Jumlah pasien Covid-19 di rumah sakit di DKI Jakarta menurun setelah dua minggu pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Itu tak bisa disimpulkan sebagai dampak PSBB lantaran pemeriksaan spesimen belum optimal.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pasien Covid-19 di rumah sakit di DKI Jakarta mulai menurun setelah dua minggu penerapan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Meski demikian, masih terlalu dini menyimpulkan PSBB telah berhasil. Apalagi, penyebaran kasus di daerah meluas.
”Jika sebelumnya ruang-ruang isolasi di rumah sakit rujukan di Jakarta selalu penuh pasien dan antreannya panjang, saat ini jumlahnya mulai berkurang. Saya kira ini menjadi kabar baik,” kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, di Jakarta, Senin (27/4/2020).
Menurut Doni, saat ini beban rumah sakit di Jakarta mulai berkurang. ”Namun, kalau kita terus berdisiplin dengan PSBB dan semua pihak mendukung, masih ada harapan untuk menghentikan wabah ini,” katanya.
Jika sebelumnya ruang-ruang isolasi di rumah sakit rujukan di Jakarta selalu penuh pasien dan antreannya panjang, saat ini jumlahnya mulai berkurang.
Seperti disampaikan juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, jumlah kasus yang terkonfirmasi positif di Indonesia telah mencapai 9.096 orang. Sejumlah 765 pasien di antaranya meninggal dan 1.151 orang sembuh. Terjadi penambahan 214 kasus baru, 22 korban jiwa, dan 44 yang sembuh.
Sementara itu, penambahan orang dalam pemantauan (ODP) mencapai 1.159 dibandingkan dengan sehari sebelumnya sehingga menjadi 210.199 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) bertambah 339 sehingga menjadi 19.987 orang.
Menurut data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah kasus positif di daerah ini mencapai 3.832 kasus atau sekitar 42 persen dari total kasus nasional. Penambahan kasus positif baru di Jakarta pada Senin ini sebanyak 86 orang, lebih tinggi dibandingkan dengan sehari sebelumnya sebanyak 65 orang. Namun, penambahan kasus harian ini relatif kecil dibandingkan dengan 16 April 2020 yang mencapai 223 dalam sehari.
Doni mengingatkan, Covid-19 ini tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh satu atau dua daerah. ”Harus ada kerja sama antardaerah sehingga tidak terjadi penularan kembali di daerah yang mulai menurun kasusnya,” katanya.
Pendataan yang dilakukan peneliti biostatistik dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit Iqbal Elyasar menunjukkan saat ini penyebaran Covid-19 terus meluas. Sebanyak 305 kabupaten atau kota di Indonesia sudah memiliki kasus positif Covid-19. Adapun daerah yang belum ada kasusnya sebanyak 209 kabupaten atau kota.
Penelusuran kontak
Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, menegaskan, fluktuasi kasus positif harian di Jakarta belum bisa menjadi indikator kesuksesan PSBB. Hal ini disebabkan pemeriksaan yang dilakukan masih sangat kecil, selain juga terjadi keterlambatan hasil.
Menurut Dicky, kalau mau melihat dampak PSBB, maka harus diukur nilai penularan (repoductive number) sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi. ”Di negara lain dihitung setiap minggu. Namun, ini perlu dukungan pemeriksaan massal juga. Kalau tidak, akan sulit diukur. Untuk kasus di Indonesia, karena pemeriksaannya masih terbatas, kita bisa melihat juga dari banyaknya PDP yang meninggal,” ungkapnya.
Dicky juga mengingatkan, selain pemeriksaan massal, hal yang harus dilakukan adalah penelusuran kontak. ”Hingga saat ini kita belum melihat adanya kluster penularan di Indonesia yang tergambarkan dengan baik, bahkan Jakarta yang menjadi episenter awal juga belum ada,” ungkapnya.
Selain itu, Dicky mempertanyakan tiadanya informasi mengenai riwayat perjalanan pasien positif dan tempat-tempat yang yang pernah disinggahi yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang risiko penularan.
”Sekitar 80 persen orang yang terinfeksi Covid-19 bergejala ringan dan asimptomastis (tidak bergejala). Kalau tidak ditelusuri riwayat kontaknya, orang yang bergejala ringan atau asimptomatis ini bisa terus menularkan ke orang lain dan membuat kita sulit memutus rantai penularan,” ujarnya.
Di negara-negara lain, penelusuran riwayat kontak terbukti efektif untuk menekan penularan. Mereka yang berisiko karena memiliki kontak dengan pasien positif akan diperiksa dan begitu hasilnya positif segera dirawat atau isolasi mandiri.
Singapura, misalnya, menggunakan layanan kesehatan nasional, detektif dari kepolisian, dan aplikasi di telepon untuk melacak penyebaran virus. Mereka yang diidentifikasi berisiko tertular akan ditelepon petugas kesehatan. Program pelacakan kontak mereka sangat efektif sehingga sekitar 40 persen orang dalam gelombang pertama kasus Covid-19 di negara itu ditemukan dari jalur ini.
Dicky menambahkan, China mengerahkan sekitar 10.000 detektif untuk menelusuri riwayat kontak orang-orang yang berpotensi tertular di Wuhan. ”Indonesia seharusnya juga bisa mengerahkan sumber daya untuk melakukan ini seperti juga dilakukan di Taiwan dan Korea Selatan,” katanya.
Di Korea Selatan, pengembang swasta mendapat kewenangan membangun aplikasi pelacakan kontak. Selain itu, pihak berwenang menggunakan rekaman dari kamera pemantau (CCTV) dan transaksi kartu kredit untuk melacak pergerakan dan riwayat kontak orang. Sementara orang-orang yang telah diketahui positif, tetapi tidak butuh perawatan diminta tinggal di rumah dan dimonitor melalui telepon seluler mereka hingga masa inkubasi berakhir.
Menurut Dicky, perilaku sosial masyarakat di Indonesia yang hanya akan berobat atau datang ke rumah sakit jika sudah sakit parah juga menjadi faktor sulitnya memutus rantai penularan. ”Jadi, kemungkinan orang yang terinfeksi, tetapi belum terdeteksi masih sangat tinggi,” ujarnya.