Pilkada 2020, Antara Ancaman Pandemi Covid-19 dan Cuaca Buruk Akhir Tahun
Pilkada di 270 daerah pada bulan Desember 2019 akan menghadapi banyak tantangan. Selain wabah Covid-19 yang belum diketahui kapan tuntasnya, sejumlah daerah di Indonesia bagian timur bakal menghadapi cuaca buruk.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada akhirnya ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020. Pilkada yang semula akan berlangsung pada 23 September akhirnya hanya ditunda tiga bulan, yakni menjadi Desember 2020. Langkah ini mendapat kritik karena dinilai mengabaikan pandemi Covid-19.
Terbitnya perppu ihwal pilkada serentak 2020 dengan ketentuan dilakukannya pemungutan suara pada Desember seakan mengabaikan sejumlah saran dari para pakar hukum tata negara. Selain itu, hal ini juga cenderung menafikkan fakta lapangan penanganan pandemi Covid-19.
Perppu No 2/2020 ini juga dilengkapi ketentuan lain yang membuka peluang penundaan pemungutan suara dari bulan Desember 2020. Dalam hal itu, pemungutan suara dilakukan segera setelah bencana non-alam, yaitu pandemi Covid-19, usai.
Dalam sejumlah kesempatan, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, misalnya, menyebutkan bahwa perppu sebaiknya berisikan pillihan waktu penyelenggaraan yang terbuka. Artinya, waktu dimulainya lagi tahapan serta waktu pemungutan suara tergantung pada kapan berakhirnya masa darurat penanganan wabah Covid-19. Atau kapankah kondisi aman sesudah wabah itu bisa dicapai. Suatu keadaan yang belum bisa diketahui hingga saat ini.
Baca juga : Pilkada pada Bulan Desember Dinilai Masih Berisiko
Dalam dokumen berjudul ”Argumentas Pentingnya Menerbitkan Perppu Penundaan Pilkada Terkait Wabah Covid-19” yang disusun Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, Network for Democracy and Electoral Integrity, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, serta Rumah Kebangsaan disebutkan, pilkada lebih memungkinkan dilakukan setelah Juni 2021.
Hal ini dengan mempertimbangkan diperlukannya waktu yang cukup guna memulai lagi tahapan setelah fokus para pemangku kepentingan di Indonesia tercurah pada penanganan pandemi Covid-19. Selain itu, ditimbang pula soal anggaran, situasi sosial masyarakat, dan akhir masa jabatan kepala daerah.
Akan tetapi, kini, dengan Perppu No 2/2020, penyelenggara pemilu harus berpatokan pada waktu pemungutan suara pada bulan Desember 2020. Hal ini membuat tahapan pilkada, sebelum akhirnya berujung pemungutan suara, sudah harus dimulai lagi pada awal Juni 2020.
Ini pertama-tama terkait kelanjutan empat tahapan yang sebelumnya ditunda. Tahapan itu ialah pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), serta kerja pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
Tahapan-tahapan tersebut mengharuskan adanya interaksi fisik yang melibatkan banyak orang. Jika dilakukan tanpa mengindahkan protokol kesehatan, bukan tidak mungkin sejumlah tahapan itu akan menyebabkan munculnya sejumlah kluster penularan baru Covid-19.
Sementara awal Juni diperkirakan belum menunjukkan kurva kasus harian pasien positif Covid-19 dengan kebutuhan perawatan di rumah sakit yang benar-benar melandai. Hal ini berdasarkan pemodelan yang dilakukan pakar epidemiologi dan biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono.
Artinya, pada Juni, diperkirakan masih ada jumlah pasien Covid-19 dengan kebutuhan perawatan di rumah sakit yang relatif banyak karena penurunannya cenderung belum mencapai titik bawah. Ini belum ditambah dengan jumlah orang-orang yang terinfeksi, tetapi belum dirawat di rumah sakit.
Bahkan, sesungguhnya belum ada kepastian apa pun dari lembaga mana pun tentang kapan sesungguhnya pandemi akan berakhir. Pasalnya, sebelum vaksin ditemukan serta diberikan kepada penduduk, masih terdapat kemungkinan terjadinya infeksi dan penularan kembali.
Inilah mengapa, sekalipun kurva pasien terinfeksi kelak akan mulai menurun atau bahkan melandai, protokol kesehatan, seperti membatasi interaksi fisik, mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, tetap harus dipraktikkan. Ada norma baru yang harus diadopsi. Sebuah keadaan yang disebut sebagai ”normal baru”.
