Penyusunan program pemerintah mestinya melibatkan pekerja dan pelaku usaha. Dengan demikian, hasilnya akan bermanfaat bagi pekerja dan pengusaha.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pekerja yang kehilangan nafkah akibat pandemi Covid-19 bertambah dari hari ke hari. Setelah pandemi Covid-19 berlalu, pekerja yang kehilangan pekerjaan ini perlu jaminan untuk kembali bekerja.
Jaminan itu tak bisa diperoleh dari kelas-kelas pelatihan dalam jaringan di Program Kartu Prakerja. Kondisi dunia usaha yang sedang terpuruk membuat hal itu sulit dicapai.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, per 20 April 2020, jumlah pekerja dan pelaku usaha kecil yang kehilangan pendapatan akibat pandemi sebanyak 2.084.593 orang. Selain itu, sebanyak 538.385 pekerja dan pelaku usaha kecil informal juga terpukul karena kehilangan pendapatan harian.
Sebagian besar pekerja yang kehilangan pendapatan ini dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sektor pariwisata—termasuk perhotelan, transportasi, dan restoran, serta pabrik industri manufaktur yang menghentikan produksi karena kesulitan mengekspor produksi dan memperoleh bahan baku impor.
Pekerja yang dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) paling banyak ditemukan di Jawa Timur (59.270 orang) dan yang dirumahkan paling banyak di Jakarta (459.055 orang).
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Silaban, Rabu (22/4/2020), mengatakan, pekerja butuh kepastian untuk bisa bekerja kembali pascapandemi Covid-19 berlalu. Peluang itu yang semula diharapkan bisa diperoleh melalui Program Kartu Prakerja. Namun, ternyata, kelas pelatihan daring untuk menambah kompetensi pekerja yang kehilangan nafkah akibat pandemi tidak memberi peluang penempatan kerja.
Dengan kata lain, tidak ada link and match atau hubungan dan kesesuaian program tersebut dengan dunia usaha, terutama di tengah kondisi ekonomi yang saat ini terpukul. Menurut Elly, penggodokan berbagai program dan kebijakan pemerintah seharusnya melibatkan masukan pekerja. Dengan demikian, kebutuhan pekerja bisa diidentifikasi dengan lebih tepat.
”Kami sudah menyurati Menteri Ketenagakerjaan untuk memberi masukan tentang desain seperti apa yang dibutuhkan pekerja, tetapi tidak berbalas. Kalau dilibatkan, kami bisa memberi penjelasan situasi yang sebenarnya dibutuhkan pekerja sekarang ini,” katanya.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyampaikan, kondisi saat ini memang menyulitkan semua pihak, termasuk pengusaha. Namun, ia meminta pengusaha mempekerjakan kembali karyawan yang sudah di-PHK dan dirumahkan setelah pandemi berlalu. Menurut dia, mempekerjakan kembali tenaga kerja yang lama seharusnya lebih mudah dibandingkan memulai perekrutan dari awal.
”Kalau bisnis sudah jalan lagi, sudah ada rezeki, yang di-PHK harus jadi prioritas untuk dipanggil lagi. Toh, sudah saling kenal, jadi tidak usah ada pelatihan lagi,” kata Ida.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sintha W Kamdani mengatakan, pembukaan kembali lapangan pekerjaan butuh waktu. Menurut dia, tanpa diminta, pelaku usaha secara alamiah pasti akan kembali mempekerjakan karyawan yang sudah di-PHK dan dirumahkan jika situasi sudah membaik.
”Mungkin tidak semua akan kembali ke perusahaan asal, tetapi yang jelas perusahaan akan berupaya kembali membuka lapangan kerja ketika kondisi pasar mendukung,” katanya.
Pembukaan kembali lapangan pekerjaan butuh waktu.
Namun, pemulihan ekonomi, ujarnya, tidak mungkin terjadi dalam semalam. Berdasarkan pengalaman, negara yang mengalami krisis ekonomi butuh waktu untuk pulih. Semakin dalam dan parah krisis ekonominya, maka pemulihannya akan semakin lambat.
”Perekrutan karyawan dan penciptaan kembali lapangan kerja pascakrisis harus berjalan bertahap sesuai kecepatan pemulihan ekonomi,” kata Sintha.
Shinta menuturkan, pemerintah seharusnya melibatkan dunia usaha untuk memberi masukan terkait keterampilan pekerja yang dibutuhkan. Perlu kecocokan antara pekerja dan dunia usaha. Meskipun keterampilan pekerja meningkat lewat Program Kartu Prakerja, jika kompetensi itu tidak sesuai dengan yang kebutuhan pelaku usaha, pekerja tidak akan terserap.
”Ini masalah klasik. Seharusnya pemerintah bisa membenahi aspek ketidaksesuaian keterampilan ini melalui koordinasi dengan pelaku usaha, apa yang dibutuhkan perusahaan, agar pascakrisis penyerapan tenaga kerja bisa lebih cepat,” katanya.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari mengatakan, dalam skema awal Program Kartu Prakerja, pemerintah sudah merencanakan hal tersebut. Semula penempatan kerja masuk dalam indikator operasional Kartu Prakerja. Namun, pandemi Covid-19 membuat pemerintah mengubah skemanya.
Program Kartu Prakerja akhirnya menavigasi dua tujuan sekaligus, yakni jaring pengaman sosial dan peningkatan kompetensi dan daya saing pekerja.
”Akhirnya, indikator itu kita berikan bobot paling kecil karena kita harus realistis. Ketika pertumbuhan ekonomi menurun, tawaran pekerjaan pasti sedikit. Kami tidak bisa memaksa perusahaan untuk merekrut dan berkolaborasi untuk penempatan kerja,” katanya.