Presiden, Menteri, Pejabat Eselon I dan II Tak Dapat THR
Presiden, menteri, serta pejabat eselon I dan II tidak mendapat THR tahun ini. Sementara itu, aparatur sipil negara dan TNI/Polri eselon III ke bawah serta pensiunan tetap mendapatkan tunjangan hari raya.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi juga menyebabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 mengalami definsit, bahkan diperkirakan mencapai 5 persen. Pemangkasan dilakukan untuk tunjangan hari raya bagi Presiden, menteri, serta pejabat eselon I dan II.
Sementara itu, aparatur sipil negara dan TNI/Polri eselon III ke bawah serta pensiunan tetap mendapatkan tunjangan hari raya (THR). Keputusan pemangkasan THR untuk para pejabat tersebut diambil dalam sidang kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin melalui telekonferensi, Selasa (14/4/2020).
”Bapak Presiden sudah memutuskan, THR akan dibayarkan untuk seluruh ASN dan TNI/Polri yang posisinya eselon III ke bawah. Jadi, seluruh pelaksana dan seluruh eselon III ke bawah mendapatkan THR dari gaji pokok dan tunjangan melekat, tidak dari tukin (tunjangan kinerja),” tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai sidang kabinet dalam keterangan pers dalam jaringan.
Sri Mulyani menambahkan, pensiunan ASN dan TNI/Polri juga tetap mendapatkan THR seperti tahun lalu. Pensiunan dinilai sebagai kelompok yang mungkin rentan. Sebaliknya, pejabat-pejabat negara serta pejabat eselon I dan II tidak akan mendapatkan THR tahun 2020. Pejabat-pejabat negara itu antara lain Presiden, Wakil Presiden, para menteri, DPR, MPR, DPD, dan kepala daerah.
APBN 2020, kata Sri Mulyani, akan menanggung beban luar biasa. Hampir seluruh sektor ekonomi terdampak pelemahan akibat wabah Covid-19. Penerimaan negara juga akan menurun. Diperkirakan, penurunan ini berkisar 10 persen dari prediksi awal karena pemerintah memberikan berbagai insentif perpajakan dan terjadi perlambatan aktivitas ekonomi.
Sebaliknya, belanja APBN 2020 akan meningkat sekitar 3 persen dari rencana awal. ”Ini yang sedang kita jaga melalui berbagai langkah refocusing anggaran serta penyesuaian yang diinstruksikan Bapak Presiden,” ujarnya.
Dengan tekanan pada penerimaan dan belanja tersebut, diperkirakan defisit APBN 2020 bisa mencapai sekitar 5 persen.
Dengan tekanan pada penerimaan dan belanja tersebut, diperkirakan defisit APBN 2020 bisa mencapai sekitar 5 persen. Presiden Joko Widodo juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Perppu itu membuka peluang defisit APBN melampaui 3 persen selama masa penanganan Covid-19, paling lama sampai berakhirnya tahun anggaran 2022. Menurut Sri Mulyani, perppu ini memberikan landasan hukum bagi pemerintah melakukan penyesuaian untuk menghadapi situasi luar biasa pandemi Covid-19.
”Termasuk penyesuaian batasan defisit, penggunaan sumber dana alternatif, penyesuaian mandatory spending, penerbitan surat berharga negara, dan pinjaman untuk defisit, insentif perpajakan untuk dunia usaha, dan mendesain program pemulihan ekonomi dalam situasi menghadapi Covid-19 dan pasca-Covid-19,” tutur Sri Mulyani menambahkan.
Dalam sidang kabinet paripurna itu, Presiden Jokowi kembali menegaskan agar semua kekuatan yang ada difokuskan pada penanganan Covid-19, baik di bidang kesehatan maupun untuk mengatasi dampak ekonominya. Karena itu, prioritas penggunaan APBN saat ini adalah penanganan dan pencegahan meluasnya penyebaran Covid-19, mempersiapkan jaring pengaman sosial, dan menyiapkan stimulus ekonomi bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah serta pelaku usaha. Presiden juga meminta agar semua waspada dengan dampak lanjutan dari Covid-19 di perekonomian tahun 2021.
”Hitung dengan cermat potensi, peluang, dan risiko yang ada, baik domestik maupun global. Kita harus tetap fokus pada misi besar kita, reformasi struktural yang harus tetap berjalan, reformasi untuk percepatan pemerataan pembangunan, reformasi regulasi birokrasi dalam peningkatan produktivitas, dan transformasi ekonomi. Itu misi besar kita,” tutur Presiden dalam pengantar sidang kabinetnya dari Istana Kepresidenan Bogor.
Karena itu, menurut Sri Mulyani, dalam kebijakan ekonomi makro dan pokok fiskal 2021 akan dilakukan langkah perbaikan fundamental ekonomi dan reformasi pemerataan pembangunan. Perbaikan kualitas SDM untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi, perbaikan regulasi dan birokrasi, pembangunan infrastruktur jangka menengah dan panjang untuk mendorong daya saing Indonesia, serta transformasi ekonomi tetap dilakukan. Semua itu tetap akan menjadi fokus meskipun sembari menghadapi krisis akibat Covid-19.
Presiden Joko Widodo juga meminta jajarannya untuk tetap berikhtiar dan bekerja keras dalam memulihkan kesehatan dan ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19. ”Kita harus menyiapkan diri dengan berbagai skenario. Tidak boleh pesimistis. Kita harus tetap berikhtiar dan bekerja keras dalam upaya pemulihan-pemulihan, baik pemulihan kesehatan maupun ekonomi. Kita bisa,” katanya.