Pembatasan Sosial Saja Tidak Bisa Hentikan Covid-19
Pembatasan sosial berskala besar ataupun pembatasan akses transportasi saja tidak cukup untuk menekan laju penularan Covid-19. Butuh pemeriksaan spesimen secara massal dan pelacakan riwayat kontak.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun berhasil menurunkan pergerakan penduduk, pembatasan sosial berskala besar di Jakarta belum efektif. Penerapan kebijakan itu mesti dikombinasikan dengan pemeriksaan massal dan penelusuran riwayat kontak untuk menurunkan kasus penularan karena sebagian besar orang yang terinfeksi tidak terdeteksi.
”Proporsi penduduk yang tinggal di rumah sudah meningkat. Namun, belum terlihat rencana aksi nasional serta sistem monitoring dan evaluasi PSBB sehingga kita akan sulit menentukan kapan harus mengakhirinya,” kata epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, di Jakarta, Minggu (26/4/2020).
Menurut Pandu, penutupan bandar udara serta larangan bepergian keluar dan masuk Jakarta secara ketat akan membantu mencegah penyebaran. Namun, hal ini dikhawatirkan belum bisa menekan penurunan kasus Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru di Indonesia secara signifikan karena pemeriksaan massal dan penelusuran riwayat kontak belum optimal.
Proporsi penduduk yang tinggal di rumah meningkat. Namun, belum terlihat rencana aksi nasional serta sistem monitoring dan evaluasi PSBB sehingga sulit menentukan kapan harus mengakhirinya.
Sebelumya, tim FKM UI membuat pemodelan mengenai dampak pelarangan mudik Lebaran terhadap penurunan kasus penularan. Dengan mencegah mudik Lebaran, potensi peningkatan angka pasien Covid-19 yang butuh perawatan di Pulau Jawa akan berkurang hingga 200.000 kasus.
Analisis tim SimcovID menunjukkan, perjalanan orang antarprovinsi dari luar Jakarta dalam kurun 31 Maret-17 April 2020 berkurang lebih dari 50 persen dibandingkan dengan sebelumnya. Analisis yang didasarkan dari data Facebook Geoinsight ini juga menunjukkan, pada hari saat PSBB diberlakukan di Jakarta pada 10 April 2020, jumlah perjalanan ke luar Jakarta berkurang 75 persen. Beberapa hari kemudian, perjalanan ke luar Jakarta kembali meningkat.
Epidemiolog Universitas Padjadjaran, Bandung, Panji Hadisoemarto, yang turut dalam tim SimcovID ini mengatakan, mobilitas di Jakarta sudah berkurang, tetapi belum cukup unuk menghentikan penyebaran Covid-19. Dibutuhkan langkah pencegahan dengan sangat serius agar kasus penularan bisa ditekan.
Pemodelan yang dilakukan Singapore University of Technology and Design (SUTD) menunjukkan, kasus Covid-19 secara global diperkirakan akan berkurang hingga 97 persen pada bulan Mei dan berakhir hingga 100 persen pada bulan Desember 2020. Di Singapura kasus Covid-19 diperkirakan akan berakhir pada bulan Juni. Sementara di Indonesia diperkirakan jumlah kasus akan berkurang pada bulan Juni.
Namun, peneliti biostatistik Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyasar, mengatakan, model ini kemungkinan tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. ”Model dari SUTD ini mendasarkan kurvanya pada kasus terkonfirmasi, padahal rata-rata tes di Indonesia sangat kecil, masih sekitar 2.000 orang per hari,” katanya.
Terus meningkat
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menyampaikan, hingga Minggu (26/4/2020), jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 8.882 orang atau bertambah 275 penderita dibandingkan dengan sehari sebelumnya. Sementara korban meninggal sebanyak 743 orang atau bertambah 23 orang dan pasien sembuh sebanyak 1.107 orang atau bertambah 65 orang.
Dengan data ini, tingkat kematian di Indonesia masih mencapai 8,36 persen, masih jauh lebih tinggi dari rata-rata tingkat kematian global sebesar 6,93 persen. Tingginya tingkat kematian di Indonesia disebabkan antara lain masih kurangnya pemeriksaan, yang menyebabkan banyak orang belum terdeteksi.
Sementara itu, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) mencapai 209.040 orang atau bertambah 2.129 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 19.648 orang atau bertambah 564 orang. Penambahan ODP secara signifikan ini menandai masih terjadi potensi penularan karena riwayat kontak, sedangkan penambahan PDP menunjukkan panjangnya antrean pemeriksaan.
Sekalipun tak dilaporkan secara nasional, sejumlah daerah melaporkan banyaknya PDP yang meninggal. Bahkan, jumlahnya rata-rata jauh melebihi kasus positif.
Sebagai contoh, Jawa Timur telah melaporkan PDP yang meninggal sebanyak 223 orang dan ODP sebanyak 50 orang, padahal kasus positif yang meninggal 88 orang. Di Sulawesi Selatan, jumlah PDP yang meninggal mencapai 79 orang, sedangkan kasus positif yang meninggal 36 orang.
Iqbal mengatakan, bayaknya jumlah PDP yang meninggal ini menunjukkan lambatnya pemeriksaan. Selain itu, jumlah pemeriksaan juga masih sangat kecil sehingga dikhawatirkan sulit mendeteksi penyebaran kasus di masyarakat.
Penelitian yang dilakukan Giulia Giordano dari University of Trento, Italia, dan tim yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine pada 22 April lalu menunjukkan, upaya pembatasan jarak sosial, bahkan sekalipun itu dilakukan secara ketat dengan karantina wilayah atau lockdown, tetap tidak akan bisa menghentikan penyebaran. Pembatasan sosial harus dikombinasikan dengan pemeriksaan yang luas dan pelacakan kontak.
Dalam kajian ini disebutkan, pemeriksaan spesimen secara massal dan pelacakan riwayat kontak ini sangat penting karena orang yang terinfeksi kebanyakan tidak terdeteksi dan tidak menunjukkan gejala sehingga masih akan terus memicu penyebaran virus jika tidak ditemukan dan diisolasi.
Kajian yang dilakukan di Italia ini menunjukkan, jika pembatasan sosial kurang ketat dengan pengujian terbatas, jumlah kematian di Italia bisa mencapai lebih dari 70.000 orang pada tahun pertama.
Namun, jika tindakan lockdown yang ketat terus dipertahankan dan pengujian populasi dilakukan secara luas serta upaya pelacakan kontak secara substansial meningkat, jumlah kematian berpotensi dibatasi hingga 25.000 orang secara keseluruhan.
Italia saat ini menemukan 195.351 kasus dengan korban meninggal 26.384 orang. Sementara pemeriksaan yang dilakukan mencapai 28.245 kasus per satu juta penduduk. Jumlah pemeriksaan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia yang baru 264 orang per satu juta penduduk.