Pandemi Covid-19 secara alamiah menghasilkan entropi atau ketidakpastian informasi. Karena itu, pemerintah harus terus-menerus menyampaikan informasi tentang upaya penanganan Covid-19, bukan sekadar angka-angka.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
Sosialisasi penanganan pandemi Covid-19 harus terus-menerus dilakukan, termasuk upaya pemerintah untuk melindungi kesehatan hingga bagaimana memastikan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat tercukupi. Hal ini akan memberikan kepastian kepada masyarakat di tengah entropi atau ketidakpastian informasi yang terus-menerus terjadi akibat pandemi Covid-19.
Ketidakpastian informasi bisa menimbulkan kebingungan, bahkan kepanikan di masyarakat. Saat pemerintah memutuskan pembatasan sosial hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penularan Covid-19, misalnya, masih banyak masyarakat yang belum paham. Apalagi, belum ada jaminan juga bahwa kebutuhan dasar masyarakat akan terpenuhi meski pemerintah menjanjikan bantuan sosial.
”Beri masyarakat kepastian. Harus ada figur yang setiap hari memberi tahu, memberi informasi ke masyarakat. Bukan sekadar angka-angka terkait kasus Covid-19, tetapi lebih dari itu, tentang upaya-upaya yang dilakukan pemerintah,” kata Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ibnu Hamad di Jakarta, Selasa (21/4/2020).
Harus ada figur yang setiap hari memberi tahu, memberi informasi ke masyarakat. Bukan sekadar angka-angka terkait kasus Covid-19, tetapi lebih dari itu, tentang upaya-upaya yang dilakukan pemerintah.
Komunikasi publik tersebut, kata Ibnu Hamad, seharusnya dilakukan pejabat setingkat menteri, bahkan menteri koordinator, yang akan menjadi sumber informasi pamungkas. Ini akan mengurangi potensi munculnya pernyataan yang beragam dan bertentangan di kalangan pemerintah yang bisa menimbulkan entropi informasi tersendiri.
”Ini (sumber informasi pamungkas) yang belum ada di kita. Keputusan menggunakan Wisma Atlet Kemayoran, pembatasan sosial, dan juga PSBB, misalnya, merupakan bentuk kehadiran negara. Tapi ini harus terus dikomunikasikan ke masyarakat agar masyarakat paham dan mendapat kepastian. Misalnya soal mengapa PSBB perlu, apa yang harus dilakukan masyarakat. Komunikasi ini harus dilakukan pemerintah pusat hingga daerah,” kata Ibnu Hamad yang juga Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi (ISKI) Pusat.
Komunikasi krisis
Secara terpisah, Dewan Pakar ISKI Pusat yang juga komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan, dalam situasi seperti ini, pola komunikasi krisis seharusnya segera digunakan pemerintah. Ini untuk memastikan persepsi publik bahwa negara dalam keadaan siap menghadapi krisis sekaligus juga peduli dengan publik.
”Komunikasi krisis dapat diartikan adalah seorang komunikan harus dapat dipercaya, terbuka, berbasis keseimbangan terhadap kejadian dan data pendukung yang akan disampaikan ke khalayak luas,” kata Yuliandre. Saat ini, katanya, pemerintah harus selalu memberikan informasi penting terkait kasus Covid-19.
Dia mengatakan, tujuan utama komunikasi dalam krisis adalah menjaga kepercayaan publik melalui saluran media arus utama maupun media sosial. Oleh karena itu, dalam komunikasi krisis ini perlu adanya pasokan keakuratan data dan merespons kebutuhan informasi secara tepat dan cepat kepada media.
Sebagai komisioner KPI Pusat, Yuliandre meminta media penyiaran menjadi agen perubahan dalam mengomunikasikan kasus Covid-19. Di saat seperti ini, masyarakat memerlukan asupan informasi secara menyeluruh. KPI Pusat juga menyerukan kepada setiap lembaga penyiaran untuk menghadirkan tayangan yang edukatif, misalnya edukasi tentang pentingnya pembatasan sosial, serta memberikan tayangan yang berkualitas kepada masyarakat.