Dimensi sosial dan ekonomi boleh saja tersendat, tetapi roda pemerintahan harus lancar. Negara harus hadir dan terselenggara. Begitulah saat pembatasan sosial pandemi Covid-19, penyelenggara negara bekerja di rumah.
Oleh
BOW/PDS/NAD
·6 menit baca
Pembatasan sosial yang diterapkan akibat pandemi Covid-19 mengharuskan roda pemerintahan tetap harus terselenggara dengan baik dan optimal. Bekerja dari rumah pun tak terelakkan meskipun terusik ocehan sang cucu.
Dimensi sosial dan ekonomi boleh saja tersendat, tetapi roda pemerintahan harus tetap berjalan lancar. Negara harus hadir dan terselenggara dengan baik. Begitulah pada masa pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di tengah pandemi Covid-19, para pejabat di jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif tetap harus menjalankan tugasnya seoptimal mungkin. Inilah periode kerja dari rumah (WFH) untuk menentukan masa datang sembari ditemani, mulai dari internet, dokumen, buku, cemilan, hingga ocehan sang cucu.
Menteri Sekretariat Negara Pratikno, yang sehari-hari menghabiskan waktunya, selain video konferensi dengan Presiden Joko Widodo, para menteri, dan stafnya, serta bergumul dengan setumpuk dokumen, juga dengan anak menantu dan ocehan sang cucu, Irene.
”Ada kalanya ngantor juga karena di Setneg perlu dukungan administratif meski cuma ada beberapa staf. Selebihnya kerja di rumah, ngemil, main sama Irene,” ujar Pratikno terkekeh.
Namun, sembari kerja dari rumah, kepedulian sosial terhadap warga terimbas pandemi Covid-19 tak terlupakan. ”Diawali Presiden, kami, para menteri dan pejabat, juga membangun kepedulian dan solidaritas dengan memberi contoh berbagai bantuan secara personal selain kelembagaan, misalnya warga perkampungan di sekitar kompleks dan mereka yang tak tercatat di program bantuan,” kata Pratikno kemarin sore.
Menteri Sosial Juliari Batubara juga jadi terbiasa kerja dari rumah sembari memantau bantuan sosial secara nasional. Jadwal sehari-harinya dipenuhi rapat, mulai dari Presiden, sejawat menteri, hingga pihak terkait. Semua secara virtual atau telekonferensi.
Selain melapor dan menerima pengarahan, Juliari harus memastikan ritme kerja staf di instansinya berjalan lancar dari rumah. Untuk itu, setidaknya dua kali sehari Juliari rapat dengan berbagai unit di kantornya. Bahkan, khusus untuk unit-unit kerja yang sibuk, telekonferensi lebih dari tiga kali. ”Kalau harus diawasi semuanya tak mungkin,” ujar Juliari.
Saat bekerja dari rumah, Juliari terbatas berinteraksi dengan stafnya. Suasana formal yang biasa dengan jas pun ditanggalkan. Ia cukup memakai kemeja. ”Bisa pakai sandal,” ujar Juliari.
Memang, bekerja di rumah seharusnya tak kenal bosan sebab istri dan anak-anak sesekali menemani. Hanya saja, tantangan kerja, tambah Juliari, tangan tak berhenti karena ngemil. Tak ayal, berat badan pun naik.
Cerita sedikit berbeda dituturkan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate. Johnny menyulap rumahnya yang tak jauh dari kantornya menjadi kantor sementara. Peralatan telekonferensi pun tersedia lengkap. Untuk menjaga pelayanan ke publik, setiap hari Johnny memastikan ketersediaan dan keandalan jaringan pita lebar, fixed dan mobile, tetap berfungsi.
”Oleh karena itu, perlu komunikasi intens dengan operator seluler, yang membawahi network operation center di Indonesia. Harapannya, peningkatan trafik data dan suara terlayani baik,” ucap Johnny.
Untuk mengisi kebosanan, Johnny memilih berenang untuk menjaga kebugaran sambil bermain dengan cucu di kolam atau halaman.
Sementara internet mendukung kerja dari rumah, pasokan pangan pun harus selalu tersedia 24 jam. Hal itulah yang menjadi tanggung jawab Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo setiap hari selama hampir tiga minggu terakhir bekerja dari rumah.
”Dalam kondisi apa pun, di mana pun, kapan pun, dan dengan cara apa pun, kami harus tetap kerja, menyusun program dan kebijakan, memberi akses, tak hanya ketersediaan pangan, tetapi juga memberi semangat dan memastikan kondisi kesehatan para pelaku pertanian dapat berproduksi,” ujar Syahrul.