Dipaksa Menjalankan
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, saat dihubungi, Rabu (6/5/2020), mengatakan bahwa Perppu No 2/2020 membuat KPU dan Bawaslu seperti dipaksa untuk menindaklanjutinya. Hal ini sehubungan dengan fakta empiris di lapangan berupa cenderung belum munculnya tanda-tanda penyebaran wabah Covid-19 yang mereda.
Keterpaksaan itu, lanjut Radian, berupa diharuskannya KPU menyusun revisi peraturan KPU (PKPU) yang diikuti peraturan Bawaslu (Perbawaslu) sebagai kelanjutan diterbitkannya Perppu No 2/2020. Waktu yang pendek, hanya sekitar tiga pekan sebelum tahapan pilkada mulai dilanjutkan lagi pada awal Juni, semakin menambah tekanan itu.
Belum lagi jika dikaitkan dengan keharusan untuk menyosialisasikan berbagai regulasi tersebut, tidak terkecuali ke seluruh 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Radian menjelaskan, selain hal-hal tersebut, ada pula persoalan inkonsistensi terhadap peraturan sebelumnya, bahkan cenderung mengarah pada ketidakpatuhan. Hal itu terutama terkait dengan ketentuan mengenai protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus pencetus Covid-19.
Ia menyebutkan, peraturan tersebut di antaranya Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Lebih jauh, ia menambahkan, selain pandemi Covid-19 yang masih harus dihadapi, pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 juga masih harus menghadapi tantangan lain berupa cuaca.
Di sebagian wilayah Indonesia bagian timur, kondisi pasang air laut pada bulan Desember cenderung berada di masa puncaknya. Hal ini membuat sejumlah daerah, terutama yang terdiri atas wilayah kepulauan, berpotensi mengalami kesulitan tersendiri.
Dia menyebutkan, di sebagian wilayah Indonesia timur, kondisi pasang air laut pada bulan Desember cenderung berada di masa puncaknya. Hal ini membuat sejumlah daerah, terutama yang terdiri atas wilayah kepulauan, berpotensi mengalami kesulitan tersendiri, terutama dalam pendistribusian logistik. Belum lagi jika ditambah dengan Natal yang dirayakan sebagian masyarakat pada bulan Desember.
”Sampai saat ini saya belum paham kenapa (pilkada ditetapkan) di bulan Desember,” ujar Radian.
Pendiri Institut Otonomi Daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, saat dihubungi, Kamis (7/5/2020), mengutarakan kekhawatiran senada. Tahapan pilkada yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 akan membuat berbagai kegiatan yang dilakukan di dalamnya tidak maksimal.
Selain itu, bakal terdapat pula risiko munculnya kluster pilkada yang berpotensi menularkan dan ditulari Covid-19. Hal ini menyusul sejumlah pergerakan dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan calon pemilih.
”Ada petugas KPU yang bergerak untuk menyiapkan daftar pemilih, melakukan coklit (pencocokan dan penelitian). Ada kandidat yang bergerak menemui pengurus partai untuk mendapatkan kendaraan pengusung, dan lain-lain,” ujar Djohermansyah.
Adapun terkait dengan Perppu No 2/2020, ia mengatakan, ada kepastian sekaligus ketidakpastian di dalamnya. Kepastian itu terkait ketetapan pemungutan suara pada Desember 2020. Ketidakpastiannya terkait dengan ketetapan berikutnya yang memungkinkan pelaksanaan pemungutan suara bisa ditunda dan dijadwalkan kembali setelah bencana non-alam. Dalam hal ini, aturannya bisa diperkirakan, tetapi jadwalnya cenderung tidak bisa diprakirakan.
Hal tersebut, ujarnya, merupakan hal baru. Biasanya jadwal pemungutan suara senantiasa ditetapkan. Hal itu menjadi acuan untuk menyusun berbagai tahapan, sejak tahapan persiapan, pelaksanaan, hingga pelantikan.
Terkait pertimbangan yang berhubungan dengan potensi bencana, Djohermansyah menyebutkan, hal itu biasanya hanya terkait dengan bencana alam, seperti gempa bumi, atau yang terkait dengan potensi kerusuhan. Pertimbangan terkait bencana non-alam, seperti pandemi Covid-19, katanya, belum pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk PKPU.
Dalam sejarahnya, Indonesia memang pernah mengalami wabah. Namun, menurut Djohermansyah, wabah tidak pernah terjadi pada masa pemilu sejak tahun 1955, Orde Baru, hingga era Reformasi.
