Penyanyi Jenazah
Upah Raja lima ratus ribu rupiah untuk satu jenazah yang dia nyanyikan. Sehari setidaknya, ia mendapatkan panggilan dua hingga tiga jenazah.
Hari Minggu ia memilih libur. Meski ada saja yang memohon dan rela membayar tiga kali lipat. Namun, Raja tetap menolak.
Padahal, sebelum menjadi penyanyi untuk jenazah, Raja adalah penyanyi kafe. Penyanyi kawinan. Panggilannya hanya Sabtu dan Minggu. Paling banyak dua acara. Seringnya satu. Bayarannya tiga ratus ribu untuk satu acara selama tiga jam tampil.
Kalau sudah awal bulan, Raja tidak langsung pulang setelah menyanyi. Ia tunggu sampai larut malam, baru pulang ke kos. Menunggu Pak Kosih tidur. Sebab, kalau tidak, upah tiga ratus ribu jadi milik Pak Kosih, pemilik kos. Padahal, Pak Kosih tidak galak jika menagih. Raja kalau ada kesempatan menemani Pak Kosih main catur, bisa-bisa bayaran sewa kos dikorting lima puluh ribu dari lima ratus ribu. Namun, Raja tetap saja sungkan. ”Bayar separuh juga tidak apa, lumayan buat isi dapur,” ujar Pak Kosih yang merupakan cara halus untuk menagih.
Orang tuanya di kampung juga tidak berani mengganggu Raja. Mereka tahu anaknya sedang berusaha mengejar mimpi di kota. ”Nak, bapakmu akhirnya ikut Supri jadi kuli batu. Di seberang kampung kita katanya mau dibangun jalan tol. Dulu bapakmu, kan pernah kerja buka jalan di bukit. Lumayan, buat biaya adikmu.” Cerita Ibunya suatu ketika di telepon.
”Kenapa tidak telepon di hape saja bu?” tanya Raja.
”Mahal.”
”Kemarin aku sudah bilang menggunakan Whatsapp call dengan hape Ratu. Tidak perlu pulsa. Lagian, tidak enak sama Pak Kosih,” ujar Raja dengan memelankan suaranya takut didengar Pak Kosih yang sedang menonton televisi di ruang yang sama.
”Kata adikmu tidak ada paket data di hapenya. Ibu tidak mengerti juga.”
”Jadi, Bapak tidak berladang?”
”Ya, tetap berladang. Habis berladang, langsung dijemput Supri, naik motor ke lokasi.”
Tidak lama setelah percakapan telepon dengan Ibu, kawannya datang. Menawarkan pekerjaan.
”Nyanyi untuk jenazah?” tanya Raja bingung.
”Ya, sama seperti elu nyanyi di kawinan orang. Bedanya ini di depan jenazah. Tidak ada pelaminan. Adanya peti mati,” jawab kawannya enteng.
”Mainin lagu apa?”
”Ya, lagu apa saja. Biasanya lagu-lagu favorit almarhum. Nanti elu tanya saja sama keluarganya, penyanyi favorit almarhum siapa, nah, tinggal elu nyanyiin. Lima ratus ribu. Empat puluh menit mainnya.” Ujar kawannya, ”Mau gak lu?”
Mendengar honor lebih dua ratus ribu seperti biasanya serta durasi kerja yang jauh lebih singkat, Raja akhirnya setuju. Apalagi tidak sengaja melihat Pak Kosih yang tampak curi dengar. Ia jadi tidak enak karena sudah menunggak uang kos dua bulan.
Raja kemudian menghubungi klien pertamanya sebagai penyanyi jenazah. Mengikuti saran kawannya untuk menanyakan penyanyi favorit almarhum.
”Ariel, Mas. Kakak saya fans beratnya,” kata kliennya.
”Ariel Noah?”
Raja juga menyukai lagu-lagu dari band Ariel. Ia dulu berharap lagu-lagu ciptaannya dapat terkenal seperti lagu-lagu Peterpan atau sekarang namanya Noah. Namun, usaha untuk menembus industri musik belum membuahkan hasil. Raja terpaksa harus menurunkan idealismenya dan menjadi penyanyi kafe.
”Kamu apa benar nyanyi untuk orang mati?” tanya Pak Kosih suatu Minggu saat mereka bermain catur.
”Iya, Pak,” jawab Raja sambil memajukan kuda putih di papan catur.
”Kamu tidak takut? Buat apa nyanyiin orang yang sudah meninggal?”
Awalnya Raja juga takut. Namun, karena bayarannya bagus, ia berusaha terbiasa. Selama ini, ia tidak menanyakan untuk apa keluarga almarhum memanggil penyanyi. Dilarang oleh kawannya. ”Pokoknya, kamu jangan banyak tanya. Nyanyi saja. Ambil honor, lalu cepat pulang.” Begitu pesan kawannya.
”Klien kamu ini dari penganut agama tertentu?” tanya Pak Kosih lagi.
”Ternyata tidak, Pak. Padahal saya kira demikian. Bahkan klien saya dari berbagai suku.”
Rasa penasaran Pak Kosih membuat Raja sadar, satu-satunya kesamaan dari kliennya adalah usia almarhum tidak ada yang berusia senja. Paling tua usianya tiga puluh lima tahun. Dan kesamaan lainnya selalu ada benda yang berhubungan dengan musik di dalam peti matinya. Entah itu gitar lele, pianika, suling, headphone atau MP3 Player. Mungkin selama ini ia bernyanyi untuk jenazah yang dulu menyukai musik atau pemusik. Zaman sekarang tren semakin unik. Lantaran suka musik, saat meninggal ingin di-nyanyiin dulu. Begitu batin Raja.
