Interaksi Manusia dan Satwa Liar Picu Penyakit Menular
Pandemi Covid-19 yang terjadi di banyak negara saat ini menjadi pembelajaran penting untuk mengurangi intensitas interaksi dengan fauna liar. Hal itu bisa dilakukan dengan menghentikan perburuan satwa liar.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang menjadi permasalahan serius bagi kesehatan dan ekonomi banyak negara saat ini menjadi pembelajaran penting untuk mengurangi intensitas interaksi dengan fauna liar. Itu bisa dilakukan dengan menghentikan perburuan dan perdagangan satwa liar dari hutan dan melindungi habitat satwa liar tersebut di alam.
Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Rahmadi, Selasa (20/4/2020), dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Greenpeace Indonesia, mengatakan, secara alami satwa liar memiliki virus, bakteri, dan mikroorganisme pada tubuhnya. ”Sebagai default, satwa liar host (inang) berbagai virus dan mikroba. Satwa liar, ya, gudangnya,” ujarnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan manusia akan ruang dan ketidakmampuan manusia mengelola hutan membuat interaksi manusia dan hewan. Peningkatan interaksi ini mau tak mau juga melibatkan virus dari satwa liar yang berpotensi spillover atau bangkit menular ke manusia.
Ia menunjukkan, penyakit sindrom pernapasan akut parah (SARS) pada tahun 2002 berasal dari virus kelelawar yang mencapai ke manusia dengan perantara musang. Selanjutnya virus SARS-CoV-2 yang saat ini menyebabkan penyakit Covid-19,masih dipelajari perantara dari kelelawar ke manusianya. Awalnya ada hasil riset yang menduga ular sebagai perantara dan kini trenggiling.
Cahyo menekankan bahwa satwa liar bukan sebagai penyebab penyakit-penyakit ini. ”Manusia membuat penyakit bisa sampai ke manusia. Kita sedang menuai hasilnya ketika selama ini tidak aware mengeksploitasi (sumber daya hutan) habis-habisan,” ungkapnya.
Sebagai contoh, hutan diubah menjadi perkebunan skala luas yang masif dan berbagai tanaman monokultur. Hal ini diibaratkan manusia sedang membuka kotak hutan yang selama ini terawetkan dan berisi sejumlah hal bermanfaat juga hal-hal ”negatif” seperti berbagai virus dan mikroorganisme lain sebagai sumber penyakit bagi manusia.
Mikroorganisme yang keluar ini kemudian bisa mencari inang dan sampai kepada manusia. ”Covid ini sebenarnya kita aware menjaga jarak hubungan kita dengan satwa liar. Jangan sampai satwa liar yang di habitatnya yang belum terganggu akhirnya didekati manusia sehingga bertukar penyakit sehingga menyebabkan penyakit bagi manusia,” ungkapnya.
Jangan sampai satwa liar yang di habitatnya yang belum terganggu akhirnya didekati manusia sehingga bertukar penyakit sehingga menyebabkan penyakit bagi manusia.
Ia pun mendorong agar penegakan hukum bagi penanganan kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar terus dilakukan. Menurut data terbaru Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak tahun 2015, terdapat 273 kejahatan peredaran ilegal tumbuhan dan satwa liar yang keseluruhannya telah sampai di persidangan.
Cahyo juga mengingatkan agar Indonesia terus berkomitmen pada perlindungan hutan. Bukannya malah mempermudah izin-izin investasi pertambangan dan perkebunan dengan cara ”menghilangkan” analisis mengenai dampak lingkungan yang meningkatkan potensi pembukaan lahan. Hal-hal itu terdapat dalam Rancangan Undang Undang Cipta Kerja yang kini berada di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat.
Alih fungsi lahan
Arby Krisna, pegiat media sosial yang berisi edukasi terkait reptil, mengingatkan, alih fungsi lahan itu tak hanya terjadi di hutan. Di perkotaan saja, kata dia, juga terjadi alih fungsi lahan yang bisa meningkatkan intensitas interaksi manusia-satwa liar.
Sebagai contoh, merebaknya ular kobra anakan yang berkeliaran di Depok, Tangerang, Bogor, dan sejumlah daerah lain. Ini terjadi karena ruang hidup ular telah berubah menjadi permukiman dan kawasan industri.
Ia juga menyoroti kegemaran penghobi untuk mengoleksi hewan liar yang bersumber dari dalam hutan atau F1. Selain meningkatkan risiko zoonosis, tindakan tersebut, menurut dia, juga bisa membawa kepunahan pada satwa liar di alam. Ia menganjurkan agar hewan-hewan yang dipelihara itu didapatkan dari lokasi pembudidayaan resmi, bukan tangkapan.