dan masuk zona ekspansi, yaitu masing-masing 52 (konsensus 44,9) dan 52,3 (konsensus 42,1). Hasil tersebut menunjukkan pemulihan ekonomi China setelah berhasil mengatasi pandemi Covid-19.
Resesi global
Terkait kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global, Perry mengatakan, pemerintah bersama otoritas perekonomian tengah menimbang sejumlah skenario untuk menambah daya tahan ekonomi terhadap upaya penyelesaian penyebaran Covid-19.
”BI bersama pemerintah berdiskusi intensif bagaimana dampak resesi global ke Indonesia. Bukan hanya masalah perdagangan yang berhubungan dengan ekspor-impor, mobilitas manusia, dan investasi. Namun, juga dampak tidak langsung penurunan aktivitas ekonomi,” ujar Perry.
Baca juga : Ancaman Resesi Ekonomi Mengintai Dunia
Selain itu, bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), BI berupaya memastikan stabilitas sistem keuangan di dalam negeri tetap terjaga. Hal ini dilakukan dengan cara memastikan kecukupan likuiditas, penurunan suku bunga, dan relaksasi pasar valas.
”Industri perbankan Tanah Air masih dalam kondisi yang sangat kuat dalam menghadapi tekanan akibat penyebaran pandemi Covid-19,” ujarnya.
Daya tahan industri perbankan tecermin dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang saat ini sekitar 23 persen. Adapun rasio kredit bermasalah (non-performing loan ratio/NPL) perbankan di level 2,5 persen secara gros dan 1,3 persen secara net.
”Kondisi perbankan Indonesia saat ini jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan situasi pada krisis ekonomi global 2008, apalagi kalau dibandingkan pada periode krisis ekonomi Asia periode 1997-1998,” ujarnya.