”Besok kamu menyanyikan berapa jenazah?” tanya Pak Kosih.
”Tiga.” Dan permainan catur selesai dengan kondisi bidak catur tersisa raja putih yang diapit oleh benteng dan ratu hitam.
Raja membawa gitarnya. Berangkat jam sepuluh pagi. Naik motor skuter lalu menuju klien pertamanya untuk hari itu. Saat tiba di rumah duka, ia langsung dipersilakan menuju peti mati. Tidak lama, Raja mulai bernyanyi di depan jenazah yang menggunakan kemeja lengkap dengan dasi serta jas. Wajah putih pucat. Dingin. Dalam petinya terdapat flute yang dipeluk jenazah. Tampak bukan flute baru.
”Anak Ibu suka memainkan flute?” tanya Raja saat ingin pamit kepada keluarga almarhum. Ibu itu hanya mengangguk dan tersenyum.
”Bagaimana hari ini? Klien suka penampilan kamu?” tanya Pak Kosih saat Raja pulang.
”Selama saya nyanyi, tidak ada pihak keluarga yang memperhatikan. Di sana saya merasa sedang bernyanyi untuk diri saya sendiri,” jawab Raja dan ikut duduk di samping Pak Kosih yang sedang menonton.
”Kenapa murung? Awalnya, kamu semangat dengan kerjaan ini,” ujar Pak Kosih.
Tawaran menyanyi di depan jenazah memang membuat hidup Raja menjadi lebih baik. Ia bisa beli gitar lebih bagus. Kirim uang ke kampung untuk orangtuanya. Membelikan paket data internet untuk adiknya tiap bulan. Dan ia berencana sewa studio rekaman untuk memulai rekaman album. Kembali pada mimpi menjadi musisi yang punya karya. Namun, untuk yang satu ini belum dapat terwujud karena sulit mendapatkan waktu yang cocok.
”Berhenti saja dulu beberapa minggu, bisa kan?” saran Pak Kosih.
Saat sudah jalan enam bulan menjadi penyanyi jenazah, Raja memang ada keinginan istirahat sebentar. Namun, tidak jadi karena dapat kabar bapaknya di kampung terjatuh saat diboncengi motor waktu pulang dari proyek jalan tol. Katanya, temannya mengantuk. Bapaknya patah tulang kaki, sedangkan Supri bocor kepala.
Akhirnya Raja harus mengambil tabungannya. Dan terkuras sudah tabungan itu. Sebab, bukan hanya bapaknya saja yang dikirimi uang, Raja tidak tega kepada keluarga Supri.
Tawaran menyanyi di depan jenazah akhirnya tetap ia lakoni. Niatnya sampai uang terkumpul cukup untuk membiayai rekaman album.
Tidak perlu menunggu lama uang rekaman terkumpul. Sebab kali ini ia menerima tawaran menyanyi di hari Minggu dengan honor tiga kali lipat. Ia sudah siap kosongkan jadwal untuk fokus rekaman musik sendiri. Tetapi rencana rekaman tersebut harus tertunda karena studio rekaman yang hendak disewa Raja sudah tutup. Bangkrut karena sepi penyewa. Raja harus mencari studio lain yang ternyata harganya jauh lebih mahal. Studio yang sering digunakan penyanyi ternama untuk rekaman.
”Sewa studio rekaman itu berapa, sih?” tanya Pak Kosih.
”Tadinya kalau studio itu belum tutup, hanya butuh dana lima ratus ribu untuk satu sesi yang lamanya enam jam. Rekaman album, saya butuh tiga sesi. Selanjutnya butuh biaya mixing dan mastering itu juga butuh dana lagi. Kalau bayar studio yang lebih mahal lagi, tidak cukup dananya.”
”Ya, tidak apalah. Kerja sedikit lagi. Mungkin sudah jalan Tuhan kamu harus rekaman di tempat yang lebih bagus,” hibur Pak Kosih.
”Terima kasih Pak. Tetapi saya sudah memutuskan berhenti menjadi penyanyi jenazah. Tidak perlu memaksa album, saya tetap rekaman tetapi beberapa lagu saja. Mungkin harus dari langkah yang kecil dulu sebelum menjadi penyanyi sesungguhnya,” jawab Raja.
Kemudian dirinya bergegas masuk kamar. Malam itu ia habiskan untuk menentukan lagu yang mana ia rekam terlebih dahulu. Dan besok ia berencana untuk ke kos kawan yang telah memberikan pekerjaan. Raja belum sempat ketemu lagi dan mengucapkan terima kasih. Ia juga ingin meminta kawannya bersedia menggantikan dirinya untuk beberapa jadwal yang sudah ia sepakati.
”Kiki sudah meninggal,” jawab Ibu kos.
”Sejak kapan?” Raja terkejut mendengar kawannya sudah meninggal.
”Bulan Maret lalu. Sakit.”
Merasa kelelahan dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini, Raja memilih untuk segera pulang dan tidur di kamarnya. Menjelang senja, Pak Kosih mengetuk pintu kamarnya.
”Ibumu telepon.”
Raja segera menuju pesawat telepon. Dari ujung telepon terdengar suara ibunya yang panik, ”Nak, kamu tidak apa, kan?”
”Ada apa, Bu?”
”Tadi siang ada yang datang ke rumah. Dia bilang, kau ingin ada yang menyanyikan lagu-lagu kesukaanmu ketika dirimu meninggal. Ada apa, ini Nak?”
__________________________
Denny Dominicus, peserta Workshop Cerpen Kompas 2014. Menerbitkan buku kumpulan puisi Semestinya Aku Jatuh Cinta Padamu pada tahun 2019. Sering menulis kisah di akun Instagram-nya.