Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga berusaha bertahan. Mereka tidak mengenal menyerah untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Ini gambaran Kartini masa kini.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor & Denty Piawai Nastitie
·4 menit baca
Partini (43), warga Desa Dongko, Kecamatan Dongko, Trenggalek, Jawa Timur, merasakan betapa pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Selama ini dia mengelola usaha pembuatan batik shibori bersama sejumlah perempuan di lingkungannya. Hasilnya lumayan dan cukup untuk menghidupi dua putrinya, masing-masing berusia 18 tahun dan 9 tahun.
Namun, sejak virus korona baru mendera Indonesia, bahkan hingga ke pelosok desa, usaha Partini anjlok. Pesanan yang biasanya mengalir tiba-tiba berhenti. Sempat gagap, tapi dia tak menyerah.
Melihat masker sulit di pasaran, Partini coba membuat kain penutup hidung dan mulut itu. Stok batik shibori dipotong, dijahit menjadi masker. Awalnya, produk itu dibagikan gratis untuk ibu-ibu tetangganya. Belakangan, pesanan berdatangan, termasuk dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek serta Camat Dongko.
Masker dijual Rp 6.000 sampai Rp 9.000 per buah. Usaha ini bisa menyokongnya bertahan sekaligus menolong sesama. ”Dulu cari masker susah, sekarang lebih gampang,” kata Partini, saat dihubungi, Senin (20/4/2020).
Semangat serupa diperlihatkan Kurnati, perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah. Dia mulai menjahit masker saat stok produk itu kosong, sementara permintaan melonjak. Hasilnya pun lumayan. ”Dalam ekonomi sulit, kita harus tetap semangat untuk sehat dan bertahan hidup,” katanya.
Perubahan hidup juga dilakoni Arfiana Khairunnisa (34), communication officer di lembaga nonprofit di Jakarta. Dia ngantor di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, pukul 09.00 sampai 17.00. Begitu ada wabah Covid-19, orangtua tunggal dari satu anak (berusia 5,5 tahun) ini bekerja di rumah.
Sambil kerja, dia mengajak anaknya bermain atau belajar, juga tak lupa mengurus pekerjaan rumah. Ritme keseharian berubah. Banyak tugas kantor yang lazim digarap siang, kini mesti dituntaskan malam setelah anaknya tidur.
”Dengan situasi serba tidak pasti ini, paling penting adalah bisa menyesuaikan diri agar bisa bertahan,” katanya.
Covid-19 juga memukul Darsi (41), pedagang kopi keliling, di Jalan Arteri Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ibu dua anak ini jualan dengan mengandalkan sepeda motor yang dimodifikasi menjadi gerobak kopi. Di tengah pandemi, dia merasakan betul omzet dagangannya terjun bebas dari Rp 150.000 per hari, sekarang bisa mencapai Rp 0 per hari.
”Kemarin, saya mendapatkan uang Rp 45.000. Setelah dipakai untuk membeli bensin Rp 25.000, penghasilan saya hanya Rp 20.000. Hidup serba sulit. Karantina di dalam rumah membuat depresi, bekerja cari uang juga sulit,” ujar perempuan asal Sragen, Jawa Tengah, itu.
Sudah dua bulan terakhir dia menunggak bayar sewa kontrakan di Gang Pancong, Jakarta Utara, Rp 300.000 per bulan. Ibu yang mengasuh dua anak ini juga kesulitan membayar listrik Rp 200.000 per bulan. Untuk berbelanja makanan, membayar uang sekolah anaknya, dan mengisi paket data telepon genggam agar anaknya bisa belajar secara virtual, ia juga tak sanggup. Darsi pun absen mengirim uang ke kampung halaman yang biasanya Rp 1.000.000 per bulan.
Beruntung, Darsi bisa menjahit. Beberapa hari terakhir, ia mendapatkan order menjahit 50 masker. Lumayan, dia bisa megantongi uang Rp 100.000. ”Kemarin, pas banget token listrik saya habis, saya mendapat uang dari menjahit masker. Uang itu langsung saya pakai membeli token listrik,” katanya semringah.
Menurut pendiri dan Ketua Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Nani Zulminarni, terdapat sekitar 65.000 anggota Pekka di 20 provinsi dan 87 kabupaten atau kota di Indonesia. Survei Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK) oleh Sekretariat Nasional Pekka bersama SMERU, pada 2012 mencatat, dalam setiap empat keluarga, terdapat satu keluarga dikepalai oleh perempuan.
Mereka menjadi kepala keluarga karena berbagai sebab. Ada yang lantaran suami meninggal, bercerai, ditinggal suami begitu saja, tidak atau belum menikah, suami berpoligami, suami merantau, suami sakit permanen, atau suami yang tidak bekerja. Dengan berbagai jenis profesi, mereka menjadi tumpuan hidup bagi anak-anaknya.
Pandemi Covid-19 membuat para perempuan kepala keluarga itu kesulitan. Penghasilan mereka berkurang, bahkan hilang. Soalnya, kebanyakan mereka bekerja di sektor informal yang mengandalkan upah harian. Mereka pedagang kecil, buruh tani, pembantu rumah tanggal, jualan makanan, membersihkan kebun, tukang pijat, dan perajin. ”Kebijakan tinggal di rumah menghilangkan sumber penghasilannya,” kata Nani.
Kendati demikian, para perempuan itu tetap bertahan dengan berbagai cara. Ada yang membuat masker, menjadi satgas pencegahan, mengembangkan kegiatan pertanian, atau membuat lumbung pangan. Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini 21 April 2020 ini, puluhan ribu perempuan kepala keluarga terus berjuang di tengah pandemi.