Covid-19 Bikin Pasar Kopi Makin Sulit
Bulan Mei hingga September mendatang, sebagian besar kebun kopi Indonesia akan memasuki masa panen raya. Namun, pandemi Covid-19 mengharuskan kafe, kedai kopi, dan restoran tutup. Permintaan kopi pun makin sedikit.
Sejak bulan Maret kemarin, permintaan kopi arabika di Aceh dan Medan sudah mulai turun. Apalagi pada bulan April ini, sepi sekali.
”Belum pernah terjadi kondisi panen (seperti ini), tetapi pasarnya tidak ada. Mereka baru panen belasan persen, tetapi sudah kesulitan cashflow,” kata Wildan Mustofa, pemilik CV Frinsa, pelaku usaha kopi yang juga Dewan Pengurus Sustainable Coffee Platform Indonesia (SCOPI) dalam diskusi kopi virtual, 16 April 2020. Diskusi tersebut membahas topik ”Antisipasi Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Sektor Kopi di Indonesia”.
Kesulitan yang dialami petani kopi ini buntut dari pandemi Covid-19 yang mengakibatkan perekonomian tersendat. Kafe, kedai kopi, restoran, dan berbagai tempat nongkrong yang biasa menyajikan suguhan kopi dan menjadi pasar domestik bagi para petani, kini terpaksa tutup untuk memutus rantai penularan virus korona baru.
Penurunan serapan kopi di hilir ini membuat sebagian petani kopi pusing tujuh keliling. Maklum, konsumsi domestik per kapita untuk kopi saat ini sebesar 0,83 kilogram per tahun. Artinya, sekitar 260.000 ton kopi—angka ini setengah dari produksi kopi Indonesia—dikonsumsi orang Indonesia.
Namun, kopi yang dikonsumsi tersebut juga sebagian kecil berupa kopi impor yang juga kian menggerogoti produk petani lokal. Dari sisi daya saing, Wildan berharap ada keberpihakan pada produk dalam negeri dengan menyesuaikan pajak impor.
Kembali ke dampak pandemi bagi petani kopi, kata dia, petani saat ini memilih menyimpan hasil panen di gudang-gudang. Ini karena pengiriman juga terkendala kapal-kapal yang datang terlambat.
Ia berharap petani mendapatkan bantuan agar bisa memiliki cashflow untuk memanen kopi yang telah matang. Sebagian besar kebun kopi di Indonesia yang berada di selatan ekuator (kecuali Aceh dan Medan yang berada sedikit di atas ekuator) masuk masa panen pada bulan Mei-September. Indonesia yang saat ini hendak memasuki masa panen raya bersaing ketat dengan Brasil. Daerah di bagian utara jumlahnya lebih sedikit sekitar 20 persen dari penghasil kopi dunia, seperti Vietnam dan Etiopia, serta sebagian Amerika Latin masa panen pada Oktober-April.
Wildan mengatakan, pemasaran kopi untuk jenis commercial grade masih lebih baik karena masyarakat banyak yang bisa menikmati kopi jenis ini di rumah. Namun, untuk kopi speciality—yang biasa disajikan di kafe atau restoran—permintaannya sejak Maret turun 60 persen dan April tidak jalan karena pembatasan akses terkait Covid-19.
Terkait peluang membuka pasar penjualan kopi jenis speciality tersebut melalui market place atau belanja daring, menurut Wildan, hal tersebut berpotensi karena e-marketing sedang berkembang pesat. Hanya saja untuk saat ini, pangsa pasarnya jauh lebih kecil dibandingkan penjualan langsung ke jasa-jasa usaha kafe dan restoran.
Meskipun kesulitan di masa pandemi ini juga dialami negara lain, termasuk penurunan permintaan impor kopi dari Indonesia, ia berharap pemerintah mempermudah penjualan kopi ke luar negeri. Salah satunya dengan mengonsolidasikan ekspor ke tujuan negara yang sama guna menekan biaya logistik.
”Karena kopi kita itu sudah mahal,” kata Wildan. Kopi Indonesia mahal, antara lain, karena produktivitas yang masih rendah, sekitar 581 kilogram per hektar. Ini jauh di bawah Brasil yang sebanyak 1.905 kilogram per ha dan Vietnam 2,611 kilogram per ha.