Sejarah wabah
Berdasarkan catatan Kompas, Indonesia pernah dilanda wabah cacar air pada pertengahan 1960-an hingga sekitar awal 1970-an. Bahkan, cacar sempat muncul lagi di Tangerang pada akhir tahun 1971 setelah dinyatakan telah lenyap. Indonesia baru dinyatakan bebas dari penyakit cacar pada pertengahan tahun 1974.
Sementara jika menengok lebih jauh ke belakang, Indonesia pernah pula didera sejumlah wabah. Sebagaimana dikutip dari laman Kompas.id, wabah pes pernah terjadi di Malang, Jawa Timur, pada 27 Maret 1911, lalu meluas ke seluruh Jawa dan Sumatera.
Malaria juga sempat muncul dan hilang, lalu kembali muncul tahun 1939 dengan korban ribuan orang meninggal. Ini terjadi di sekitar kawasan Jakarta Utara. Lebih jauh ke belakang, wabah kolera terjadi pada 1910-1911 di Batavia. Korbannya sekitar 6.000 orang meninggal.
Frank M Snowden dalam buku terbitan 2019 berjudul Epidemics and Society: From the Black Death to the Present menuliskan sejumlah kondisi darurat kesehatan sejak awal abad ke-21 yang terbukti mengangkat isu-isu meresahkan. Berbagai isu tersebut terkait dengan sejumlah hal tidak terduga tentang kerentanan masyarakat modern terhadap wabah penyakit menular yang merebak tiba-tiba, misalnya pandemi SARS, flu burung, dan ebola.
Snowden dalam buku itu juga menyigi wabah pandemi pes pada sistem limfatik pada tahun 541 yang diketahui sebagai wabah pertama dalam sejarah dunia. Kejadian itu disebut dengan ”Wabah Justinian”, dinamai dengan nama Kaisar Bizantium Justinian I. Penyakit epidemi ini ditularkan dari hewan kepada manusia dan pertama kali muncul di Pelusium yang berada di kawasan delta Sungai Nil.
Wabah itu, tulis Snowden, muncul dalam 18 gelombang berturut-turut hingga tahun 755 atau selama sekitar 200 tahun. Akhirnya, wabah menghilang secara tiba-tiba sebagaimana kemunculannya yang juga misterius. Lewat karya itu, Snowden mengajak pembacanya memahami bahwa epidemi merupakan bagian utama dari gambaran besar perubahan historis dan pembangunan.
Memahami penyakit-penyakit menular dinilai sama pentingnya dengan ketika seseorang memahami pembangunan sosial, sebagaimana memahami krisis ekonomi, peperangan, revolusi, dan perubahan demografi. Dampak epidemi tidak hanya bagi individu, tetapi juga terhadap agama, kesenian, kemunculan pengobatan modern dan kesehatan publik, serta sejarah intelektual.
Bahkan, ia juga mengingatkan, banyak fitur utama masyarakat modern global yang terus-menerus membuat dunia menjadi sangat rentan terhadap pandemi. SARS dan wabah ebola, yang disebut Snowden sebagai ”geladi resik” utama di abad yang baru, telah mengingatkan bahwa pertahanan biomedis dan kesehatan publik kita ternyata keropos.
Pertumbuhan populasi, perubahan iklim, perkembangan cepat sarana transportasi, pertumbuhan sangat cepat kota-kota besar dengan infrastruktur perkotaan tidak memadai, peperangan, kemiskinan terus-menerus, serta meluasnya kesenjangan sosial akan mempertahankan risiko tersebut. Sayangnya, imbuh Snowden, tidak satu pun dari berbagai faktor tersebut yang sepertinya akan berkurang dalam waktu dekat.
Karena itulah, berbagai produk hukum yang menjadi dasar kehidupan bernegara, pilkada tidak menjadi pengecualian, mestilah mulai mempertimbangkan potensi pandemi. Bukan tidak mungkin, pandemi Covid-19 masih akan berlanjut dengan sejumlah wabah lain. Sebagaimana wabah SARS, MERS, ebola, flu burung, dan flu babi yang juga menandai permulaan abad ini.
Optimistis bahwa pandemi akan segera berakhir tentu saja penting. Akan tetapi, hendaknya itu merupakan optimisme yang berdasarkan fakta dan bukti empirik, alih-alih optimisme semu berbasis penyangkalan realitas.