Dana Bencana Covid-19 Rawan Dikorupsi
Dana penanganan Covid-19 senilai Rp 405 triliun yang dianggarkan rawan dikorupsi. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian perlu diterapkan dalam mengelola dana sehingga penumpang gelap yang mencari untung tak ikut masuk.
Prinsip kehati-hatian dan transparansi dalam pengelolaan dana penanganan Covid-19 perlu dikedepankan untuk menghindari korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Dana penanganan Covid-19 senilai Rp 405 triliun yang dianggarkan pemerintah rawan dikorupsi. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian perlu diterapkan dalam mengelola dana tersebut sehingga penumpang gelap yang hanya mencari keuntungan pribadi dapat dicegah.
Kemungkinan penyalahgunaan wewenang ataupun dana bantuan Covid-19 kian terbuka lebar karena Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 memberikan hak imunitas dari gugatan perdata dan tuntutan pidana bagi pihak-pihak yang melaksanakan perppu.
Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu II Dipo Alam, dalam diskusi bertajuk ”Waspada Moral Hazard KPK Belum Mati, Kawal Rp 405 Triliun Dana Korona”, Rabu (15/4/2020), mengingatkan, Perppu No 1/2020 memudahkan seseorang untuk menyalahgunakan kekuasaannya.
Baca juga: Perppu Realokasi APBN 2020 Diterbitkan
Sependapat dengan Dipo, Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Didik J Rachbini mengatakan, perppu itu memungkinkan adanya penumpang gelap yang mencoba mencari keuntungan sendiri. Dengan adanya pasal proteksi dari gugatan perdata dan pidana, pemerintah dapat dengan mudah melakukan penyelewengan karena tak bisa dituntut.
Perppu itu memungkinkan adanya penumpang gelap yang mencoba mencari keuntungan sendiri. Dengan adanya pasal proteksi dari gugatan perdata dan pidana, pemerintah dapat dengan mudah melakukan penyelewengan karena tak bisa dituntut.
Alhasil, kasus pelanggaran yang dilakukan Staf Khusus Presiden Andi Taufan Garuda Putra bisa terjadi. Menurut Didik, Andi dengan mudah menggunakan kekuasaannya untuk mencari keuntungan pribadi. Ia mengirimkan surat berkop Sekretariat Kabinet kepada camat seluruh Indonesia agar bisa membantu perusahaannya.
Staf khusus milenial Presiden Joko Widodo itu telah meminta maaf terkait dengan keberadaan surat tersebut. Surat itu merupakan permohonan agar para camat mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri demi melawan Covid-19 yang dilakukan perusahaan pribadi Andi, yaitu PT Amartha Mikro Fintek. Selain memohon maaf, Andi juga telah menarik kembali surat itu.
Tak hanya Andi, sebagian kalangan juga menyoroti penunjukan perusahaan milik stafsus presiden yang menjadi salah satu mitra pelatihan daring beranggarkan Rp 5,6 triliun, dari total anggaran RP 20 triliun, dalam program Kartu Prakerja. Ada delapan perusahaan aplikator yang ditunjuk pemerintah menjadi mitra sehingga setiap perusahaan berpotensi meraup uang dari program tersebut Rp 700 miliar.
Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Rachland Nashidik, yang juga politisi Partai Demokrat, mengatakan, penunjukan perusahaan stafsus itu hanya merupakan bukti bahwa pemerintah sangat percaya diri kekuasaannya mengatasi hukum. Tidak ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses itu. Uang negara digelontorkan kepada pihak-pihak hanya berdasarkan kedekatan kekuasaan. Rasa percaya diri itu, menurut dia, bisa bersumber pada pasal ”kekebalan hukum” dalam Perppu No 1/2020.
Menurut Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Prakerja Panji Winanteya Ruky, pemerintah tidak melakukan penunjukan untuk platform digital yang akan bekerja dalam program Kartu Prakerja. Kedelapan platform digital itu dapat bekerja sama dengan pemerintah karena memenuhi persyaratan sebagaimana disebut dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No 3/2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden No 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja.
”Tidak ada penunjukan dan pengarahan. Platform itu harus bersaing untuk dapat melayani masyarakat dan mana pelatihan yang dapat membantu masyarakat,” kata Panji.
Secara terpisah, Staf Khusus Presiden, yang juga pendiri Ruangguru, Adamas Belva Syah Devara, menegaskan, dirinya tidak ikut dalam pengambilan keputusan apa pun dalam program Prakerja, termasuk penganggaran dan mekanisme penentuan mitra kerja. Semua itu dilakukan Kemenko Perekonomian dan Manajemen Pelaksana (PMO).
”Dapat dicek di semua daftar kehadiran rapat mengenai Prakerja bersama Kemenko dan PMO, saya tidak pernah hadir,” kata Belva.
Menurut Belva, mitra kerja resmi pemerintah dalam Kartu Prakerja mengikuti proses seleksi sejak akhir 2019. Program Skill Academy sudah didirikan sejak tahun lalu dan merupakan ekstensifikasi dari produk Ruangguru. Sejauh ini, program itu sudah berjalan dengan lebih dari 1 juta pengguna. Dengan demikian, menurut Belva, wajar jika Ruangguru terpilih menjadi salah satu mitra.
Saat ini, Belva mengaku sedang mengonfirmasi kepada pihak Istana Kepresidenan tentang adanya kemungkinan konflik kepentingan dirinya sebagaimana ditanyakan sejumlah pihak. Jika ada, Belva mengaku siap mundur dari posisi staf khusus presiden secepatnya.
Transparan
Belva mengaku sedang mengonfirmasi kepada pihak Istana Kepresidenan tentang adanya kemungkinan konflik kepentingan dirinya sebagaimana ditanyakan sejumlah pihak. Jika ada, Belva mengaku siap mundur dari posisi staf khusus presiden secepatnya.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan institusi pemerintah lainnya untuk transparan dalam mengelola dana bantuan. Transparansi tersebut diwujudkan dengan mengadministrasikan serta memublikasikan segala bentuk sumbangan dan bantuan yang diterima terkait penanggulangan Covid-19.
Baca juga: Ekonomi Terdampak Covid-19, DPR Usulkan Presiden Terbitkan Perppu
”Instansi dapat memanfaatkan situs resmi untuk memublikasikan penerimaan dan penggunaan bantuan yang diterima. Melalui situs itu, instansi juga disarankan melakukan pemutakhiran data setiap hari sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah,” kata Ketua KPK Firli Bahuri.
Anjuran itu tertuang dalam surat resmi KPK tertanggal 14 April 2020 yang telah dikirimkan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di tingkat nasional ataupun daerah dan juga kepada pimpinan kementerian, lembaga, pemda, dan instansi terkait lain. Firli menjelaskan, surat itu untuk menjawab keraguan sejumlah instansi akan adanya potensi gratifikasi atas penerimaan sumbangan dari masyarakat.