Di Masa Pandemi, Pers Harus Mampu Memberi Gambaran Melangkah ke Depan
Di tengah pandemi Covid-19, pers punya tanggung jawab yang besar sebagai rumah penjernih informasi dan fungsi kontrol sosial. Pers juga harus mampu menjelaskan duduk perkara serta memberi gambaran langkah ke depan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam masa pandemi Covid-19, pekerja pers di Indonesia mendapatkan tantangan berat. Tuntutan untuk menyajikan produk jurnalistik yang berkualitas juga dibarengi dengan ancaman terinfeksi Covid-19 serta tekanan ekonomi yang menerpa industri media.
Hal itu terungkap di dalam webinar bertajuk ”Kemerdekaan Pers di Era Pandemik Virus Corona”, Sabtu (2/5/2020). Diskusi tersebut diselenggarakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dalam rangka memperingati World Press Freedom Day 2020 yang dirayakan setiap tanggal 3 Mei. Adapun tema World Press Freedom Day 2020 adalah ”Journalism without Fear or Favour”.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi daring tersebut adalah Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, Duta Besar Republik Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, Redaktur Senior Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy, dan Ketua FJPI Papua Olha Mulalinda.
Nuh mengatakan, dalam situasi saat ini, fungsi pers sebagai rumah penjernih menjadi sangat diperlukan. Produk jurnalistik diharapkan tidak hanya menyediakan informasi, tetapi juga duduk perkaranya (insight) serta memberi gambaran untuk langkah ke depan (foresight).
Hal itu sejalan dengan jati diri pers sebagai kontrol sosial sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat. Adapun Indeks Kebebasan Pers Indonesia pada 2020 berada di posisi ke-119 dari 180 negara yang disurvei. Peringkat ini naik dari posisi ke-124 pada tahun sebelumnya.
Kalau perusahaan pers rontok, jurnalisme juga rontok. Pertanyaan kita adalah bagaimana mempertahankan keberlangsungannya.
Menurut Nuh, kapasitas pekerja pers mesti terus ditingkatkan. Semisal, terkait dengan pandemi Covid-19, pekerja pers mesti memahami pengetahuan dasar mengenai virus, tentang Covid-19, serta prosedur perlindungan diri. Namun, ketika pers dituntut untuk selalu menjaga integritas, kesejahteraan pekerja pers juga harus dijamin.
”Kalau perusahaan pers rontok, jurnalisme juga rontok. Pertanyaan kita adalah bagaimana mempertahankan keberlangsungannya,” kata Nuh.
Menurut Nuh, dalam masa pandemi Covid-19, semua orang dengan segala aspeknya, termasuk pers, dipaksa menyesuaikan diri. Di samping harus memenuhi tanggung jawabnya yang besar, pers juga dituntut menyesuaikan dan mengelola peluang yang ada, seperti memanfaatkan ruang siber sebagai sarana untuk membawa informasi.
Terkait dengan tekanan ekonomi bagi pers di masa pandemi Covid-19, tambah Nuh, yang perlu dibangun tidak hanya aspek kemerdekaan pers dan aspek keberlangsungannya, tetapi juga ekosistemnya.
Ketika bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, kata Nuh, posisi Dewan Pers bukan meminta insentif dari pemerintah, melainkan untuk mendapatkan perlakuan yang adil dari negara sebagaimana perlakuan yang diberikan pemerintah untuk bidang properti atau perbankan.
”Justru yang harus kita jaga itu jangan sampai kita meminta-minta karena posisi kita akan lebih berat. Jadi, siapa pun yang melakukan usaha di Indonesia dan terdampak, negara cq pemerintah wajib membantu,” tutur Nuh.
Memunculkan dilema
Todung mengatakan, pandemi Covid-19 memunculkan dilema, yakni pemerintah dituntut melakukan tindakan darurat yang dapat memunculkan praktik kekuasaan otoriter sehingga dapat menggerus kebebasan pers. Di sisi lain, media sosial digunakan untuk menyebarkan kabar bohong yang menyebabkan disinformasi.
