Pemerintah Berharap Tak Ada PHK di Perusahaan Tambang
Sektor tambang di Indonesia turut menanggung dampak akibat pandemi Covid-19. Pemerintah berharap perusahaan tambang di Indonesia tidak menerapkan kebijakan pemutusan hubungan kerja.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berharap perusahaan tambang di Indonesia tidak menerapkan kebijakan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan. Disukai atau tidak, dunia usaha sektor tambang turut terdampak pandemi Covid-19 yang juga melanda Indonesia dan berbagai negara di dunia.
Harapan itu disampaikan Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Pertambangan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sri Rahardjo dalam diskusi secara daring bertema dampak Covid-19 terhadap operasi pertambangan, Rabu (8/4/2020), di Jakarta.
Narasumber lainnya adalah Presiden Direktur PT J Resources Asia Pasifik Tbk Edi Permadi, Kepala Tekni Tambang PT Arutmin Indonesia Ahmad Juaeni, dan Kepala Teknik Tambang PT Nusa Halmahera Minerals Amiruddin Hasyim.
Menurut Sri Rahardjo, kegiatan pertambangan adalah salah satu kegiatan yang dikecualikan dalam kebijakan peliburan tempat kerja berdasar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar. Oleh karena itu, kegiatan pertambangan diharapkan tetap beroperasi dengan baik sembari menerapkan standar operasi dalam menghadapi pandemi Covid-19.
”Apabila terjadi penurunan produksi, sebisa mungkin hindari PHK (pemutusan hubungan kerja). Apabila terpaksa, pemerintah meminta karyawan diberikan kompensasi sesuai aturan yang ada,” ujarnya.
Tahun ini, target penerimaan negara bukan pajak di sektor tambang mineral dan batubara sebesar Rp 44 triliun.
Apabila pandemi Covid-19 berkepanjangan tanpa ada kejelasan kapan selesainya, dampak yang lebih signifikan tidak menutup kemungkinan terjadi.
Ahmad Juaeni mengakui, baru kali ini sektor tambang menghadapi masalah, terimbas penyebaran pandemi Covid-19. Situasi ini secara langsung dan tidak langsung turut mengganggu operasi tambang di lapangan. Salah satu contohnya adalah pergerakan alat operasi tambang ataupun perekrutan tenaga kerja baru.
”Pemerintah daerah mengimbau agar tidak ada kerumunan massa. Oleh karena itu, perusahaan menunda proses perekrutan tenaga kerja baru demi menghindari potensi kerumunan massa tersebut,” ucap Ahmad.
Sejauh ini, lanjut Ahmad, dampak pandemi Covid-19 belum terlalu signifikan di lapangan. Namun, apabila pandemi Covid-19 berkepanjangan tanpa ada kejelasan kapan selesainya, dampak yang lebih signifikan kemungkinan bisa terjadi. Namun, ia tak menjelaskan seperti apa dampak yang lebih signifikan tersebut.
Edi Permadi berpendapat senada. Menurut dia, pandemi Covid-19 telah menimbulkan kebiasaan baru di lingkungan operasional pertambangan. Beberapa contohnya adalah penyemprotan desinfektan pada semua alat operasi pertambangan sebelum atau sesudah digunakan.
Pekerja juga diwajibkan menjaga jarak selama di lapangan, termasuk pemeriksaan kesehatan rutin, serta peniadaan aktivitas ibadah bersama. Sementara hambatan teknis di lapangan adalah tersendatnya aliran logistik untuk kebutuhan operasional tambang.
”Perlu komunikasi yang padu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai hal ini. Sebab, seperti yang diumumkan pemerintah, sektor tambang mendapat pengecualian peliburan kerja,” kata Edi.
Hambatan teknis di lapangan adalah tersendatnya aliran logistik untuk kebutuhan operasional tambang.
Sebelumnya, dampak pandemi Covid-19 juga menerpa harga batubara Indonesia. Harga batubara acuan untuk April 2020 ditetapkan sebesar 65,77 dollar AS per ton atau turun dibandingkan dengan periode Maret lalu yang sebesar 67,08 dollar AS per ton. Kondisi ini kian memperlesu bisnis batubara yang masih terganjal aturan kewajiban penggunaan kapal angkutan nasional.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengemukakan, penurunan harga ini akibat konsumsi listrik di banyak negara berkurang. Di sisi lain, pasokan batubara melimpah. Kondisi tersebut menyebabkan harga batubara sedikit terkoreksi.
”Kebijakan bekerja dari rumah yang diterapkan di sejumlah negara menyebabkan konsumsi listrik (untuk keperluan perusahaan dan industri) menurun. Akibatnya, permintaan pun berkurang. Di saat yang sama, pasokan batubara dunia sedang melimpah,” ujar Agung.