Berperang Tanpa Senjata Lengkap
Pertempuran terbuka melawan virus korona baru masih terus berlangsung. Namun, banyak tenaga medis yang berjuang di garda depan terinfeksi, bahkan kehilangan nyawa, karena bertempur tanpa senjata yang memadai.
Pertempuran terbuka melawan Covid-19 baru berlangsung sebulan ini. Namun, tenaga medis yang menderita penyakit yang disebabkan virus korona baru ini terus bertambah, bahkan belasan dokter meninggal. Kondisi ini mencemaskan karena mereka adalah garda depan melawan virus mematikan ini.
”Kami bukan takut. Sebagai dokter tugas kami melayani pasien, termasuk pasien Covid-19. Tapi, tolong bekali kami dengan alat pengaman diri. Tak mungkin kami menghadapi virus ini dengan mantel hujan,” kata Tri Maharini, dokter spesialis emergensi, pengurus Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia.
Tri bekerja sebagai Kepala Departemen Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daha Husada Kediri, Jawa Timur. ”Sebagai dokter emergensi, kami biasa melihat kematian. Namun, kali ini kami jerih melihat banyak teman sesama dokter yang meninggal karena Covid-19,” tuturnya.
Baca juga Layanan Medis Terancam Tak Cukup
”Tenaga medis dikorbankan. Banyak dokter meninggal,” ucap dokter spesialis paru Handoko Gunawan, yang merawat sejumlah pasien Covid-19 di Rumah Sakit Graha Kedoya, Jakata Barat. Dokter yang hampir berusia 80 tahun ini sempat dirawat di ruang isolasi RS Umum Pusat Persahabatan karena tertular penyakit itu. Ia dinyatakan sembuh pekan lalu.
Sebagai dokter emergensi, kami biasa melihat kematian. Namun, kali ini kami jerih melihat banyak teman sesama dokter yang meninggal karena Covid-19.
Dalam perbincangan melalui telepon, ia menuturkan harus berjibaku melawan virus yang menyerang pasiennya. ”Seperti berperang namun tidak diberikan senjata lengkap. Jika seharusnya tiap dokter dipersenjatai dengan alat pelindung diri (APD) lengkap, kali ini persediaan amat terbatas,” ujarnya.
Bahkan, sejumlah perawat hanya dibekali dengan jas hujan plastik seperti yang dialami Tary, perawat di RS Umum Daerah Lanto Daeng Pasewang, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Selain hanya dibekali jas hujan plastik sebagai baju pelindung, ia dan perawat lain hanya diberikan satu masker untuk digunakan dalam sehari.
”Dari pagi sampai siang, kami pakai jas hujan itu karena tidak ada baju yang sesuai. Berasa di sauna kami pakai itu. Bagaimana lagi, yang kami hadapi ialah pasien dalam pengawasan Covid-19,” ujarnya.
Beberapa kisah ini sebagian kecil dari perjuangan tenaga medis yang merawat pasien Covid-19 di Tanah Air. Tidak sedikit nyawa tenaga medis yang bertugas menjadi korban. Padahal, perlawanan terhadap virus ini masih berlanjut dan belum tahu kapan akan usai.
Jumlah pasien di Indonesia yang positif terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, terus bertambah. Pada 3 April 2020, kasus positif Covid-19 di Indonesia 1.986 orang. Dari jumlah itu, 181 pasien meninggal.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, setidaknya 13 dokter meninggal karena Covid-19. Mereka yang jasanya patut dikenang antara lain Profesor Iwan Dwiprahasto, Profesor Bambang Sutrisna, dokter Yuniarto Budi Santosa, dokter Hadio Ali, dokter Djoko Judodjoko, dan dokter Laurentius Panggabean.
Standar tidak jelas
Minimnya APD menjadi penyebab utama banyaknya korban jiwa di kalangan tenaga medis. Standar penanganan juga tidak jelas. ”Para medis tidak disiapkan dengan baik menghadapi wabah ini dan protokol tidak operasional di lapangan. Kami tidak tahu, pasien yang datang dengan sakit lain membawa virus korona,” kata Tri.
Hingga akhir Februari 2020, Kementerian Kesehatan bersikukuh Covid-19 belum masuk Indonesia karena hasil tes negatif. Padahal, sejak awal Februari 2020, banyak ahli epidemiologi dan biostatistik mengingatkan virus korona baru ini kemungkinan beredar di Indonesia tanpa terdeteksi.
Menurut kajian Iwan Ariwan bersama ahli epidemiologi dan biostatistik Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia lainnya, Pandu Riono, Muhammad N Farid, dan Hafizah Jusril, kasus Covid-19 di Indonesia seharusnya mencapai 3.500 kasus awal Maret 2020, saat Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus pertama di Depok.
