Kelangkaan alat pelindung diri bagi tenaga medis masih terjadi. Pemerintah diminta menjamin ketersediaan alat pengaman diri yang sangat dibutuhkan tenaga kesehatan untuk berjuang melawan Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di balik sulitnya mendapatkan alat pengaman diri yang sesuai standar, masih banyak oknum yang bermain. Pemerintah diminta tegas bertindak untuk memberikan jaminan ketersediaan alat pengaman diri yang sangat dibutuhkan tenaga kesehatan untuk berjuang melawan Covid-19.
Sejumlah dokter dan perawat di berbagai rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat harus menggalang donasi alat pengaman diri (APD). Masker bedah mulai ada, tetapi harganya masih sangat mahal. Sementara masker N95 sangat langka sehingga banyak yang didaur ulang. Demikian halnya baju pelindung atau hazmad yang memenuhi standar juga terbatas.
”Alat pengaman diri masih menjadi kendala, terutama tenaga kesehatan yang berada di layanan kesehatan primer, seperti puskesmas, klinik, dan praktik pribadi. Mereka saat ini yang paling rentan karena menjadi pintu pertama berhadapan dengan masyarakat,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Abraham Andi Padlan Patarai di Jakarta, Minggu (19/4/2020).
Penuhnya rumah sakit rujukan membuat orang-orang dengan gejala Covid-19 saat ini datang ke berbagai layanan kesehatan primer ini, termasuk juga ke rumah sakit swasta.
Baca juga: Tenaga Kesehatan Berisiko Tinggi Terinfeksi Virus Korona Baru
Menurut Abraham, banyak kejadian orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang menyembunyikan statusnya. Bahkan, saat ini pemerintah menyarankan orang positif dengan gejala ringan untuk isolasi mandiri. ”Kalau mereka tak jujur saat berobat, tenaga kesehatan menjadi korban. Ini banyak terjadi,” katanya.
Dengan pertimbangan ini, para tenaga kesehatan di layanan primer, baik puskesmas maupun praktik pribadi, harus sudah menggunakan alat pengaman diri yang sesuai standar. ”Masker N95 harusnya sudah wajib disediakan buat mereka, selain juga pelindung mata. Namun, saat ini mencari masker N95 ini sangat sulit. Kalaupun barang ada, harganya sangat mahal, per lembar bisa Rp 100.000,” ungkapnya.
Sejumlah rumah sakit dan puskesmas juga terus membuka donasi APD. ”Di puskemas, kami hanya punya baju pelindung (hazmat) satu. Habis dipakai, dicuci, jemur lagi. Padahal, di tempat kami ada tiga PDP dan banyak ODP karena banyak orang dari kota pulang kampung. Kami mohon bantuan APD,” kata Rika, apoteker di Puskemas Cikalong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Di puskemas, kami hanya punya baju pelindung (hazmat) satu. Habis dipakai, dicuci, jemur lagi. Padahal, di tempat kami ada tiga PDP dan banyak ODP karena banyak orang dari kota pulang kampung.
Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Halik Malik mengatakan, banyak tenaga kesehatan di puskemas, bahkan juga rumah sakit di daerah, yang hingga saat ini masih pakai mantel hujan karena tidak punya APD yang memadai. Selain itu, masker juga masih menjadi persoalan.
Masih langka
Leliltasari Danukusumo, dokter keselamatan kerja dari 4life mengatakan, saat ini masker N95 yang menjadi standar untuk medis yang bekerja dengan pasien Covid-19 sangat sulit dicari di pasaran.
”Banyak klien kami yang memesan, tetapi tak ada barangnya. Saat ini mulai masuk yang KN95 yang buatan China, tetapi harganya juga masih sangat mahal, sekitar Rp 50.000-Rp 150.000 per lembar,” tuturnya.
Sementara masker medis mulai banyak, tetapi harganya sangat tinggi. ”Kisaran harga masker medis saat ini Rp 200.000-Rp 400.000 per kotak, padahal dulu hanya Rp 30.000. Dugaan kami, masih banyak penimbun,” katanya.
Menurut Lelita, banyak tenaga kesehatan yang menggunakan masker daur ulang untuk N95 dan KN95. ”Ada yang disetrika, ada yang direndam di disinfektan, bahkan juga ditaruh di penanak nasi. Apakah betul daur ulang ini bisa melindungi? Harusnya ini dikaji, tetapi dalam situasi seperti ini sepertinya banya rekan-rekan medis yang tak punya pilihan,” katanya.
Menurut Lelita, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pemberi kerja wajib memberitahukan bahaya dan melindungi pekerjanya. ”Petugas medis harusnya dilindungai, dalam hal ini rumah sakit. Perlindungan kerja ini harus menyeluruh, APD itu hanya salah satu bagian,” katanya.
Lelita menambahkan, rumah sakit harus memiliki pengaturan area, selain juga melatih para tenaga kesehatan dalam menghadapi wabah penyakit sangat menular seperti Covid-19 ini. ”Cara memakai dan melepas APD juga harus benar. Misalnya sesuai Handbook of Covid-19 dari pengalaman di Wuhan, saat mencopot harus memakai sarung tangan dan berulang kali mencuci tangan. Protokol perlindungannya harus jelas dan dilatihkan,” katanya.
Dia menambahkan, saat ini banyak warga memproduksi APD, terutama hazmat. Namun, dikhawatirkan standar keamanannya tidak memadai, karena selain bahan, teknik menjahitnya juga harus diperhatikan. ”Jangan sampai nanti malah membahayakan tenaga kesehatan yang memakainya,” katanya.
Salah seorang penyalur APD, yang minta namanya dirahasikan, mengatakan, saat ini banyak pemain yang membuat harga masker medis mahal. ”Masker medis yang ada saat ini memang buatan dalam negeri, tetapi itu kebanyakan barangnya diekspor dulu ke China, baru ke Indonesia lagi,” katanya.
Menurut dia, untuk mendapatkannya, mereka biasa menunggu di pelabuhan dan harus berani menawar dengan harga tinggi karena harus rebutan. Di sana juga banyak oknum yang meminta bagian sehingga harga jual menjadi lebih mahal. ”Hampir semua transaksi pakai uang tunai,” ungkapnya.