Meskipun rapat koordinasi dilakukan secara virtual, beberapa kali Syahrul harus tetap turun ke lapangan. Misalnya, Rabu (8/4) lalu, dia mengunjungi pabrik gula di Cilegon, Banten, mengecek stok gula. Ia ingat, Presiden selalu wanti-wanti agar data divalidasi di lapangan. Terlebih untuk bahan pangan krusial: beras dan gula.
Pengawasan tetap jalan
Senada dengan eksekutif, anggota legislatif pun melakukan hal yang hampir sama. Bagi Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily, tak bisa keluar rumah bukan berarti bermalas-malasan. Sejak diumumkan ada warga Depok yang positif terinfeksi Covid-19, ia sudah bekerja dari rumah. ”Hampir sebulan saya tinggal di rumah. Hanya satu kali keluar, yaitu saat rapat pimpinan Komisi VIII DPR dengan Ketua Gugus Tugas Covid-19,” ujar Ace.
Selama di rumah, Ace tetap ikut rapat DPR ataupun rapat dengan stafnya secara virtual, apalagi saat ini komisinya mitra Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Kementerian Sosial. Meski demikian, ia pun tetap meladeni wawancara pers lewat pesan singkat ataupun siaran di televisi dengan aplikasi Skype. Sebagai pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah, Ace tetap mengajar secara virtual.
”Hampir sebulan saya tinggal di rumah. Hanya satu kali keluar, yaitu saat rapat pimpinan Komisi VIII DPR dengan Ketua Gugus Tugas Covid-19”
Menurut Ace, tak semua pekerjaan dapat optimal di rumah. Fungsi pengawasan sebagai anggota DPR tetap mengharuskannya turun lapangan. Apalagi, ada dua anggota dan staf DPR yang meninggal dan diduga Covid-19.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dan anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengungkapkan, sejak DPR memasuki masa sidang pada akhir minggu ketiga Maret, berbagai rapat internal dan rapat kerja, termasuk persiapan pembahasan rancangan undang-undang, menanti, tetapi semua secara virtual.
Meskipun terdapat keterbatasan, rapat secara virtual punya nilai positif, seperti tepat waktu. Menurut Arsul, peserta yang hadir justru lebih banyak dari biasanya karena anggota di luar Jakarta pun bisa bergabung.
Kini, dengan WFH, Arsul mengaku semakin dekat keluarga. ”Kami bisa bercerita satu sama lain yang selama ini jarang terjadi. Bisa khusyuk beribadah dan mengurus taman,” kata Arsul lagi.
Waktu lebih banyak
Demikian pula di lingkungan yudikatif. Bagi Hakim Agung Syamsul Ma’arif, bekerja dari rumah membuatnya lebih efektif memanfaatkan waktu. Perjalanan pergi dan pulang kerja yang selama ini butuh waktu lebih dari 3 jam dan menyita waktu dan energi kini tak ada. ”Kerja dari rumah, tak perlu buang waktu. Ini waktu yang bisa dimanfaatkan,” kata Syamsul.
Kini, dengan bekerja dari rumah, dari pagi ke siang atau sore hari, Syamsul bisa mempelajari berkas perkara dengan tenang. Jika ada jadwal sidang, ia bisa ikuti sidang daring.
”Kalau biasanya, sore dan malam tinggal tenaga sisa, tetapi saat WFH ini, jam 10 atau jam 11 malam, tubuh masih segar”
Sebagai Hakim Agung, Syamsul memang tak terbiasa menerima tamu. Pada sore dan malam hari, Syamsul memiliki waktu lebih banyak baca buku referensi untuk tugasnya sehari-hari dan bahan mengajar. ”Kalau biasanya, sore dan malam tinggal tenaga sisa, tetapi saat WFH ini, jam 10 atau jam 11 malam, tubuh masih segar,” ujar Syamsul.
Meski demikian, Syamsul mengakui, ketika bekerja dari rumah, sesekali anggota keluarganya datang ke ruang kerjanya. Namun, itu bukan soal karena mereka memahami dinamika kerja sebagai hakim.
Apa pun, pandemi Covid-19 tak hanya memaksa para penyelenggara negara bekerja dari rumah agar negara tetap terselenggara, tetapi juga agar kehidupan tetap terjaga. Meski ruang gerak terbatas, teknologi memampukan mereka tetap produktif menjalankan tugas seraya mendekatkan diri dengan keluarga. Inilah masa datang pasca-pandemi Covid-19 yang ditentukan para penyelenggara negara.