Mencari Model Pemerintahan di Masa Pandemi
Model pemerintahan menghadapi wabah Covid-10 butuh segitiga kolaborasi. Ini terdiri dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah, dan pemerintah daerah dengan masyarakat.
Sudah hampir dua bulan sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan untuk pertama kalinya kasus positif Covid-19 yang dialami dua pasien asal Depok, Jawa Barat. Selama waktu tersebut, model pemerintahan ideal dalam menangani pandemi cenderung dipertanyakan mengingat sejumlah tantangan koordinasi di tengah persebaran virus yang makin meluas ke seluruh provinsi.
Kasus awal positif Covid-19 yang disebutkan berasal dari kluster di Jakarta tersebut kini sudah menyebar, ditemukan di 34 provinsi di Indonesia. Efektivitas pemerintahan dengan sistem otonomi daerah yang berlaku di Indonesia mendapatkan ujian sesungguhnya.
Sebagian ujian itu berupa keberatan yang diajukan sebagian bupati terhadap kebijakan menteri. Hal ini, misalnya, terjadi di Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Bupati Sehan Salim Landjar marah-marah terhadap mekanisme bantuan langsung tunai. Kemarahan itu, sebagaimana terekam dalam video yang tersebar di sejumlah media sosial, ditujukan kepada sejumlah menteri.
Pada bagian lain, terdapat sejumlah kepala desa yang juga merekam video pernyataan protes mereka terhadap pemerintah di atasnya. Misalnya yang dilakukan seorang kepala desa di Kabupaten Subang saat menyatakan kekecewaan terhadap Pemerintah Provinsi Jabar terkait mekanisme pendataan penduduk guna menerima bantuan.
Baca juga: Model Pemerintahan Kolaboratif Lebih Efektif untuk Hadapi Pandemi
Hal-hal tersebut seolah memberikan gambaran cenderung tidak terbagi serta tidak terkoordinasinya urusan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah tatkala bencana seperti wabah Covid-19 melanda. Padahal, hal-hal tersebut cenderung sudat diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pendiri Institut Otonomi Daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan saat dihubungi, Rabu (29/4/2020), menyebutkan bahwa undang-undang tersebut telah membagi tugas dan tanggung jawab secara jelas.
Dalam kaitan terjadi bencana nasional, upaya penanggulangannya dilakukan pemerintah pusat. Ini dilakukan pemerintah pusat, di antaranya, dengan mengurusi penyediaan kebutuhan dasar bagi para korban. Tidak boleh ada kebijakan bertentangan dari pemerintah daerah terhadap kebijakan yang digariskan pemerintah pusat.
Lantas apa tugas pemerintah daerah? Dalam hal ini pemerintah daerah memberikan segenap dukungan. Misalnya dengan memberikan bahan kebutuhan pokok, melakukan pencegahan penularan, memfasilitasi tindakan pengobatan, dan menyediakan pemakaman.
Djohermansyah mengusulkan tiga langkah untuk mewujudkan efektivitas pelaksanaan kebijakan dan koordinasi antarpemerinah. Pertama ialah garis komando yang dipimpin Presiden hingga ke tingkat paling bawah di RW dan RT. Kedua, bantuan bahan pokok dan uang yang didasarkan pendataan dari usulan tingkat RT dan RW setelah diverifikasi pemerintah daerah. Terakhir, melaksanakan pembatasan sosial berskala besar dengan sanksi tegas.
Pemerintahan kolaboratif
Berdasarkan Pasal 9 UU No 23/2014, disebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Urusan pemerintahan konkuren merupakan urusan pemerintahan yang dibagi, antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah juga menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah, sedangkan urusan pemerintahan umum adalah yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan.
