Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah cemas tidak dapat melanjutkan usaha karena terus merugi. Pemerintah diharapkan juga memberikan bantuan sosial kepada pelaku UMKM yang tak lagi bisa berusaha.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
Krisis ekonomi akibat pandemi coronavirus disease atau Covid-19 kian dirasakan oleh para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Mereka yang mengandalkan pendapatan harian dari hasil usahanya kini semakin sulit bertahan, sebagian bahkan berhenti beroperasi.
Terlebih bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memiliki cicilan utang ke bank untuk modal usaha. Untuk membantu meringankan beban mereka, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease.
Data OJK, hingga 13 April 2020, jumlah debitor perbankan yang kreditnya telah direstrukturisasi akibat terdampak Covid-19 sebanyak 262.966 debitor. Adapun jumlah debitor yang disetujui untuk dilakukan restrukturisasi oleh perusahaan pembiayaan 65.363 debitor.
Para debitor yang mendapatkan penundaan pembayaran utang selama minimal enam bulan merupakan pelaku UMKM yang memiliki nilai usaha di bawah Rp 10 miliar. Namun, masih ada pelaku UMKM yang belum paham terkait dengan POJK yang sudah keluar sejak akhir Maret 2020.
Muhdi Haruman (39), pemilik warung makan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menyampaikan, selama sudah hampir tujuh tahun berjualan, baru kali ini ia tak mampu lagi memutar modal usaha. Wajar saja, pendapatan hariannya merosot dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 100.000, bahkan kadang tidak ada pemasukan.
”Berjualan sekarang rasanya seperti buang-buang modal, malah harus nombok. Saya juga terpaksa memberhentikan satu dari tiga karyawan karena tidak sanggup lagi untuk menggajinya,” kata Muhdi saat dihubungi Kompas, Kamis (16/4/2020).
Sebagai pelaku UMKM yang terhubung dengan fasilitas dari PD Pasar Jaya, yaitu layanan belanja dari rumah, kata Mahdi, pesanan tetap tidak ada. Warung yang awalnya buka selama tujuh jam hingga pukul 22.00, kini pukul 18.00 pun sudah tutup karena tidak ada pembeli.
Belum lagi, ia baru saja menjadi debitor mikro di salah satu bank pelat merah dengan pinjaman Rp 10 juta yang akan diangsur selama tiga tahun. Biaya cicilan per bulan Rp 300.000 rasanya tidak sanggup ia penuhi lagi karena pendapatan harian habis untuk modal, gaji karyawan, dan kebutuhan hidup.
”Saya bingung bagaimana caranya mengajukan penundaan kredit, takut enggak diterima juga karena baru bulan kemarin saya mendapatkan pinjaman tersebut. Saya juga sebenarnya enggak tahu bisa tetap berjualan atau lebih baik tutup karena selalu merugi,” kata Muhdi.
Pengalaman serupa juga dialami Rina (44), pemilik Rumah Makan Padang Putri Bungsu di Pasar Bata Putih, Jakarta Selatan. Omzet dari usaha warung makan berkurang hingga 90 persen, dari yang biasanya Rp 5 juta per hari.
”Sudah sebulan ini pendapatan harian paling hanya Rp 300.000, bahkan Senin (13/4/2020) sempat hanya Rp 100.000. Bagaimana saya bisa mempertahankan usaha kalau setiap hari harus nombok,” kata Rina.
Berkurangnya pendapatan harian membuat ia cemas tidak dapat membayar cicilan ke bank dengan angsuran Rp 2,3 juta per bulan selama dua tahun. Ia mengaku belum ada uang untuk membayar cicilan kelima yang jatuh tempo pada 22 April.
”Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, menjelang bulan Ramadhan, biasanya sudah banyak permintaan nasi kotak untuk dibagikan ke masjid. Sekarang, (pesanan) sama sekali tidak ada,” ucap Rina.
Rina pun belum mengajukan permohonan untuk restrukturisasi kredit sebagai usaha yang terdampak Covid-19. ”Saya belum tahu cara daftarnya. Kalau memang bisa, saya mau mengajukan. Semoga setelah Lebaran keadaan (usaha) bisa kembali normal, jadi bisa bayar utang,” katanya.
Perlindungan UMKM
Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki, Rabu (15/4/2020), menyampaikan, pemerintah akan berupaya untuk melindungi UMKM yang terdampak Covid-19. Perlindungan tersebut berbentuk dua skema, yaitu melalui mekanisme ekonomi dan bantuan sosial.
Mekanisme ekonomi ditujukan bagi pelaku usaha yang masih bisa bertahan. Sementara mekanisme bantuan sosial (bansos) ditujukan untuk mereka yang terimbas, terutama di sektor mikro dan ultramikro, yaitu mereka yang tidak bisa lagi berjualan.
”Mereka sudah betul-betul harus segera ditolong. Tidak bisa lewat mekanisme ekonomi,” ujar Teten.
Untuk menangani dampak penyebaran Covid-19, Kementerian Keuangan pun sudah merealokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp 405,1 triliun. Dalam anggaran tersebut, terdapat alokasi untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebesar Rp 110 triliun.
Secara terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri menilai, pandemi Covid-19 memang telah memukul dunia usaha. Melemahnya permintaan pasar tentu akan menyulitkan dunia usaha, sekalipun diberikan stimulus dari pemerintah.
Selain restrukturisasi kredit untuk mengurangi beban pengeluaran pelaku UMKM, pemerintah juga harus benar-benar menjamin bansos diberikan kepada mereka yang membutuhkan. ”Yang terpenting sekarang adalah individunya dapat bertahan, bukan usahanya semata,” ucap Yose.
Persyaratan untuk memperoleh bansos, kata Yose, juga perlu dilonggarkan sesuai dengan kondisi terkini. Sebab, mereka yang mengandalkan pendapatan harian dan saat ini kesulitan secara keuangan rentan untuk masuk dalam kategori masyarakat miskin.
Usaha merugi, tentu tidak ada yang mengharapkannya. Namun, setelah pandemi Covid-19 berakhir dan keadaan ekonomi kembali pulih, para pelaku UMKM diharapkan dapat bangkit kembali untuk memulai usaha.