Sitti Dipecat dari KPAI, Pelajaran Penting bagi Pejabat Publik
Presiden Joko Widodo memecat anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Sitti Hikmawatty, per 24 April 2020. Ini buntut dari pernyataan Sitti soal kehamilan perempuan di kolam renang yang dianggap melangggar etika.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor/ Suhatono/ Fx Laksana Agung Saputra
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memecat anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia periode 2017-2022, Sitti Hikmawatty, per 24 April 2020. Keputusan diambil setelah Dewan Etik KPAI memutuskan Sitti melanggar kode etik. Kasus ini hendaknya menjadi pelajaran bagi pejabat publik agar lebih arif dan berhati-hati dalam berkomunikasi.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Jakarta, Senin (27/4/2020), mengatakan, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 2020 tentang Pemberhentian Tidak dengan Hormat Anggota KPAI Periode 2017-2022. ”Keputusan menindaklanjuti surat Ketua KPAI dan surat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang meminta pemberhentian Sitti. Pemberhentian didasarkan atas keputusan Dewan Etik KPAI,” katanya.
Sebelumnya, lembaga kepresidenan menerima Surat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2020 yang mengusulkan pemberhentian tidak dengan hormat Sitti sebagai anggota KPAI. Alasannya, Sitti melanggar kode etik sebagaimana keputusan Dewan Etik KPAI. Usulan itu dibuat atas dasar Surat Ketua KPAI Nomor 475 Tahun 2020 tertanggal 23 Maret 2020.
Menanggapi keppres tersebut, Ketua KPAI Susanto mengatakan sudah mendapatkan informasi dari Kementerian Sekretariat Negara bahwa keppres itu sudah diterbitkan. ”Itu hak prerogatif Presiden,” katanya.
Sidang etik menyimpulkan bahwa pelanggarannya berat.
Susanto berjanji, KPAI segera memberikan pernyataan ke publik untuk menindaklanjuti keppres itu. Terkait konferensi pers pekan lalu, dia menyatakan bahwa itu keputusan Rapat Pleno KPAI bahwa Dewan Etik dan pimpinan KPAI menyampaikan ke publik.
Adapun Sitti ketika diminta komentarnya menyatakan segera memberikan pernyataan pers, Selasa (28/4/2020). ”Maaf, saya tadi ke kantor, kembalikan seluruh inventaris,” katanya melalui layanan pesan singkat.
Anggota Dewan Etik KPAI, Yosef Adi Prasetyo, menyarankan KPAI segera menyampaikan keppres tersebut kepada Sitti. ”KPAI harus segera menyampaikan keppres tersebut kepada media supaya tidak muncul kontroversi berlarut-larut dan mengundang opini balik yang menyudutkan KPAI serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Tugas kami sebagai Dewan Etik selesai ketika laporan kami disampaikan ke rapat pleno,” katanya.
Terkait pernyataan Sitti yang mempertanyakan keputusan Dewan Etik, Yosef menegaskan hal itu adalah masalah etik, bukan masalah hukum. Jika memang putusan Dewan Etik tidak sesuai, yang bisa digugat bukan berdasarkan hukum. ”Kalau masalah etik itu sudah final. Sidang etik menyimpulkan bahwa pelanggarannya berat, bisa saja dianggap sebagai kebohongan publik, karena tidak ada fakta,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, KPAI mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar Sitti Hikmawatty diberhentikan dari KPAI karena dinilai terbukti melanggar etika pejabat publik. Usulan itu disampaikan menyusul hasil pemeriksaan Dewan Etik KPAI yang diketuai I Dewa Gede Palguna, dengan anggota Yosef Adi Prasetyo dan Ernanti Wahyurini, yang menyatakan Sitti melanggar etika pejabat publik.
Sitti diperiksa oleh Dewan Etik setelah mengeluarkan pernyataan kontroversial di media daring Tribunjakarta.com berjudul ”KPAI Ingatkan Wanita Berenang di Kolam Renang Bareng Laki-laki Bisa Hamil, Begini Penjelasannya”. Menurut Dewan Etik, berita tertanggal 21 Februari 2020 itu menimbulkan reaksi negatif dari publik dalam negeri dan luar negeri yang berdampak buruk terhadap komisioner, KPAI, juga bangsa dan negara.
Dalam beberapa kesempatan, Sitti menolak dan mempertanyakan penilaian itu. ”Saya tidak memahami, kesalahan yang saya lakukan masuk dalam kategori apa? Saya juga mendapati sejumlah fakta bahwa kesalahan ucap saya dijadikan komoditas oleh pihak tertentu, yang disambut oleh pimpinan KPAI,” katanya (Kompas, 27/4/2020).
Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, yang juga pengamat perlindungan anak, Prof Irwanto, pemberhentian tidak hormat Sitti dari anggota KPAI menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik. Tanpa langkah tegas dalam bentuk pemberhentian, para pejabat tidak akan belajar, bahkan menganggap biasa-biasa saja ketika mengeluarkan pernyataan yang bermasalah ke publik. Padahal, sebagai pejabat publik, seseorang mesti memberikan pernyataan berbasis data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari kasus Sitti, lanjut Irwanto, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apakah ada aturan main atau protokol khusus di KPAI terkait pemberian pernyataan di publik oleh seorang komisioner. Jika KPAI tidak punya protokol, itu harus diupayakan agar komisioner tahu batasan dan tanggung jawabnya. ”Akuntabilitas pernyataan komisioner itu ada di mana, apakah pada komisionernya atau di KPAI? Kebanyakan orang beranggapan, kalau komisioner berbicara, akuntabilitasnya ada di KPAI,” ujarnya.
Kedua, dalam hal seorang komisioner dianggap melakukan tindakan yang merugikan lembaga, sudah benar untuk membentuk Dewan Etik. Jika terbukti ada pelanggaran oleh komisioner, Dewan Etik dapat mengeluarkan rekomendasi untuk memberikan kesempatan kepada terlapor pelanggar etika untuk mengundurkan diri secara sukarela. Langkah itu cukup memberi empati dan juga tidak perlu merepotkan Presiden.
”Namun, kalau pelanggar bersikukuh, seolah-olah dia tidak melakukan tindakan (kesalahan) serius, ya begini akhirnya. Padahal, yang bersangkutan sebenarnya berpendidikan tinggi sehingga seharusnya mampu memberikan informasi terbaik,” kata Irwanto.
Ketiga, dalam setiap organisasi, kapasitas orang yang duduk sebagai komisioner mesti punya kapasitas yang baik. Jika tidak punya kapasitas baik, sebaiknya jangan berada di organisasi seperti KPAI. ”Kalau tidak punya kapasitas, akan terjadi pembodohan publik yang luar biasa. Kalau sudah terjadi (masalah), sulit menghapus akibat-akibatnya,” katanya.