Djohermansyah mengatakan bahwa pemerintahan konkuren merupakan pemerintahan berbagi atau dilakukan secara kolaboratif. Kepemimpinan kolaboratif dilakukan dengan kepemimpinan presiden sebagai penanggung jawab nasional dibantu ketua-ketua satuan tugas yang merupakan para kepala daerah sebagai pasukan lapangan. Oleh karena itulah, presiden didorong melakukan telekonferensi dengan para gubernur guna mewujudkan konsep kepemimpinan kolaboratif dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Djohermansyah juga mengatakan telekonferensi bisa diawali dengan tiga gubernur di wilayah Jabodetabek, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, yang sudah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dalam rapat itu, kata Djohermansyah, agenda utamanya soal kolaborasi penyediaan kebutuhan dasar bagi korban bencana nasional nonalam Covid-19. Terutama bahan kebutuhan pokok, terkait jumlah yang disediakan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Hal ini guna mengatasi kekurangan sementara ini, di mana pemerintah cenderung sekadar memberikan bahan kebutuhan pokok atau ditambah uang. Ada yang diberikan secara mingguan dan bulanan. Namun, datanya belum jelas. Terutama, kata Djohermansyah, yang terkait dengan jumlah korban terpapar di setiap provinsi. Keberadaan data dan integrasi data antardaerah menjadi kebutuhan tidak terlepaskan untuk mewujudkan hal tersebut.
Djohermansyah mengatakan, dengan demikian data tentang korban terpapar di provinsi masing-masing penting sekali dimiliki. Data tersebut merupakan data kemiskinan ditambah golongan orang miskin baru karena terdampak Covid-19. Bukan semata-mata data penduduk miskin.
Dia mempertanyakan apakah pemerintah daerah sudah memiliki data tersebut. Jika sudah, tinggal dibagi saja berapa yang menjadi tanggungan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan pemerintah pusat.
Adapun untuk daerah-daerah lain di luar yang sudah memberlakukan PSBB bisa menyusul sesuai dengan status kedaruratan setiap daerah. Hal ini sekalipun daerah-daerah tersebut belum menerapkan pembatasan sosial berskala besar. Penetapannya dengan menggunakan skala prioritas.
Yang dibutuhkan ialah segitiga kolaborasi. Ini terdiri dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah, serta pemerintah daerah dengan masyarakat. Untuk itulah dibutuhkan adanya rasa saling percaya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan bahwa dalam hal tersebut tetap dibutuhkan komando nasional. Ini mengingat status bencana nasional nonalam yang sudah ditetapkan. Namun, diskresi kebijakan tetap perlu diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, kata Robert, dukungan fiskal dari pemerintah pusat juga mestilah kuat.
Hal ini bisa dilakukan lewat skema dana transfer. Percepatan transfer juga mesti dilakukan agar daerah memiliki ruang fiskal yang lebar. ”Itulah kolaborasi multi-level governance,” kata Robert.
Selain itu, kata Robert, kolaborasi pemerintah daerah dengan masyarakat juga menjadi keniscayaan. Berbagai aksi solidaritas warga mestilah dilakukan secara sinergis dengan program pemerintah daerah.
Kolaborasi juga perlu dilakukan antarpemerintah daerah. Hal ini terutama terkait dengan warga yang kembali ke kampung halaman masing-masing setelah kehilangan pekerjaan di tempat merantau.
Secara ringkas, Robert menyebutkan bahwa yang dibutuhkan ialah segitiga kolaborasi. Ini terdiri dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah, serta pemerintah daerah dengan masyarakat. Untuk itulah dibutuhkan adanya rasa saling percaya.
Pada diskusi daring yang diselenggarakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Rabu (22/4/2020), Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philip J Vermonte menyoroti tentang kepatuhan warga sebagai salah satu kunci sebagian negara yang dianggap berhasil menghadapi wabah Covid-19. Kepatuhan itu disebutkan sebagai cerminan rasa percaya masyarakat kepada pemerintah dan juga rasa percaya pemerintah kepada masyarakat.
Pertanyaannya, bisakah hal itu muncul dalam gerak langkah melawan Covid-19?