Menurut Todung, pers di Eropa mendapatkan dukungan pendanaan dari pemerintah karena pers benar-benar ditempatkan sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Oleh karena itu, dalam situasi resesi, pers harus diselamatkan agar tetap dapat menjalankan fungsi pengawasan dan keseimbangan.
Di Indonesia, Todung menilai pers terlalu berkelindan dengan konglomerasi. Konglomerat atau pemilik media belum dapat mengambil jarak dengan media yang dimilikinya, tetapi justru memanfaatkannya.
Menurut Todung, untuk menyajikan produk jurnalistik yang berkualitas, pekerja pers dituntut melakukan jurnalisme investigatif. Namun, dalam konteks pandemi Covid-19, hal itu sulit dilakukan karena di Indonesia tidak tersedia data raksasa yang dapat diolah. Tidak tertutup pula adanya gangguan atau bahkan ancaman bagi pers dari aspek dunia usaha maupun pihak tertentu yang kepentingannya terganggu.
”Kebebasan pers semakin penting dan, tidak bisa tidak, kita harus berjuang untuk mempertahankan kebebasan pers itu,” kata Todung.
Menurut Ninuk, tantangan pers saat ini bukanlah represi dari luar, melainkan dari dalam, yakni upaya untuk menyajikan berita yang akurat. Dalam konteks pandemi Covid-19, tantangan muncul ketika pers harus menggali data terkait Covid-19 yang informasinya masih minim. Meskipun kegiatan jurnalistik pada prinsipnya adalah kerja di lapangan, dalam kondisi saat ini keselamatan dan kesehatan pekerja pers jauh lebih penting.
Dalam masa pandemi Covid-19, selain dituntut untuk menyajikan fakta yang sering kali bernada pahit, pers juga perlu memberikan informasi yang menumbuhkan harapan. Hal itu penting di tengah tekanan sosial dan ekonomi yang menimpa masyarakat.
Namun, menurut Ninuk, tekanan bagi pers saat ini juga dapat terjadi secara tidak langsung, yakni dari sisi ekonomi. Misalnya, pengiklan di sebuah media menekan untuk menarik iklan kepada perusahaan media atau pers jika dinilai terlalu kritis. Tekanan terhadap pers juga dapat dilakukan pihak-pihak tertentu.
”Ketika bersikap kritis, maka ada teguran. Itulah ancaman yang justru tidak kalah signifikan dibandingkan ancaman langsung,” kata Ninuk.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pengiklan, Ninuk mencontohkan, harian Kompas mencoba membuat platform berita berbayar melalui Kompas.id. Dengan demikian, keberlangsungan sebuah perusahaan nantinya bukan bergantung pada iklan, melainkan pada kesetiaan pembaca.
Sementara itu, menurut Olha, tugas pekerja pers tidak hanya mencari berita, tetapi juga melakukan klarifikasi atas isu-isu yang beredar di masyarakat. Di masa pandemi Covid-19, isu yang mesti diklarifikasi tak hanya mengenai kesehatan, tetapi juga menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Selain harus berhadapan dengan informasi tidak benar yang beredar di media sosial, sering kali pers di daerah harus berhadapan dengan informasi yang tidak sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
”Harapan kami, jangan sampai ada disinformasi antara pemerintah pusat dan daerah, bahkan sampai pro dan kontra. Misalnya, informasi soal asimilasi atau pembebasan narapidana menyebabkan napi yang lain cemburu,” kata Olha.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut menambahkan, sumber pendapatan media siber dari iklan sudah turun sampai 60 persen di masa pandemi Covid-19. Iklan terbesar umumnya terkait sektor pariwisata, otomotif, dan properti. Sementara Wenseslaus menilai anggaran pemerintah justru lebih banyak masuk ke perusahaan teknologi.
”Kalau media dianggap penting, mestinya juga diberi keringanan. Kami tidak minta sesuatu, tetapi minta keringanan, seperti pajak ditunda,” kata Wenseslaus.