Kewaspadaan terhadap kemungkinan koinfeksi penyakit demam berdarah dengue dan Covid-19 perlu ditingkatkan. Koinfeksi dua penyakit itu bisa memperparah kondisi pasien.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, kasus demam berdarah dengue terus merebak, bahkan merenggut nyawa penderita. Kondisi ini membuat ancaman koinfeksi demam berdarah dengue dan Covid-19 kian nyata. Kondisi ini bisa menyebabkan gejala penyakit tidak spesifik dan memperburuk kondisi pasien.
Kementerian Kesehatan melaporkan, sebaran kematian demam berdarah dengue (DBD) secara kumulatif hingga 21 April 2020 sebanyak 45.266 kasus. Wilayah dengan kasus tertinggi terjadi di Jawa Barat (6.337 kasus), Nusa Tenggara Timur (4.679 kasus), Lampung (4.074 kasus), Jawa Timur (3.622 kasus), DKI Jakarta (2.288 kasus), dan Jawa Tengah (2.176 kasus).
Sementara, jika disandingkan dengan kasus penularan Covid-19, kasus terbanyak juga ditemukan di wilayah dengan kasus DBD yang tinggi. Per 22 April 2020, jumlah kasus Covid-19 tercatat 7.418 kasus. Kasus terbanyak dilaporkan di DKI Jakarta (3.383 kasus), Jawa Barat (762 kasus), Jawa Timur (638 kasus), dan Jawa Tengah (479 kasus).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, di Jakarta, Rabu (22/4/2020), mengatakan, koinfeksi DBD dan Covid-19 bisa terjadi saat ini. Meski begitu, belum ada laporan resmi dari pemerintah daerah terkait adanya kasus koinfeksi tersebut.
”Kita sudah minta untuk dilaporkan (adanya koinfeksi). Namun, mungkin ada kendala akses tes Covid-19 yang belum optimal di daerah. Meski begitu, masyarakat dan tenaga kesehatan perlu mewaspadai adanya potensi ini,” tuturnya.
Penularan DBD saat ini lebih dominan terjadi di sekitar tempat tinggal. Ini didasarkan pada pola kegiatan dan aktivitas masyarakat yang lebih banyak dilakukan di tempat tinggal saat pembatasan sosial dijalankan. Karena itu, pemberantasan sarang nyamuk harus terus digencarkan.
Menegakkan diagnosis
Staf Divisi Penyakit Tropik Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Erni Juwita Nelwan menyampaikan, petugas kesehatan harus mampu menentukan dengan tepat apakah pasien yang datang dengan gejala demam terjadi karena infeksi demam berdarah dan Covid-19.
Persoalan yang perlu diperhatikan kini adalah jika demam berdarah terjadi bersama dengan Covid-19, gejala demam yang terjadi tidak akan khas. ”Jika biasanya pada pasien demam berdarah gejala demamnya akan turun pada hari ketiga, ini tidak akan terjadi pada pasien koinfeksi DBD dan Covid-19. Tenaga kesehatan harus waspada karena kasus koinfeksi terjadi lebih dari 50-60 persen pada pasien DBD saat ini,” tuturnya.
Dalam kajian Gabriel Yan dari National University Health System, Singapura, dan tim yang diterbitkan di jurnal The Lancet (4 Maret 2020) menyebutkan, penyakit dengue dan virus korona 2019 (Covid-19) sulit dibedakan. Ini karena dua penyakit tersebut memiliki gejala dan hasil laboratorium mirip. Menurut studi lain, DBD dan Covid-19 juga bisa koinfeksi dan itu bisa jadi kombinasi mematikan (Kompas, 18/4/2020).
Untuk itu, Erni menyampaikan, pada pasien yang datang dengan gejala DBD harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, seperti rontgen dan CT scan. Tindakan ini diperlukan untuk mengetahui adanya potensi infeksi pada paru yang bisa disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab Covid-19.
Jika biasanya pada pasien demam berdarah, gejala demamnya akan turun pada hari ketiga, ini tidak akan terjadi pada pasien koinfeksi DBD dan Covid-19.
”Prosedur standar operasi harus dilakukan dengan baik oleh tenaga kesehatan, mulai dari penggunaan alat pelindung diri, mencuci tangan setelah berinteraksi dengan pasien, dan prosedur lain yang berkaitan dengan prinsip pelayanan yang aman. Tenaga kesehatan harus hati-hati akan potensi penularan Covid-19,” ungkapnya.