32 Insinerator Rumah Sakit Mulai Dibangun di Indonesia
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam lima tahun ini membangun 32 insinerator bagi limbah medis. Hal itu bertujuan mengatasi kesenjangan ketersediaan insinerator antardaerah.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam lima tahun ini membangun 32 insinerator bagi limbah medis. Tahun ini pembangunan dilakukan di Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
”Semoga ini bisa (membantu) memecahkan gap yang ada sekarang,” kata Sinta Saptarina Soemiarno, Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non-B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (21/4/2020), di Jakarta, dalam diskusi virtual bertema ”Refleksi Hari Bumi Di Masa Pandemi” yang diselenggarakan Divers Clean Action (DCA) dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Ia menjelaskan, insinerator limbah medis yang berkategori limbah B3 tersebut dibangun dengan kapasitas jauh lebih besar daripada insinerator di Makassar, Sulawesi Selatan, sebesar 2,4 ton per hari. Insinerator yang akan dibangun berkapasitas 300 kilogram per jam. Pembangunan ini akan disusul enam insinerator serupa pada 2021, kemudian berturut-turut tujuh unit setiap tahun pada periode 2022-2024.
Ia mengakui, ketimpangan jumlah dan distribusi insinerator limbah medis di Indonesia masih signifikan. Digambarkan, dari 2.800-an rumah sakit di Indonesia, baru terdapat 110 insinerator berizin dari KLHK dan 14 perusahaan jasa pengelolaan limbah B3.
Ketimpangan jumlah dan distribusi insinerator limbah medis di Indonesia masih signifikan.
Sebagai gambaran lebih lanjut, di wilayah Maluku dan Papua tidak terdapat fasilitas insinerator berizin, baik pada rumah sakit maupun perusahaan jasa pengelolaan limbah B3. Di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, hanya ada 5 insinerator rumah sakit berizin yang dalam konteks penanganan limbah Covid-19 tak ada satu pun dari 11 rumah sakit rujukan yang memiliki insinerator legal.
Terkait pembangunan insinerator limbah medis, menurut Health Care Without Harm (HCWH), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), cenderung menyarankan penggunaan steam-based (uap) atau metode selain insinerator untuk disinfeksi. Alasannya, insinerator bisa menghasilkan zat berbahaya berupa polutan organic persistent (POPs).
Biaya teknologi non-pembakaran temperatur tinggi (insinerator) juga disebut HCWH lebih mahal dibandingkan dengan teknologi lain. Ini belum termasuk dari sisi jejak karbon yang sangat tinggi karena insinerator membutuhkan injeksi energi sangat tinggi guna menghasilkan panas lebih dari 800 derajat celsius.
Terkait hal ini, saat dihubungi setelah diskusi, Sinta mengatakan, saat ini insinerator masih menjadi pilihan efisien untuk sembilan karakter limbah medis. ”Kalau autoclave (berbasis tekanan) untuk patogen tidak bisa. Kami perketat baku mutu, lalu ada 2 chamber (tungku) dan minimal ketinggian cerobong,” katanya.
Sinta menyampaikan adanya Surat Edaran Menteri LHK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Covid-19 tertanggal 24 Maret 2020. Surat ini ditujukan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) yang juga Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 serta semua kepala daerah di Indonesia.
Ia menyebutkan, SE ini ditindaklanjuti dengan baik di Sumatera Selatan. Di antaranya dengan menyediakan tempat sampah berwarna kuning khusus bagi ”limbah medis” dari rumah tangga ataupun wisma di Stadion Jakabaring yang dipergunakan sementara untuk penanganan Covid-19. Limbah medis itu bisa berupa masker medis/masker sekali pakai, suntikan, ataupun alat pelindung diri dari anggota rumah tangga yang berstatus orang dalam pemantauan (ODP) ataupun pasien dalam pengawasan (PDP) yang menjalani karantina mandiri.
Terkait evaluasi dan jumlah limbah medis dari penanganan Covid-19 di rumah sakit, ia belum mendapatkan hasil pendataan yang dilakukan pemerintah daerah. Namun, kata Sinta, menurut Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, limbah medis bertambah 30 persen dalam masa penanganan Covid-19 saat ini.
Pabrik semen
Dalam kondisi kesenjangan ketersediaan pemusnah limbah infeksius rumah sakit ini, pemerintah daerah diperbolehkan bekerja sama atau meminta bantuan pabrik semen untuk memusnahkan limbah tersebut pada tanur. Ia mengatakan, tanur bersuhu 2.000 derajat celsius tersebut bisa dimanfaatkan sementara waktu agar limbah medis tak menumpuk.
Langkah ini, imbuhnya, telah dikerjakan Sumatera Barat dengan memusnahkan limbah infeksiusnya di pabrik PT Semen Padang. ”Ini agar bisa diikuti daerah lain,” katanya.
Di sisi lain, Sinta mengingatkan agar masker sekali pakai atau alat pelindung diri yang digunakan awam di rumah tangga untuk tak dibuang sembarangan. Ia mengingatkan agar masker tersebut direndam dalam cairan disinfektan ataupun pemutih (mengandung klorin), lalu disobek/dipotong sebelum dibuang dalam bungkus tersendiri.
Hal itu bertujuan menghindari risiko jalur penularan baru melalui masker sekali pakai ataupun alat pelindung diri dari sampah rumah tangga atau pemanfaatan yang tak bertanggung jawab.
Terkait sampah masker sekali pakai ini, aktivis Kali Ciliwung, Suparno Jumar, mengatakan, pihaknya pertama kali menemukan sampah masker sekali pakai di pinggir Kali Ciliwung pada 21 Maret 2020. Setelahnya, ia menemukan masker-masker tersebut di pinggir-pinggir jalan raya.
”Masker dipakai untuk menyelamatkan diri Anda dari korona, tapi dibuang sembarangan sehingga berpotensi menyebarkan penyakit yang belum ketemu obatnya ini ke orang lain,” ujarnya.
Regia Puspa Astari, dokter dan mitra ahli mindandbrain.id, pembicara dalam diskusi serupa, menyarankan agar masyarakat awam menggunakan masker kain yang dapat dicuci. Masker bedah atau masker medis lebih baik digunakan oleh tim medis yang fasilitas layanan kesehatannya memiliki prosedur pengelolaan limbah infeksius tersebut.