Pandu memaparkan, banyaknya yang dokter terinfeksi karena keterlambatan mendeteksi Covid-19 di masyarakat. Akibatnya, banyak dokter tak menduga pasien yang mereka tangani terinfeksi Covid-19. Ini, misalnya, menimpa Bambang Sutrisna, Guru Besar FKM UI. Bambang diduga tertular pasien dengan gejala korona.
Baca juga Indonesia Darurat Kesehatan
”Kami menyelidiki, hampir semua dokter yang terinfeksi karena tak memakai APD layak, saat menangani pasien korona,” kata Tri. Contohnya, dokter spesialis saraf Hadio Ali tertular saat menangani pasien tanpa APD standar. Ternyata pasien itu positif Covid-19.
Belajar dari banyaknya tenaga medis yang jadi korban, para dokter kini menyusun prosedur penanganan pasien. ”Minggu lalu ada pertemuan webinar di kalangan medis. Kami sepakat semua tenaga medis yang bertugas memakai APD standar,” ujarnya.
Masalahnya hampir semua rumah sakit kesulitan APD. Banyak RS dan dokter menggalang bantuan untuk mendapat APD. ”Bahkan saya membuat masker kain sendiri, sudah ribuan kami bagi ke teman-teman. Memang belum standar, tetapi daripada tidak ada,” kata Tri.
Epidemiolog Indonesia, Dicky Budiman, mengatakan, untuk melindungi tenaga medis, harus ada aturan lebih ketat agar orang dengan gejala korona tidak langsung ke rumah sakit. Harus ada layanan telepon dan jemputan ambulans dengan petugas dilengkapi APD. ”Jika orang dengan gejala korona datang sendiri ke rumah sakit, kemungkinan menularkan ke orang lain amat besar,” ucapnya.
Ketika jumlah pasien terus bertambah, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar IDI Mohammad Adib Khumaidi menyampaikan, APD bagi petugas medis terbatas. APD ini sangat diperlukan bagi tenaga medis untuk memutus rantai infeksi di fasilitas kesehatan.
Menurut dia, APD tak cukup masker saja. Masker pun harus jenis N95. Pemerintah harus bergerak cepat menyediakan kebutuhan yang kini mendesak. Pemberian APD ini juga harusnya tak hanya di rumah sakit rujukan, tapi juga fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas yang paling awal menerima pasien dengan dugaan Covid-19.
”Mekanisme layanan juga harus diatur dengan baik. Potensi kontak (dengan pasien terinfeksi) tinggi. Artinya perlu pengaturan jam pelayanan. Pastikan ada jeda untuk istirahat, termasuk perlakuan isolasi mandiri. Ini memberi konsekuensi penambahan sumber daya manusia,” kata Adib.
Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menuturkan, pada 2 April 2020 pemerintah menerima 441.725 APD, 3.000 kacamata pelindung, 846.334 masker biasa, 17.000 masker N95, dan 250.000 alat tes cepat massal. Dari jumlah itu telah didistribusikan 351.250 APD, 600 kacamata pelindung, 2.000 masker biasa, dan 110.800 alat tes cepat.
”Jumlah itu saat ini mungkin cukup, tetapi jelas jika melihat kebutuhan bisa saja beberapa hari lagi ketersediaannya kembali terbatas. Ada 28 industri dalam negeri yang memproduksi APD, tapi bahan baku harus diimpor,” katanya.
Memutus siklus penularan
Jika kita tak memutus siklus penularan Covid-19, rumah sakit tak akan mampu menampung pasien. ”Dengan situasi saat ini, semua rumah sakit di Jakarta tak akan mampu menampung pasien korona pertengahan April ini,” kata Dicky.
Kapasitas ruang rawat pasien korona amat terbatas. Banyak pasien ditolak rumah sakit rujukan, termasuk dokter. ”Dokter Bayu (Bartholomeus Bayu Satrio Kukuh Wibowo) meninggal pada 26 Maret 2020, setelah ditolak sejumlah rumah sakit rujukan,” kata Tri.
Bayu mengalami demam pada 18 Maret 2020 saat bertugas di Klinik 24 Jam di Bekasi. Lalu ia diperiksa di RS Citra Harapan Indah, Bekasi, dan dari hasil rontgen dia diduga korona. Awalnya dia mengisolasi mandiri, tapi karena sakitnya kian parah, Bayu dibawa ke RS Persahabatan, RS Sulianti Saroso, dan RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, tetapi ditolak karena penuh. Wisma Atlet didatanginya, tapi tak ada ventilator.
”Akhirnya dia dibawa ke RSUD Bekasi, tapi akhirnya meninggal. Jadi, dokter juga ditolak di rumah sakit rujukan karena kapasitas terbatas. Ini tragedi,” kata Tri.