Pemerintah Pusat dan Daerah Mesti Sepaham soal Distribusi Pangan
Kepastian penyerapan bahan pangan di produsen dan ketersediaan di tingkat konsumen membutuhkan jaminan kelancaran distribusi. Namun, soal itu, pemerintah pusat dan daerah mesti sepaham agar distribusi tetap jalan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepastian penyerapan produk pangan di tingkat produsen dan terjaganya pasokan di tingkat konsumen selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membutuhkan jaminan kelancaran distribusi. Oleh sebab itu, pemerintah pusat dinilai perlu menyeragamkan kesepahaman dan penerapan prioritas terhadap angkutan bahan pangan hingga tingkat desa.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi mengusulkan agar pemerintah pusat menyosialisasikan prioritas terhadap logistik dan distribusi pangan hingga ke tingkat desa secara rutin. ”Pemerintah juga perlu mengeluarkan surat edaran di tingkat kementerian yang berisi hal-hal teknis terkait prioritas itu sehingga pelaku usaha di bidang distribusi pangan mendapatkan kepastian, jaminan, dan landasan untuk tetap beroperasi,” tuturnya saat dihubungi, Selasa (21/4/2020).
Selain itu, Bayu menilai, pemerintah juga perlu mengintegrasikan informasi-informasi terkait data produksi dan harga pangan dari lembaga swadaya masyarakat, asosiasi pelaku usaha di bidang pangan, dan asosiasi petani. Tujuannya agar masyarakat dan pemerintah daerah bisa memantau neraca pangan secara terbuka serta dapat merumuskan strategi pengadaan dan penyaluran.
Di daerah tujuan akhir distribusi dan logistik pangan, pergeseran pola dan perilaku belanja dan konsumsi masyarakat mesti menjadi sorotan. Dia berharap, operasional ritel yang memasok pangan segar beserta sarana distribusinya hingga ke rumah tangga, termasuk ojek dalam jaringan, dijamin oleh pemerintah.
Sebelumnya, Yayasan Lokahita memublikasikan pemetaan daya dukung pangan di setiap provinsi. Peta tersebut menunjukkan ada lima provinsi yang daya dukung pangannya di bawah 100 persen atau konsumsi lebih besar dibandingkan dengan sumber daya pangannya, yakni Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Maluku, Maluku Utara, dan Banten.
Peneliti dan Co-Founder Yayasan Lokahita Jesika Taradini menyatakan, kelima provinsi itu belum mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk semua penduduk di wilayah tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah mesti memperhatikan tata distribusi dan logistik ke daerah-daerah tersebut selama masa PSBB.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Agribisnis Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) Soekam Parwadi berpendapat, perangkat daerah di tingkat kecamatan perlu membentuk kelompok atau koperasi konsumen yang memfasilitasi belanja dalam jaringan (daring). ”Kelompok atau koperasi ini cukup mengoordinasikan belanja kebutuhan dari 10-15 keluarga di lingkungan tempat tinggal,” katanya.
Di daerah sentra produsen pangan, Soekam menyatakan, Paskomnas sedang menjajaki hubungan kerja sama formal dengan koperasi kelompok petani. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepastian penyerapan hasil panen petani ke pusat distribusi atau pasar induk.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Bidang Distribusi dan Logistik Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia Kyatmaja Lookman menyatakan, karantina mandiri selama PSBB membuat setiap sopir yang kembali dari tujuan pengantaran, khususnya DKI Jakarta, tak bisa bekerja selama 14 hari.
Mayoritas operator truk pengangkut bahan pangan segar merupakan usaha berskala mikro, kecil, dan menengah dengan armada 1-5 unit. Oleh karena itu, operator kekurangan tenaga jika pengemudi harus dikarantina 14 hari di setiap pengantaran. Solusi yang ditawarkan, antara lain, membentuk terminal barang sebagai zona netral, baik di daerah produsen maupun tujuan. Secara teknis, pengemudi lintas provinsi hanya akan mengambil barang di terminal.