”Akibatnya, kopi kita jadi mahal karena cost of production (biaya produksi) tinggi, jadi produk kita dikorbankan pertama kali kalau mahal. Blend (campuran kopi) dari Indonesia dikurangi contohnya,” tuturnya.
Riza Damanik, Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dalam diskusi tersebut menyatakan dampak pandemi pada sektor pertanian terkait langsung dengan usaha mikro kecil dan menengah, termasuk mata rantai kopi di Indonesia. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pemerintah melalui kementerian dan lembaga terus memperkuat skema dan program untuk membantu pelaku koperasi dan UMKM, termasuk komunitas kopi, dalam mengantisipasi dampak pandemi Covid-19.
”Selain anggaran untuk penanganan kesehatan, jaring pengaman sosial dan penyelamatan UMKM telah menjadi prioritas pemerintah,” ujarnya. Langkah tersebut, lanjut Riza, antara lain melalui relaksasi kredit usaha dan stimulus pinjaman bagi UMKM dan koperasi, pembebasan pajak UMKM, Kartu Prakerja, kartu sembako, bantuan tunai, dan stimulus daya beli produk UMKM.
Hal senada dipastikan Kasubdit Tanaman Penyegar, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro. Menurut dia, pihaknya mengeluarkan berbagai kebijakan, seperti keringanan kredit usaha dan menyiapkan pasar ekspor alternatif.
”Tahun ini, kredit usaha rakyat (KUR) pertanian disiapkan dengan bunga rendah, yakni 6 persen per tahun dan tanpa agunan untuk pinjaman maksimal Rp 50 juta,” kata Hendratmojo
Tahun 2020, imbuhnya, Ditjen Perkebunan ditarget realisasi KUR sebesar Rp 20,37 triliun dengan rincian di hulu Rp 19,76 triliun dan di hilir Rp 0,6 triliun. ”Untuk komoditas yang besar di sektor ekspor, seperti kopi, kami mengkaji alternatif pasar ke negara-negara, seperti Jerman, Perancis, Amerika Serikat, Argentina, Jepang, Korea Selatan, dan Afrika Selatan,” ujar Hendratmojo.
Belum tahu
Dalam diskusi tersebut, Direktur Eksekutif SCOPI Paramita Mentari Kesuma menjelaskan, survei singkat SCOPI kepada anggota SCOPI, Master Trainers (MT), dan petani kopi dampingan MT di 15 provinsi menunjukkan, para MT dan petani sudah mengetahui apa yang dimaksud pandemi Covid-19. ”Bisa dikatakan 90 persen dari responden sudah mengetahui tentang Covid-19. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka belum memperoleh informasi terkait langkah antisipasi, dukungan, atau bantuan, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, kepada koperasi atau petani kopi,” ungkap Mentari.
Dalam survei itu juga didapatkan jenis-jenis bantuan yang diharapkan para petani selama pandemi Covid-19. Pelaku UMKM, pelaku dalam supply-chain, dan eksportir mengharapkan adanya dukungan pemerintah berupa bantuan keuangan langsung (pendanaan), bantuan langsung tunai (BLT), biaya operasional, insentif pajak, serta membuka resi gudang yang bisa diakses petani, pelaku di dalam supply-chain, dan pegawai UMKM.
Wildan menambahkan, peristiwa seperti ini mengingatkan petani agar tidak hanya mengandalkan kopi dalam kehidupannya. Ia menyarankan agar petani kopi juga menerapkan prinsip tumpang sari, hortikultura, dan peternakan sebagai alternatif pendapatan dan sumber makanan langsung bagi keluarga.
Pada paparan Hendratmaja Bagus Hudoro dari Kementerian Pertanian, terdapat rancangan alokasi anggaran dampak Covid-19 pada pengembangan kopi di tahun 2020 seluas 7.700 ha. Anggaran senilai Rp 61,6 miliar tersebut digunakan untuk membuat sarana prasarana produksi sebesar Rp 4 juta per ha dan membayar harian orang kerja Rp 4 juta per ha.
Harapan kita semua pencinta dan penikmat kopi, seusai pandemi Covid-19 ini petani kopi tak lagi sulit dan bangkit.